Literasi Hukum – Polemik Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang menimbulkan kegaduhan di Masyarakat. Pasalnya, setelah Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dibacakan telah terlihat jelas adanya pelanggaran etik berat dalam menangani pengujian materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Upaya pembatalan putusan MK mengenai batas usia capres-cawapres ini berada dalam “injury time”. Bahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan capres-cawapres untuk berlaga di pencalonan Pilpres tahun 2024.
Urgensi Pengujian Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Urgensi pengujian formil Putusan ini merupakan pertimbangan yang tepat sebagai upaya hukum sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum berkepanjangan. Pengujian formil terhadap Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dikarenakan proses pengujian tersebut berlandaskan adanya konflik kepentingan dari Mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.
Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang tercantum pada Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yaitu “Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sama dengan Undang-Undang, artinya kesempatan yang terbuka luas untuk membatalkan putusan tersebut.
Pelanggaran Etik dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023
Dalam proses pengujian Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 dipimpin oleh Ketua Hakim MK, Anwar Usman yang memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming. Berdasarkan Pasal 17 ayat (3) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera. Dalam kode etik Hakim MK, di dalam mengemban tugasnya sebagai Hakim MK wajib tidak berhubungan langsung pihak berperkara atau tidak mengadakan kolusi.
Dampak dari tidak dilakukannya pembatalan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 akan memperkeruh masalah di Masyarakat. Mengacu pada Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009 tujuan dari Pengujian formil untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal”. Urgensi Pengujian formil pada Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 untuk memberikan kepastian hukum terhadap penafsiran Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait batas usia capres-cawapres yang memberikan kelonggaran walaupun belum mencapai 40 (empat puluh) tahun.
Mempercepat pengujian formil putusan ini dapat pula mengembalikan kepercayaan Masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi yang diakibatkan keluarnya Putusan yang kontroversial itu.
Percepatan Pengujian Formil sebagai Bentuk Perjuangan Rakyat
Sebagaimana yang sudah ditentukan melalui Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun Masyarakat, bangsa dan negaranya”. Dengan momen ini, Pengujian Formil Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 merupakan bentuk perjuangan hak Masyarakat secara kolektif setelah dirugikan secara konstitusional. Menurut John L Esposito dalam sistem demokrasi, semua orang berhak berpatisipasi, baik aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah”.
Artinya, Masyarakat dapat secara aktif untuk membatalkan putusan MK ini melalui pengujian formil sepanjang bertujuan untuk mengontrol kebijakan yang tidak merenggut hak konstitusional Masyarakat. Tujuan lain dari pembatalan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dikarenakan bertentangan dengan asas hukum nemo judex idoneus propria causa yang artinya bahwa seorang hakim tidak boleh memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang terkait dengan kepentingan dirinya.1
Berdasarkan Pertimbangan Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 5/MKMK/L/11/2023 sudah seharusnya, Hakim konstitusi sebagai negarawan memiliki sense of ethics, perasaan etis yang muncul dari dalam kesadaran Nurani dan sanubari masing-masing Hakim konstitusi, untuk berinisiatif mengambil sikap mengundurkan diri dari pemeriksaan dan pengambilan keputusan terhadap suatu perkara manakala dirinya sebagai hakim konstitusi tidak akan dapar bersikap obyektif dan adil oleh karena perkara tersebut berhubungan atau setidak-tidaknya memiliki kepentingan langsung personal dirinya dan/atau anggota keluargannya”.
Logika umumnya, penyebab utama Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 adalah adanya masalah procedural dalam pengujian tersebut atas adanya Konflik kepentingan itu. Penulis sependapat dengan pertimbangan MKMK bahwa sense of ethics yang rendah akan menghilangkan inisiatif mengambil sikap mengundurkan diri dari pemeriksaan apabila memiliki kepentingan langsung dengan anggota keluarganya.
- Adam Muhsi, “Negara ini butuh sarjana keadilan”.antaranews.com. https://www.antaranews.com/berita/3809169/negara-ini-butuh-sarjana-keadilan diakses pada tanggal 15 November 2023 ↩︎