Hukum

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus Vina Cirebon

Melki Tunggati, SH., MH
1380
×

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus Vina Cirebon

Sebarkan artikel ini
Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Masyarakat Indonesia kembali diperdebatkan dengan rilisnya film “VINA: Sebelum 7 Hari” di bioskop. Film ini mengangkat kasus pembunuhan Vina dan kekasihnya Eky di Cirebon pada 27 Agustus 2016, yang sebelumnya diduga sebagai kecelakaan tunggal. Kasus yang mengemuka lagi setelah delapan tahun ini menyoroti lambatnya proses hukum dan baru tertangkapnya salah satu pelaku, Pegi Setiawan, yang memicu pro-kontra. Kepolisian telah merilis beberapa tersangka, namun ada kontroversi mengenai dugaan salah tangkap. Masyarakat mendesak penegakan hukum yang adil dan prosedural untuk kasus yang belum memasuki masa daluwarsa ini.

Mandeknya Keadilan Dalam Kasus “Vina Cirebon”

Masyarakat Kembali diperdebatkan dengan rilisnya film VINA “Sebelum 7 Hari” di Bioskop Indonesia. Kehadiran film tersebut menimbulkan pro/kontra dalam penegakan hukum terhadap kasus Vina yang terjadi kurang lebih 8 tahun silam di Cirebon Jawa Barat. Kematian Vina dan kekasihnya Eky terjadi pada 27 Agustus 2016, dengan dugaan awal bahwa kematian tersebut akibat kecelakaan tunggal, namun berdasarkan penyelidikan lebih lanjut kematian  Vina dan Eky bukanlah disebabkan oleh kecelakaan tunggal akan tetapi keduanya dibunuh tragis oleh kawanan geng motor.

Saat ini, kasus Vina viral di media sosial dikarenakan pengungkapan kasus oleh penegak hukum yang memakan waktu lama dalam menyeret para pelaku khususnya otak pelaku pembunuhan ke dalam persidangan. Kepolisian merilis 3 orang berstatus DPO yaitu Andi, Deni dan Pegi, Bersama 8 orang yang sudah diputus bersalah oleh Pengadilan Pada tahun 2017. 

Titik terang kasus Vina mulai terbuka Ketika kepolisian berhasil meringkus Pegi Setiawan alias Perong pada 21 Mei 2024 kemarin, namun hal ini malah menimbulkan Pro/kontra di masyarakat yang menyebutkan bahwa Pegi Setiawan hanya merupakan korban salah tangkap dan menjadi orang yang dikorbankan karena persepsi masyarakat bahwa salah satu pelaku yang diburu adalah anak pejabat. Persepsi masyarakat juga tertuju pada konfrensi pers kepolisian yang menghapus 2 nama yakni Andi dan Deni dari daftar pencarian orang (DPO). Menurut penulis, mencuaknya kasus Vina di tengah-tengah masyarakat harus betul-betul ditanggapi dengan logis dan beralasan hukum. Ada 2 hal yang perlu dilihat, pertama menyangkut daluwarsa kasus dan kedua menyangkut pembuktian.

Daluwarsa Kasus

Pada dasarnya “setiap perkara terdapat batas waktu untuk diajukan tuntutannya (omnes actiones in mundo infra certa tempora habent limitationem)”. Proses penegakan hukum pada kasus Vina dapat dikatakan memang memakan waktu lama yakni 8 tahun.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup termasuk tindak pidana pembunuhan, masa daluwarsanya adalah 18 tahun sebagaimana dalam Pasal 78 KUHP. Meskipun  pencantuman klausa daluwarsa KUHP Indonesia tidak se-progresif hukum pidana Korea Selatan yang sudah menghapus batas waktu atau masa daluwarsa kejahatan pembunuhan sebagaimana dituangkan dalam Criminal Procedure Act (Act No.341 of September 23, 1954). Namun kasus Vina belum memasuki masa daluwarsa sehingga desakan masyarakat terhadap pengusutan secara berkeadilan terhadap kasus Vina merupakan pekerjaan rumah bagi penegak hukum yang wajib dipenuhi.

Perlu digarisbawahi bahwa pengusutan terhadap kasus Vina harus dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang hati-hati, dan tidak didasarkan pada desakan opini publik yang berseliweran di media sosial. Setiap prosedur operasional penegak hukum baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan di hadapan pengadilan sudah mendapat pengaturan dalam hukum acara pidana Indonesia. Di tingkat kepolisian batas waktu penyelesaian perkara ditentukan berdasarkan kriteria tingkat kesulitan, 120 hari untuk perkara yang sangat sulit, 90 hari untuk perkara sulit, 60 hari untuk perkara sedang, dan 30 hari untuk perkara mudah, Batas waktu penyelesaian perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan sebagaimana diatur dalam Perkapolri 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian.

Di tingkat kejaksaan, penanganan perkara memakan waktu paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari berdasarkan Pasal 25 KUHAP. Di tingkat Pengadilan Negeri penyelesaian perkara pidana diselesaikan paling lama 5 bulan berdasarkan SEMA No. 2 tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara Di Pengadilan Pertama dan Banding.

Seluruh prosedur penegakan hukum harus dihargai, tidak terkecuali upaya kepolisian menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka karena terlibat dan telah melanggar Pasal 340 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pembunuhan Berencana serta pelanggaran terhadap Pasal 81 UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Selama upaya pihak kepolisian tersebut memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan hak-hak tersangka sebagaimana asas presumption of innocence, maka apa yang telah dikerjakan kepolisian sampai saat ini harus kita apresiasi sebagai bentuk jalannya penegakan hukum.

