Administrasi Negara

Keputusan Fiktif Positif dan Negatif

Ramos Perisai
998
×

Keputusan Fiktif Positif dan Negatif

Sebarkan artikel ini
Keputusan Fiktif Positif dan Negatif
(Sumber: Unsplash/Saul Bucio)

Literasi Hukum – Pahami bagaimana peranan keputusan fiktif positif dan negatif dalam administrasi pemerintahan Indonesia.

Selayang Pandang Keputusan Fiktif

Keputusan fiktif berkaitan erat dengan penerbitan keputusan tata usaha negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Secara esensial, keputusan fiktif merupakan sikap diam dari pemerintah terhadap permohonan yang diajukan oleh pihak tertentu atas suatu keputusan tata usaha negara.

Keputusan fiktif adalah keputusan tata usaha negara yang “semu”. Kita tidak dapat melihatnya secara kasat mata, tetapi kita mampu memahami keberadaannya melalui penafsiran atas sikap pemerintah dalam permohonan keputusan.

Melalui artikel jurnal berjudul Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumnya, Enrico Simanjuntak mengemukakan bahwa keputusan fiktif eksis berdasarkan prinsip lex silentio, yaitu otorisasi diam-diam yang diberikan oleh pemerintah dalam pengajuan perizinan. Prinsip ini diterapkan oleh otoritas kawasan Uni Eropa.

Banyak pelaku usaha yang berjibaku dengan perizinan dalam menjalankan kegiatan usahanya. Terkadang, perizinan menjadi salah satu kendala dan secara kolektif kendala ini berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi terutama di kawasan tertentu. Dengan adanya keputusan, masalah tersebut dapat diatasi.

Negara-negara di Uni Eropa menerapkan keputusan fiktif sebagai upaya untuk menyederhanakan prosedur administrasi. Keputusan menjadi jaminan penting bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya mendorong laju pertumbuhan ekonomi di tingkat regional.

Di Indonesia, kita dapat melihat pengaturan keputusan fiktif melalui 2 peraturan. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”). Kedua, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang telah diubah melalui UU 9/2004 dan perubahan kedua melalui UU 51/2009.

Kedua peraturan tersebut membagi keputusan fiktif menjadi 2 bentuk, yaitu fiktif positif dan fiktif negatif.

Keputusan Fiktif Positif

Fiktif positif adalah keputusan yang secara otomatis timbul berdasarkan permohonan yang tidak ditanggapi oleh pejabat setelah batas waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan.

Pengaturan fiktif positif terdapat dalam Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dari UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Penekanan fiktif positif ada pada ayat (3) walau ketentuan ini tidak secara eksplisit menyatakan istilahnya. Di sini, fiktif positif menjadi persetujuan diam-diam dari pejabat tata usaha negara dalam menerbitkan suatu keputusan tata usaha negara.

Meskipun berbentuk semu, fiktif positif tetaplah keputusan tata usaha negara yang terbit berdasarkan prosedur administrasi pemerintahan. Ia tidak dapat muncul begitu saja. Ia harus dimohonkan terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan.

Apa yang membuat fiktif positif berbeda dengan keputusan tata usaha negara pada umumnya adalah verifikasi penerbitannya.

Keputusan yang bukan termasuk fiktif positif terbit berdasarkan konfirmasi aktif dari pejabat tata usaha negara. Konfirmasi tersebut juga diberikan dalam jangka waktu yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, fiktif positif terbit berdasarkan putusan pengadilan yang dimohonkan oleh pihak yang berkepentingan. Permohonan diajukan sebab pejabat tata usaha negara yang berwenang untuk menerbitkannya ternyata tidak memberikan konfirmasi aktif setelah jangka waktu yang ditentukan.

Kita dapat melihat hal tersebut melalui ketentuan dari Pasal 53 ayat (4), (5), dan (6) dari UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut.

(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan Pengadilan ditetapkan.

Menurut ketentuan di atas, fiktif positif akan diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara yang berwenang. Ini tidak berbeda dengan hasil akhir dari prosedur penerbitan keputusan yang mengandalkan otoritas pejabat tata usaha negara.

