Tata NegaraMateri Hukum

Historisitas Mahkamah Konstitusi, Gagasan Independensi Lembaga Peradilan

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
226
×

Historisitas Mahkamah Konstitusi, Gagasan Independensi Lembaga Peradilan

Sebarkan artikel ini
Historisitas Mahkamah Konstitusi, Gagasan Independensi Lembaga Peradilan
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini membahas sejarah dan perkembangan Mahkamah Konstitusi Indonesia serta gagasan independensi lembaga peradilan. Dimulai dari transformasi paradigma konstitusional hingga implementasi prinsip check and balances, artikel ini menguraikan pentingnya Mahkamah Konstitusi dalam menjaga supremasi konstitusi dan menghadapi tantangan masa kini.

Transformasi Paradigma Konstitusional dalam Amandemen Konstitusi

Amandemen UUD 1945 sebagai buah perjuangan reformasi menumbuhsuburkan transformasi secara masif terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia dalam waktu singkat, mengingat bahwa amandemen tersebut hanya berlangsung dalam interval empat tahun dan relatif sangat singkat jika dikomparasikan dengan historisitas yuridis NKRI. Bukti konkretnya adalah transformasi paradigma supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi. Konstitusi NKRI praamandemen menempatkan MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat sehingga MPR menempati kursi sebagai lembaga tertinggi negara.[1] Paradigma supremasi MPR ini bertransformasi menjadi paradigma supremasi konstitusi yang menempatkan konstitusi sebagai satu-satunya entitas tertinggi yang merepresentasikan kedaulatan rakyat.[2]

Transformasi paradigma supremasi ini berimplikasi juga pada prinsip yang dianut dalam sistem ketatanegaraan. Sebelum amandemen dilakukan, prinsip yang dianut dalam sistem ketatanegaraan adalah prinsip division of power. Prinsip ini menempatkan suatu lembaga sebagai lembaga tertinggi di pucuk kekuasaan yaitu MPR dan kekuasaan MPR dibagikan dalam konsep vertikal kepada lembaga-lembaga negara lain; seperti Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Seluruh lembaga yang mendapatkan delegasi kekuasaan dari MPR didudukkan setara dan diberi status lembaga tinggi negara. Praktik ketatanegaraan ini menyebabkan tidak terjadinya pemisahan yang tegas dari fungsi lembaga negara (Badan Pengkajian MPR RI, 2017:  2-3).

Praktik ketatanegaraan Indonesia tidak lagi menganut prinsip konservatif dan beralih menganut prinsip baru yang mulai diterapkan pasca Amandemen UUD 1945. Prinsip check and balances dan separation of power yang mulai diterapkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen UUD 1945 melahirkan implikasi normatif yang cukup serius. Problematika abuse of power yang disebabkan tidak terpisahnya cabang kekuasaan diminimalisir dengan melakukan pembatasan kekuasaan atau separation of power. Orientasinya adalah agar setiap bentuk abuse of power dapat dikembalikan pada posisi normatifnya atau kembali pada koridor konstitusi. (Hady, 2016: 44).

Penegasan implementasi paradigma supremasi konstitusi atau yang disebut oleh Palguna (2020: 28 dan 29) sebagai constitutional democracy dalam sistem ketatanegaraan Indonesia salah satunya adalah pembentukan Mahkamah Konstitusi atau MK. Palguna (2020: 29) juga menyebutkan bahwa disebabkan adanya tuntutan bahwa konstitusi wajib ditaati, maka lahirlah lembaga ini yang diberikan wewenang untuk “memaksakan” penaatan tersebut. Dengan demikian, konstitusi tidak hanya menjadi naskah beku, melainkan dapat menjadi “dokumen hidup” yang memberi bentuk dan arah kekuasaan politik dalam suatu negara (Palguna, 2020: 29).

Ide Awal Pembentukan Lembaga Yudikatif

Ide John Locke dalam Trias Politica merupakan ide visioner yang memengaruhi ide-ide lain yang serupa. Trias Politica yang digagas oleh John Locke membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan federatif. Ide utama pemikiran John Locke ini dianggap kurang sempurna karena meleburkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif (Magnis-Suseno, 2023, p. 279). John Locke bahkan dalam idenya tersebut tidak mendukung independensi dan imparsialitas kekuasaan yudikatif karena ia menganggap bahwa kekuasaan yudikatif merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif (Buana, 2023: 110).

