Administrasi NegaraMateri Hukum

Penerapan Diskresi dalam Pemerintahan

Ramos Perisai
1253
×

Penerapan Diskresi dalam Pemerintahan

Sebarkan artikel ini
Penerapan Diskresi dalam Administrasi Pemerintahan
(Sumber: Unsplash/Ben Noble)

Literasi Hukum – Pelajari penerapan diskresi dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.

Terbitnya Diskresi

Pada momentum tertentu, pejabat pemerintahan dapat menetapkan penerapan diskresi.

Contoh diskresi adalah kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) mengenai proses pembelajaran tatap muka pada masa pandemi COVID-19.

Penerapan diskresi tersebut dikeluarkan untuk menjembatani 2 kondisi. Pertama, masyarakat Indonesia memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa adanya rintangan apapun. Kedua, ada pandemi yang sedang berlangsung dan berpotensi membahayakan keselamatan masyarakat.

Jika hanya mengedepankan kondisi pertama, nyawa dari masyarakat dapat terancam. Jika hanya mengedepankan kondisi kedua, hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan menjadi terganggu. Alhasil, pejabat pemerintah menerapkan diskresi yang membuat masyarakat mampu mendapatkan pendidikan sekaligus terlindungi dari bahaya pandemi.

Namun, apabila kita periksa secara mendalam, kita dapat menyimpulkan diskresi yang dikeluarkan oleh Mendikbudristek tersebut bersifat mengatur. Misalnya, salah satu pasal menyatakan bahwa proses pembelajaran tatap muka di setiap daerah harus dilaksanakan melalui jarak jauh. Salah satu pasal yang lain menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memastikan penerapan protokol kesehatan secara ketat.

Sebelum diskresi tersebut muncul, negara Indonesia telah memiliki 3 peraturan yang berkaitan erat dengan pendidikan, kebijakan pemerintahan daerah, dan penanggulangan pandemi. Ketiganya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Kita barangkali dapat bersikap skeptis dan bertanya: mengapa Mendikbudristek harus repot-repot menetapkan penerapan diskresi yang terkesan tidak perlu, ketika Indonesia telah memiliki 3 undang-undang yang komprehensif dan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah untuk mengelola proses pembelajaran tatap muka di masa pandemi?

Selain pada diskresi yang dikeluarkan oleh Mendikbudristek tersebut, kita juga dapat mengarahkan kekhawatiran yang sama pada beragam diskresi lain yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintahan, seperti diskresi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberi status kewarganegaraan kepada seorang warga negara asing yang belum memenuhi syarat, atau diskresi kepolisian lalu lintas untuk menangani kecelakaan lalu lintas yang tidak dilimpahkan ke pengadilan.

Artikel ini akan membahas penerapan diskresi, serta mekanisme penerbitan dan pertanggungjawabannya.

Definisi dan Batasan

Menurut Phillipus M. Hadjon, dalam bukunya yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, penerapan diskresi lahir dari gagasan fleksibilitas penyelenggaraan pemerintahan. Dengan sifat yang fleksibel, penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak kaku dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Konteks fleksibilitas menitikberatkan pada kemampuan pejabat pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, ada masa ketika norma di dalam peraturan perundang-undangan tidak mampu menjangkau permasalahan yang ada, tidak efektif, dan tidak tegas. Alhasil, pejabat pemerintahan sulit untuk menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan peraturan semacam itu.

Di tengah kesulitan dalam menyesuaikan norma yang berlaku terhadap persoalan di hadapannya, pejabat pemerintahan memutuskan untuk berinisiatif dan menetapkan kebijakannya sendiri (freies ermessen). Dengan memanfaatkan kewenangannya, pejabat pemerintahan mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang kelak ia nilai mampu memberi solusi atas persoalan yang ada. Keputusan itulah yang nantinya menjadi diskresi.

Istilah diskresi diatur dalam Pasal 1 angka 9 dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) yang berbunyi sebagai berikut.

Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Secara esensial, diskresi adalah keputusan tata usaha negara. Namun, ia bukanlah sembarang keputusan; ia harus berupa keputusan yang diterbitkan dengan syarat tertentu. Persyaratan ini penting untuk dipahami sebab menjadi parameter untuk mengukur keabsahan suatu diskresi. Tanpa adanya persyaratan, akan timbul peluang bagi pejabat pemerintah yang bersikap sewenang-wenang dalam mengeluarkan diskresi.

Jika kita melihat definisi di atas, ada 2 syarat penerapan diskresi. Pertama, diskresi hadir untuk mengatasi persoalan konkrit. Kedua, diskresi eksis sebab peraturan perundang-undangan yang ada tidak mampu membantu pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit tersebut.

Tentu perlu ada elaborasi lebih lanjut dari syarat penerapan diskresi. Misalnya, mengapa diskresi hanya menjawab persoalan yang “konkrit”? Persoalan konkrit seperti apa yang memerlukan penerapan diskresi? Kemudian, seberapa jauh suatu peraturan dianggap tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau menyebabkan pemerintahan yang stagnan sehingga pejabat perlu untuk menerapkan diskresi?

Keberadaan diskresi untuk menjawab persoalan konkrit sejatinya berkaitan dengan latar belakang penerbitan diskresi berdasarkan peraturan yang tidak solutif atas suatu masalah. Peraturan yang tidak solutif ini merupakan peraturan yang mengatur norma dalam garis besar sehingga substansinya abstrak dan tidak langsung menjawab masalah tersebut. Untuk itulah, diskresi lahir sebagai kebijakan yang lebih jelas dan detail.