Berbeda dengan keputusan pada umumnya yang hanya bergantung pada kewenangan pejabat, fiktif positif baru dapat terbit setelah adanya putusan pengadilan (dalam hal ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara – PTUN) yang mengarahkan pejabat untuk menerbitkannya. Putusan itu sendiri juga baru dapat timbul setelah adanya permohonan. Alhasil, fiktif positif melibatkan prosedur yang lebih kompleks.


Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”), Pasal 53 dari UU Administrasi Pemerintahan telah berubah. Di sini, terdapat perubahan yang berdampak pada permohonan untuk mendapatkan penetapan keputusan.

Perubahan pertama adalah batas waktu penetapan oleh pejabat untuk permohonan keputusan jika tidak diatur dalam peraturan yang khusus. Batas waktu ini berubah dari 10 hari kerja menjadi hanya 5 hari kerja.

Perubahan kedua, dan ini yang paling penting, adalah ketiadaan pengajuan permohonan untuk menjatuhkan putusan penerbitan keputusan. Perubahan ini sangat signifikan sebab perubahan ini menghapus kewenangan PTUN yang mampu menerima permohonan dan memerintahkan pejabat untuk memberi penetapan sebagaimana ketentuan sebelum perubahan.

Alhasil, dengan berlakunya Perppu Cipta Kerja, fiktif positif dapat seketika muncul setelah ketiadaan persetujuan dalam jangka waktu 5 hari kerja dari pejabat tata usaha yang berwenang, serta tanpa perlu melalui mekanisme permohonan kepada PTUN.

Hanya saja, Perppu Cipta Kerja mengatur bahwa penerbitan fiktif positif, yang tidak lagi perlu melalui permohonan, kini harus diajukan dengan prosedur tersendiri. Prosedur tersebut diatur dalam peraturan presiden. Ini berarti, meskipun kewenangan PTUN menghilang, tetapi pihak yang berkepentingan masih perlu menunggu penetapan yang diberikan oleh negara.

Prosedur penetapan yang diatur dalam Perppu Cipta Kerja itu menimbulkan pertanyaan. Pertama, apa otoritas yang berwenang untuk memproses ketetapan atas keputusan fiktif positif? Kedua, bagaimana prosedur yang dapat ditempuh oleh pihak yang berkepentingan untuk mengajukan pemrosesan ketetapan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dapat terjawab sebab peraturan presiden yang menjadi dasar hukumnya belum diterbitkan.

Keputusan Fiktif Negatif

Keputusan fiktif negatif memiliki esensi yang sama dengan fiktif positif. Keputusan fiktif ini terbit berdasarkan ketiadaan konfirmasi aktif untuk permohonan keputusan yang diberikan oleh pejabat tata usaha setelah melewati jangka waktu yang ditentukan.

Perbedaan antara fiktif positif dan fiktif negatif adalah sifat dari sikap diam yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara atas permohonan keputusan. Pada keputusan fiktif positif, pejabat secara diam-diam menyetujui permohonan. Pada keputusan fiktif negatif, pejabat secara diam-diam menolak permohonan.

Keberadaan fiktif negatif dapat kita melalui Pasal 3 dari UU PTUN yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundangundangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak di terimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Keberadaan fiktif negatif juga melibatkan PTUN selayaknya fiktif positif. Namun, dalam peradilan administrasi yang melibatkan PTUN, fiktif negatif menjadi objek dari gugatan. Ini berbeda dengan fiktif positif yang, sebelum berlakunya Perppu Cipta Kerja, menjadi objek dari permohonan.

Oleh karena ia menjadi objek gugatan, maka pihak yang berkepentingan perlu merujuk hukum acara peradilan tata usaha negara yang terdapat dalam UU PTUN beserta perubahannya. Tentu, terlebih dahulu, pihak tersebut juga harus mengacu pada UU Administrasi Pemerintahan mengenai upaya administrasi prioritas sebelum mengajukan gugatan ke PTUN.

Selain dari sifat atas sikap diam pejabat, mekanisme terbitnya fiktif negatif sama dengan terbitnya fiktif positif. Fiktif negatif baru dapat timbul setelah jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU PTUN.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.