Dalam bukunya L’esprit des lois, Montesquieu menyempurnakan ide Trias Politica yang digagas oleh John Locke dengan Trias Politica miliknya. Kekuasaan negara menurutnya terbagi menjadi tiga kekuasaan; yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Penekanan ide Trias Politica yang ia konstruksi adalah pemisahan cabang yudikatif dari rumpun eksekutif. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman harus sama sekali bersifat imparsial dan independen dan dalam pengambilan keputusan tidak terpengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun (Magnis-Suseno, 2023: 281).

Historisitas Pembentukan Mahkamah Konstitusi

    Sebelum terbentuknya MK sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 24C UUD 1945, telah terjadi perdebatan cukup sengit dalam Sidang Tahunan MPR mengenai lembaga peradilan konstitusi ini. Dalam Sidang Tahunan 2000 dan 2001, terdapat tiga pemikiran utama mengenai kedudukan MK. Ketiga pemikiran tersebut yaitu: (i) MK merupakan bagian dari MPR, (ii) MK melekat atau menjadi bagian dari MA, dan (iii) MK didudukkan secara mandiri sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri.[3] Secara kolektif, ketiga pemikiran ini saling tumpang tindih dan menempatkan proporsionalitas independensi dan imparsialitas MK yang berbeda.

    Gagasan integrasi MK ke dalam tubuh internal MPR merupakan suatu bentuk pencederaan terhadap independensi dan imparsialitas MK. MPR sebagai lembaga yang kental dengan unsur politis dan meranah bidang legislatif, pembentukan dan pengubahan konstitusi, sangat tidak mungkin disatukan dengan MK sebagai lembaga yudikatif. John Adler mengatakan, sebagaimana yang dikutip dalam “Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara” (Asshiddiqie, 2009: 310), “The principle of separation of powers is particularly important for the judiciary”. Dengan demikian, pembentukan MK sebagai bagian dari MPR sangat kontradiktif dengan prinsip separation of power.

    Jika dipotret dari sisi lain, akan tampak bahwa penggabungan institusional MK ke dalam MPR juga termasuk pencederaan terhadap independensi institusional. Djohansjah memasukkan independensi institusional sebagai aspek yang harus dipenuhi agar definisi “Independen” itu terlaksana. Djohansjah juga menjelaskan bahwa yang dimaksud independensi institusional adalah tidak ada pengaruh dari lembaga lain, terutama eksekutif dan legislatif, yang mengganggu independensi kekuasaan yudikatif (Usman, 2020: 130). Tidak dibentuknya MK sebagai bagian dari MPR merupakan bentuk komitmen terhadap penegakan independensi dan imparsialitas MK sebagai peradilan konstitusi.

    Gagasan berikutnya adalah pembentukan MK sebagai bagian dari MA. Berbeda dengan gagasan sebelumnya yang menjadikan MK sebagai bagian dari MPR, gagasan ini lebih rasional dapat diterima hukum mengingat MA juga merupakan lembaga yudikatif. Peran MA sebagai peradilan tentunya tidak akan memengaruhi MK dengan unsur politis, hal yang akan terjadi dalam lingkup internal MPR sebagai lembaga politis. Bertolak dari pernyataan di atas, MA dan MK tidak sepenuhnya sama mengingat lingkup wewenang kedua lembaga ini berbeda satu sama lain. MA lebih identik dengan court of justice sedangkan MK lebih identik dengan court of law (Huda, 2021: 213).