Menyangkut Pembuktian

Peran pembuktian dalam proses hukum sangatlah penting. Menurut Prof. Eddy Hiariej Proses pembuktian dan membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Sebelum menanggapi mekanisme pembuktian oleh kepolisian terhadap keterlibatan Pegi Setiawan, penulis tertarik menyoroti video yang beredar diberbagai platfrom media terkait sahabat Vina bernama Linda yang mengalami kerasukan arwah Alm. Vina. Kejadian tersebut dianggap membongkar kembali penyebab sebenarnya kematian Vina dan Eky, hingga Linda menjalani pemeriksaan di Mapolres Cirebon.

Yang menjadi pertanyaan apakah keterangan orang yang dalam keadaan tidak sadar atau kesurupan mempunyai kekuatan pembuktian ?. Perlu ditegaskan, keterangan yang dapat diakui dalam sistem pembuktian pidana hanyalah keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa sebagai struktur alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP. Kalaupun keterangan Linda pada saat kerasukan arwah Vina dijadikan sebagai keterangan saksi maka akan memunculkan pertanyaan apakah keterangan Linda memenuhi syarat kesaksian ?

Saksi dalam terminologi Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah “orang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Sedangkan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP adalah “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Akan tetapi konstruksi konsep kesaksian telah mengalami perubahan semenjak adanya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 yang memberi perluasan bahwa “saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses”.

Dengan demikian keterangan Linda mempunyai kekuatan pembuktian dan memenuhi syarat kesaksian apabila keterangan yang diberikan mempunyai relevansi dengan peristiwa kematian Vina dan Eky. Relevansi yang dimaksud disini merupakan keterkaitan substansi keterangan yang diberikan Linda dalam keadaan sadar dan logis (bukan dalam keadaan kesurupan/kerasukan) berdasarkan kebenaran peristiwa.

Hal yang paling disoroti selanjutnya adalah ditetapkannya Pegi Setiawan sebagai tersangka dalam Kasus Vina Cirebon. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa upaya kepolisian merupakan praktik salah tangkap, bahkan Pegi dianggap sebagai kambing hitam yang dikorbankan untuk menutupi keterlibatan anak petinggi/pejabat negara. Pandangan-pandangan ini tentunya perlu diberikan pemahaman secara komprehensif mengingat hal tersebut berkaitan dengan citra kepolisian di mata masyarakat Indonesia.

Seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti permulaan (Pasal 1 angka 14 KUHAP). Berdasarkan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, bukti permulaan harus berdasarkan minimal 2 alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. selain kewajiban tersebut, penetapan tersangka yang didasarkan atas 2 alat bukti, harus didahului juga dengan pemeriksaan calon tersangka sebagaimana pertimbangan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

Pegi Setawan ditetapkan sebagai tersangka karena telah ditemukannya bukti permulaan yang cukup yaitu 2 alat bukti. Bukti pertama, keterangan saksi dalam putusan pengadilan Nomor: 4/Pid.B/2017/PN Cbn. Bukti kedua, surat-surat seperti STNK, Surat kelahiran, Raport, Ijazah, Kartu Keluarga, Biodata Kependudukan, foto, KIP, KTP, HP, sebagai bukti petunjuk. Setalah ditetapkannya sebagai tersangka, pada Hari Selasa 21 Mei 2024 pihak kepolisian melakukan upaya penangkapan terhadap Pegi di Bandung Jawa Barat. Menariknya, proses penetapan sebagai tersangka dan penangkapan terhadap Pegi tidak didahului dengan pemeriksaan calon tersangka. Disisi lain, penghapusan 2 nama Andi dan Deni dari DPO oleh kepolisian karena adanya keterangan salah sebut dan ketika ditelusuri oleh kepolisian tidak ditemukannya 2 bukti pemulaan yang cukup terhadap Andi dan Deni.

“Challenge” Praperadilan

Persepsi masyarakat terhadap kepolisian yang salah tangkap terhadap Pegi adalah keliru. Seharusnya, yang perlu disoroti upaya kepolisian dalam menetapkan Pegi Setiawan sebagai tersangka hingga melakukan penangkapan tanpa pemeriksaan terhadap calon tersangka. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan meminta keterangan terlebih dahulu tentang keterlibatan dan kebenaran peristiwa yang terjadi. Maka dari itu, upaya hukum yang dapat ditempuh hanya melalui mekanisme praperadilan, demi mencegah terjadinya tindakan Adfire Prejudice (persangkaan yang tidak wajar) dari kepolisian.

Respon (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Menilik Ruang Kosong Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Opini

Artikel ini membahas keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase di Indonesia, fleksibilitas dalam memilih arbiter, serta tata cara pengajuan koreksi atau keberatan terhadap putusan arbitrase berdasarkan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Temukan pentingnya aturan lebih lanjut terkait tata cara pengajuan koreksi dan keberatan dalam arbitrase.

Pencatatan Palsu Surat dan Keabsahannya
Ilmu Hukum

Artikel ini membahas mengenai pencatatan surat palsu, sebuah tindakan ilegal yang melibatkan pembuatan atau pengubahan surat untuk memperoleh keuntungan secara tidak sah.