Opini

Black Campaign dalam Pemilu dan Perspektif Hukum Terhadapnya

Dhea Salsabila
1109
×

Black Campaign dalam Pemilu dan Perspektif Hukum Terhadapnya

Sebarkan artikel ini
Black Campaign
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Istilah black campaign atau kampanye hitam kerap kali muncul saat menjelang pemilu. Partai-partai politik mulai berlomba untuk memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu. Mereka menggunakan berbagai cara agar dapat menarik perhatian dan simpati masyarakat.

Lalu, apa sebenarnya black campaign dan bagaimana perspektif hukum terhadap fenomena tersebut? Simak uraian selengkapnya berikut ini!

Definisi Black Campaign

Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), black campaign adalah kampanye yang dilakukan dengan cara menjelek-jelekkan lawan politik.

Black campaign (kampanye hitam) diartikan pula sebagai kampanye yang mengarah pada penghinaan, penyebaran berita hoax, fitnah, dan segala hal yang bertujuan untuk menjatuhkan kandidat tertentu.

Pengertian serupa juga tertulis dalam Pasal 69 huruf c UU Nomor 8 Tahun 2015 yang menyiratkan tentang definisi kampanye hitam, yakni tindakan menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat.

Black Campaign di Indonesia

Dilansir dari situs resmi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kegiatan black campaign pada mulanya dilakukan dengan cara membagikan atau menyebarkan berita melalui berbagai media cetak, seperti fotokopian artikel, pamflet, dan lain-lain yang berisi informasi negatif terkait pihak lawan. Hal tersebut dilakukan oleh tim sukses atau simpatisan dari calon legislatif maupun eksekutif.

Fenomena black campaign di Indonesia masih marak terjadi karena sulitnya menindak perilaku tersebut. Problematika ini salah satunya dilatar belakangi oleh aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, yakni Pasal 249 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelanggaran kampanye dapat ditindak jika terdapat laporan atau pengaduan pada Bawaslu.

Sementara itu, batas kedaluwarsa yang sangat singkat, yakni hanya 7 (tujuh) hari sejak ditemukannya penggaran pemilu turut menjadikan aktvitas black campaign sulit untuk ditindak. Hal ini karena kasus tersebut biasanya baru dilaporkan pada Bawaslu setelah melewati batas kedaluwarsa tersebut.

Penyebab lain maraknya black campaign yakni penggunaan media elektronik maupun media online sebagai sarana kampanye yang belum diatur secara lengkap dan tegas oleh Undang-Undang. Melalui media tersebut setiap orang bebas menyebarkan foto, video, serta berbagai jenis konten untuk menjatuhkan lawan politik.

Aktivitas kampanye melalui media elektronik dan media sosial dipandang lebih menghemat dana serta efektif untuk memengaruhi pola pikir masyarakat. Mengingat, sebagian besar penduduk Indonesia telah mengakses media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, tak jarang dari mereka yang enggan untuk menggali kebenaran dari suatu informasi dan menelan mentah-mentah apa yang dilihat maupun dibaca.

Black Campaign dalam Perspektif Hukum

Secara yuridis, kegiatan black campaign tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang. Akan tetapi, Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu telah mengatur apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam kampanye, salah satunya yakni larangan black campaign.

Adapun isi dari pasal tersebut adalah menegaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang:

  1. Mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
  3. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.
  4. Menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
  5. Mengganggu ketertiban umum.
  6. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain.
  7. Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu
  8. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan
  9. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan.
  10. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

Sanksi bagi Pelaku Black Campaign

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 512 UU 7/2017 bahwa setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye yang dengan sengaja melakukan pelanggaran seperti yang tertulis pada Pasal 280 ayat (1), maka berpotensi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000, 00 (dua puluh empat juta rupiah).

Tips Menghindari Black Campaign

Meski aktivitas black campaign kerap terjadi di Indonesia, terdapat beberapa tips yang dapat kita lakukan agar terhindar dari pengaruh kampanye hitam, yakni:

1. Mencermati Reputasi Media

Hal pertama yang bisa dilakukan untuk mencegah black campaign yakni dengan memperhatikan reputasi suatu media. Kita harus memilih informasi atau berita yang bersumber dari media yang jelas kredibilitasnya.

2. Melihat Sudut Pandang Lawan

Sebelum mengambil kesimpulan, kita perlu melakukan pertimbangan terkait argumen dari kedua belah pihak, sehingga dapat mengambil keputusan dengan sudut pandang netral.

3. Melakukan Verifikasi Berita

Setelah membaca atau melihat suatu berita, hendaklah kita melakukan verifikasi terlebih dahulu terkait kebenaran informasi tersebut.

4. Tidak Menyebarkan Hoaks

Apabila kita belum mengetahui kebenaran sebuah berita, alangkah baiknya tidak membagikan informasi tersebut pada khalayak luas guna menghindari penyebaran hoaks.

Itulah uraian mengenai black campaign dalam pemilu dan bagaimana perspektif hukum terhadap fenomena tersebut. Dapatkan informasi mengenai hukum lainnya dengan mengunjungi literasihukum.com!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Stasiun Artikel

Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.