    Selain berdiametral dalam hal cakupan wewenang dan bentuknya, MK dan MA juga berbeda dalam hal sifat kelembagaannya. Berbeda halnya dengan MA, MK merupakan quasi judicial sehingga dalam menyelenggarakan fungsi dan kewenangannya tidak secara murni menganut asas-asas yang berlaku dalam peradilan biasa. Dengan demikian, tidak tepat kalau meletakkan MK menjadi bagian atau setara dengan MA.[4]

    Di samping itu, faktor yang melatarbelakangi MK didirikan terpisah dari MA adalah Mahkamah tidak boleh berada di bawah Mahkamah lainnya. Kata Mahkamah seharusnya digunakan oleh institusi yang memiliki kedudukan, tugas dan wewenang yang supreme atau tertinggi dalam lingkungan peradilan. Faktor lainnya adalah agar MK berfokus pada profesionalitas Hakim dalam menangani urusan konstitusi dan ketatanegaraan serta terhindari dari menumpuknya beban perkara di MA.[5]

    Berpijak dari pemaparan di atas, dapat ditelaah dan dilihat bagaimana spirit mendirikan sebuah lembaga peradilan konstitusi yang memiliki independensi dan imparsialitas tinggi. Lembaga peradilan konstitusi sebagai lembaga baru dikawal dengan ketat agar tidak terkena efek tendensius yang dapat memengaruhi independensi dan imparsialitas Hakim Konstitusi. Spirit yang terkandung dalam konstitusi pasca amandemen ini didelegasikan kepada undang-undang sebagai aturan turunan demi mengatur lebih lanjut. Pengaturan ini tertuang dalam UU MK, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana yang diubah dengan perubahan terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2020.

    Dinamika Independensi Mahkamah Konstitusi

    Landasan normatif pertama yang menjadi anteseden legitimasi berdirinya MK sebagai guardian of constitution adalah UU Nomor 24 Tahun 2003 yang dalam amar konsiderannya disebutkan Pasal 24C UUD 1945. Secara spesifik UU a quo dikategorikan sebagai norma hukum atributif karena mendapatkan perintah dari konstitusi secara langsung untuk mengatur pengangkatan, pemberhentian, dan ketentuan lainnya tentang MK.[6] Pendelegasian kepada undang-undang oleh konstitusi ini terjadi karena regulasi yang ditetapkan oleh konstitusi hanya sebatas garis besarnya saja; seperti wewenang, kewajiban, dan komposisi Hakim Konstitusi. Garis besar inilah yang dipresuposisikan sebagai suatu norma yang final dan valid serta mengikat aturan yang merincikan di bawahnya (Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, 2021, pp. 90-91).

    Salah satu aspek yang diatur lebih rinci dalam UU MK yang tidak diatur dalam UUD 1945 adalah aspek masa jabatan Hakim. Dalam praktik ketatanegaraan, model masa jabatan Hakim mengalami dinamika pergeseran dari berbagai model, dari model periodisasi sampai masa pension. Bahkan dalam RUU MK Revisi Keempat, model masa jabatan hakim ditambah dengan persyaratan mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul.[7]

    Historisitas UU MK di atas menunjukkan bagaimana transformasi normatif produk politik yang memengaruhi rupa MK sebagai lembaga peradilan. Komposisi Hakim Konstitusi dalam tubuh internal MK mengalami gejolak disebabkan persyaratan yang terlalu dinamis dan politis. Dinamika revisi tersebut sangat berpotensi merupakan bentuk perpanjangan tangan interventif pembentuk undang-undang ke dalam tubuh lembaga penguji undang-undang. Lebih jauh lagi, RUU ini dapat berdampak pada tiga Hakim Konstitusi; yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat karena ketiganya mengeluarkan pertimbangan hukum dalam bentuk dissenting opinion.[8]

    Dalam Naskah Akademik RUU MK Tahun 2016 disebutkan bahwa pengaturan periodisasi masa jabatan berpotensi terjadinya intervensi atau penyimpangan dalam pengisian kembali hakim konstitusi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Buntutnya adalah MK akan masuk ke dalam politic institutional environment.[9] Lembaga pengusul, yang didominasi oleh kepentingan politik yaitu Presiden dan DPR, dapat dengan mudah melakukan restrukturisasi Hakim Konstitusi berdasarkan kepentingan politiknya.

