Data, Regulasi, dan Implementasi Paternity Leave
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja perempuan di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 54,41 juta jiwa, meningkat sebesar 1,6 juta jiwa dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan ini mencerminkan kontribusi signifikan perempuan dalam sektor ketenagakerjaan serta semakin pentingnya peran perempuan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa. Sebagai bagian dari aset pembangunan, pekerja perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan progresif. Dalam konteks ini, pemenuhan hak-hak perempuan bekerja, khususnya yang berkaitan dengan keseimbangan antara peran domestik dan profesional, menjadi isu penting yang perlu dijawab melalui pendekatan hukum yang adaptif. Salah satunya adalah dengan melakukan penyesuaian ketentuan cuti pekerja laki-laki yang telah menjadi seorang suami (paternity leave), agar tanggung jawab pengasuhan anak tidak semata-mata dibebankan kepada ibu. Pertimbangan perubahan ini perlu dilakukan mengingat adanya semangat hukum progresif yang menempatkan keadilan substantif dan kesejahteraan sosial sebagai tujuan utama serta mendukung upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan hak ibu dan anak secara menyeluruh.
Pemberdayaan perempuan, khususnya bagi ibu yang bekerja, merupakan bagian penting dari pembangunan berkelanjutan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks ketenagakerjaan, hak atas cuti melahirkan bagi ibu sudah cukup diakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun, perhatian terhadap peran ayah dalam proses kelahiran dan pasca-persalinan masih tergolong minim. Mengacu pada ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa:
“… pengusaha wajib membayar upah apabila: pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia”
Lebih lanjut dalam Pasal 93 ayat (4) huruf e UU Ketenagakerjaan disebutkan pula bahwasanya:
“Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut: …
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;”
Berdasarkan kedua pasal di atas dapat disimpulkan cuti suami (paternity leave) merupakan hak yang diberikan kepada pekerja laki-laki apabila istrinya melahirkan. Pekerja laki-laki berhak untuk tidak masuk kerja dalam kondisi tersebut dan selama masa cuti ini pengusaha tetap diwajibkan membayar upah secara penuh selama dua hari. Namun, durasi ini dinilai belum memadai dalam konteks dukungan nyata terhadap kesejahteraan ibu dan anak serta dalam konteks pemberdayaan perempuan di tempat kerja.
Kajian Ketentuan Paternity Leave dalam Perspektif Hukum Progresif untuk Kesetaraan Gender
Konsep hukum progresif yang dicetuskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo menekankan bahwa hukum tidak boleh terjebak pada teks semata, melainkan harus responsif terhadap kebutuhan dan nilai-nilai keadilan sosial. Dalam konteks ini, hukum ketenagakerjaan terkait cuti suami perlu dikaji kembali untuk menjawab tantangan zaman, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pembagian peran pengasuhan anak yang lebih adil.
Studi menunjukkan bahwa kehadiran ayah selama masa nifas tidak hanya membantu pemulihan fisik dan psikis ibu, tetapi juga mempererat ikatan antara ayah dan anak sejak dini. Dukungan emosional dan fisik dari suami dapat mempercepat pemulihan ibu, mengurangi risiko depresi pasca melahirkan, dan membantu ibu kembali produktif di dunia kerja. Maka dari itu, paternity leave bukan hanya isu ketenagakerjaan, tapi juga memiliki relevansi dengan kesejahteraan keluarga.
Meninjau Paternity Leave Indonesia Melalui Komparasi Regulasi Negara Jepang dan Malaysia
Beberapa negara telah mengembangkan kebijakan paternity leave secara lebih progresif, yang menunjukkan komitmen negara dalam mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dan mendukung perempuan (ibu) yang bekerja. Dibandingkan dengan Indonesia yang saat ini hanya memberikan cuti selama dua hari bagi suami ketika istrinya melahirkan, kebijakan di sejumlah negara lain menunjukkan pendekatan yang lebih progresif dan mendukung peran ayah pasca pasangannya melahirkan. Hal ini mengindikasikan adanya room for improvement dalam peraturan ketenagakerjaan di Indonesia agar lebih responsif terhadap dinamika kebutuhan keluarga dan kesejahteraan ibu serta anak.