Pada contoh di awal artikel ini, kita menggunakan diskresi yang diterbitkan oleh Mendikbudristek untuk mengatasi permasalahan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi COVID-19. Diskresi ini menjadi solusi yang konkrit. Alasannya, 3 undang-undang terkait yang mengatur masalah pembelajaran tatap muka dan keberadaan pandemi tidak mengelaborasi norma khusus dan integratif yang dapat menjadi dasar bagi Mendikbudristek untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Nilai konkrit dari persoalan yang diselesaikan melalui diskresi akan bertalian erat dengan syarat ke-2 penerapan diskresi. Pada syarat ke-2, diskresi lahir berdasarkan peraturan yang tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau menyebabkan pemerintahan yang stagnan. Kita dapat menyimpulkan bahwa secara sistematis, diskresi yang konkrit merupakan ketetapan pejabat pemerintahan untuk mengatasi peraturan yang memiliki sifat-sifat tersebut.

Yang menjadi masalah, bagaimana cara kita mengukur bahwa keberadaan diskresi mampu mengatasi peraturan yang tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, atau menyebabkan stagnasi pemerintahan? Merujuk pada mayoritas praktik penerapan diskresi, nilai konkrit diskresi yang mampu mengatasi peraturan dengan sifat-sifat tersebut hanya bergantung pada kewenangan pejabat pemerintahan.

Masih dalam diskresi dari Mendikbudristek sebelumnya, kita tidak dapat menilai apakah penerbitan diskresi ini akan mengisi ketimpangan norma terhadap persoalan yang ada. Norma yang dimaksud adalah norma dalam 3 undang-undang yang relevan dengan persoalan dalam diskresi. Namun, alih-alih menjelaskan kesesuaian diskresi, bagian pertimbangan dari diskresi hanya menyatakan bahwa penerapan diskresi hanya mengacu pada “kondisi dan karakteristik penyebaran pandemi” dan kesepakatan antar lembaga yang berwenang.

UU Administrasi Pemerintahan juga tidak memberi parameter yang jelas atas relevansi diskresi terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak solutif sehingga menyebabkan lahirnya diskresi tersebut. Melalui Pasal 24, UU Administrasi Pemerintahan hanya mengatur bahwa penerapan diskresi harus memenuhi beberapa syarat, yaitu diterbitkan dengan itikad baik, diterbitkan dengan alasan yang objektif, sesuai dengan tujuan penerbitannya, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan tidak menimbulkan konflik kepentingan.

Lebih lanjut, merujuk pada definisi diskresi dan dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan relevan dalam UU Administrasi Pemerintahan, ada beberapa unsur yang melekat pada suatu diskresi.

Pertama, diskresi merupakan bentuk intervensi pejabat pemerintahan khususnya dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Kedua, diskresi merupakan inisiatif pemerintah untuk menyelesaikan persoalan yang tidak diatur secara detail dalam peraturan perundang-undangan sekaligus mengisi kekurangan dari peraturan perundang-undangan tersebut. Ketiga, diskresi diterbitkan dengan merujuk pada kaidah hukum yang mampu menjadi indikator akuntabilitas pejabat pemerintahan.

Tanggung Jawab Penerapan Diskresi

Dalam buku yang berjudul Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Ridwan menyatakan bahwa pejabat pemerintahan yang menerbitkan diskresi bertanggung jawab penuh atas setiap konsekuensi yang timbul dari penerbitan diskresi tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab melekat pada pejabat sepanjang pejabat itu menerbitkan diskresi dalam kapasitasnya sebagai seorang pemegang jabatan. Jika kondisi ini tidak dipenuhi, pejabat yang bersangkutan tidak dapat dibebani tanggung jawab atas keberadaan diskresi tersebut. Namun, ia akan dikualifikasikan sebagai pejabat yang menyalahgunakan wewenang.

Pada konteks administrasi pemerintahan, penerapan diskresi oleh pejabat memiliki beban akuntabilitas secara administratif. Hal ini tercantum dalam Pasal 25, 26, 27, 28, dan 29 dari UU Administrasi Pemerintahan.

Bentuk tanggung jawab yang paling utama adalah penjelasan atas penerapan diskresi. Pejabat harus mampu menguraikan maksud, tujuan, substansi, serta dampak dari penerapan diskresi baik dalam lingkup administrasi maupun dalam lingkup keuangan.

Selanjutnya, pejabat harus menyampaikan permohonan persetujuan tertulis kepada atasannya untuk menggunakan diskresi tersebut. Kelak, setelah interval waktu tertentu, pejabat akan mendapatkan balasan mengenai konfirmasi oleh atasan pejabat atas penerapan diskresi.

Pejabat juga harus menyampaikan diskresi yang telah ia terbitkan kepada masyarakat jika diskresi mampu membawa dampak bagi publik. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika penerapan diskresi berkaitan dengan beberapa keadaan tertentu, seperti pengubahan alokasi anggaran negara, pembebanan atas keuangan negara, serta keadaan darurat dan mendesak. Kondisi ini turut melibatkan korespondensi antara pejabat dan atasannya.

UU Administrasi juga mengatur beberapa indikator yang menentukan keabsahan dari tindakan pejabat pemerintahan dalam menerbitkan diskresi. Hal ini diatur dalam Pasal 30, 31, dan 32.

Secara umum, berdasarkan ketiga pasal tersebut, penerapan diskresi dapat telah melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang, dan menjadi tindakan yang sewenang-wenang dari pejabat pemerintahan jika diskresi diterbitkan sesuai kondisi yang diatur dalam masing-masing pasal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.