    Di samping problematika periodisasi, materi pasal kontroversial lainnya adalah persetujuan dari lembaga pengusul. Persetujuan dari lembaga pengusul sebagai syarat keberlanjutan masa jabatan seorang Hakim Konstitusi sangat mencederai prinsip independensi dan imparsialitas lembaga yudikatif. Prinsip independensi dan imparsialitas Hakim Konstitusi akan dipengaruhi oleh keinginan politik lembaga pengusul. Sebagai contoh, jika seorang Hakim Konstitusi memutuskan suatu perkara yang tidak mendukung keinginan politik lembaga pengusul, maka lembaga pengusul tidak akan memberikan persetujuan bagi hakim yang bersangkutan dalam melanjutkan masa jabatannya. Lebih lanjut lagi, hakim yang bersangkutan sangat berpotensi untuk dicabut seperti pada kasus Hakim Aswanto yang sebagaimana dikutip dari Bambang Wuryanto bahwa pencabutan tersebut sangat kental dengan politik.[10]

    Bagir Manan menyebutkan bahwa salah satu syarat pokok terjaminnya independensi hakim adalah aspek jabatan masa kerja hakim (Usman, 2020: 112). Pengaturan masa jabatan Hakim Konstitusi harus dijamin dengan memberikan batasan konkret dan pasti agar seorang Hakim Konstitusi merasa lebih aman dalam menjalan tugasnya tanpa ada rasa khawatir dia akan dipecat sewaktu-waktu (Usman, 2020: 113). Penjagaan prinsip independensi dan imparsialitas hakim ini salah satunya berorientasi pada pencegahan dan pelarangan segala bentuk intervensi dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman. Segala bentuk tindakan yang dilakukan hakim harus semata-mata dilakukan menurut undang-undang, bukan menurut suatu golongan atau perorangan (Usman, 2020: 114).

    Daftar Pustaka

    • Asshiddiqie, J. (2009). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Depok: Rajawali Pers.
    • Badan Pengkajian MPR RI. (2017). Checks And Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Badan Pengkajian MPR RI.
    • Buana, M. S. (2023). Perbandingan Hukum Tata Negara : Filsafat, Toeri, dan Praktik. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
    • Hady, N. (2016). Teori Konstitusi & Negara Demokrasi. Malang: Setara Press.
    • Huda, N. (2021). Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: Rajawali Pers.
    • Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at. (2021). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
    • Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2016). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi Tahun 2016. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
    • Magnis-Suseno, F. (2023). Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
    • Palguna, I. D. (2020). Mahkamah Konstitusi & Dinamika Politik Hukum di Indonesia. Depok: Rajawali Press.
    • Usman, A. (2020). Independensi Kekuasaan Kehakiman (Bentuk-bentuk dan Relevansinya Bagi Penegak Hukum dan Keadilan di Indonesia). Depok: Rajawali Pers.

    [1] Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Sebelum Amandemen

    [2] Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 Amandemen Ketiga

    [3] Tim Penyusun Naskah Komprehensif, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Buku VI Kekuasaan Kehakiman Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, h. 443

    [4] Ibid

    [5] Ibid, h. 461-462

    [6] Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 Perubahan Ketiga

    [7] Ady Thea DA (2024) “Mantan Ketua MK: RUU Perubahan Keempat UU MK Mengancam Negara Hukum”; diakses pada 22 Juni 2024 dari https://www.hukumonline.com/

    [8] BBC NEWS Indonesia (2024) “Revisi UU MK ‘pembalasan untuk tiga hakim yang menyatakan dissenting opinion’ pada sengketa Pilpres 2024”; diakses pada 22 Juni 2024 dari https://www.bbc.com/indonesia

    [9] Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. (2016). “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Mahkamah Konstitusi Tahun 2016”. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, h. 52

    [10] Fitria Chusna Farisa (2024) “Sosok Aswanto, Hakim MK yang Mendadak Diberhentikan karena Kerap Anulir Produk DPR”; diakses pada 22 Juni 2024 dari https://nasional.kompas.com/

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

    Telaah Posisi Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pemilihan Kepala Daerah
    Stasiun Artikel

    Artikel ini akan menelaah manuver dan posisi MK dalam menyelesaikan sengketa pilkada, terutama pasca putusannya yang memengaruhi kerangka hukum pemilu dan pilkada. Fakta hukum berupa konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan putusan akan ditelaah secara komprehensif dan proposional. Data yang dikumpulkan melalui studi kasus dan pustaka dianalisis dengan pendekatan normatif.