Di Jepang, misalnya, terdapat Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga yang memberikan hak kepada pekerja laki-laki maupun perempuan untuk mengambil cuti dalam rangka mengasuh anak dan merawat keluarga. Pemerintah Jepang juga mengatur ketentuan bagi pekerja laki-laki (ayah) agar dapat mengambil cuti selama delapan minggu pertama pasca kelahiran anak untuk kembali mengambil cuti.
Selanjutnya di Malaysia berdasarkan Employment (Amendment) Act 2022, pekerja laki-laki yang telah memenuhi syarat berhak mendapatkan paternity leave selama tujuh hari berturut-turut untuk setiap anak, hingga kelahiran anak kelima. Selain itu, pengusaha tidak diperkenankan menolak permohonan cuti ayah dari pekerja yang memenuhi syarat tanpa alasan yang sah sebab penolakan tersebut dapat menimbulkan konsekuensi hukum berupa perselisihan hubungan industrial.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa negara-negara lain telah menyadari pentingnya peran ayah dalam mendukung kesejahteraan ibu dan anak. Dengan memberi waktu cuti yang cukup kepada ayah, maka ibu tidak hanya terbantu secara fisik dan emosional, tetapi juga diberdayakan dalam menjaga kelangsungan karier dan peran profesionalnya. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kebijakan-kebijakan tersebut untuk memperbaiki ketentuan cuti pekerja laki-laki (suami) demi mendorong keadilan gender, perlindungan keluarga, dan pembangunan sumber daya manusia yang lebih baik.
Durasi cuti suami yang terbatas secara langsung berdampak pada pemberdayaan perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan harus mengorbankan kariernya karena kurangnya dukungan domestik dari pasangan yang secara bersamaan juga tidak difasilitasi oleh sistem hukum. Jika peran suami lebih dilibatkan melalui pemberian cuti yang lebih memadai dan proporsional, maka hal ini dapat mendorong terciptanya pembagian peran pengasuhan yang lebih seimbang dalam keluarga sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pemulihan ibu pasca melahirkan dan kesejahteraan anak sehingga pada akhirnya dapat menjaga keberlanjutan peran dan kontribusi tenaga kerja perempuan di dunia kerja. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap peran keluarga, khususnya dalam konteks pengasuhan anak, masih belum sepenuhnya merata secara hukum antara laki-laki dan perempuan.
Kemajuan Hukum Perlindungan Ibu Bekerja: Apresiasi dan Langkah Selanjutnya
Di tengah kondisi tersebut, penting juga untuk mengakui bahwa kebijakan hukum terkait perlindungan dan pemberdayaan perempuan, terutama bagi ibu yang bekerja, telah mengalami kemajuan signifikan dan patut diapresiasi. Salah satu bentuk kemajuan tersebut tercermin dalam ketentuan cuti melahirkan bagi pekerja perempuan yang sebelumnya diatur selama 3 bulan, yaitu 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan setelah melahirkan, namun kini mengalami perluasan berdasarkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA). Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan hingga 6 bulan apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Ketentuan ini menunjukkan adanya pengakuan hukum terhadap pentingnya pemulihan fisik dan mental ibu serta perawatan optimal terhadap anak pasca persalinan.
Lebih lanjut, peraturan perundang-undangan juga memberikan jaminan bahwa selama menjalani cuti melahirkan, ibu tetap berhak memperoleh upah penuh selama tiga bulan pertama dan bulan keempat, serta 75 persen dari upah pada bulan kelima dan keenam. Hal ini merupakan bentuk perlindungan ekonomi yang sangat penting dalam mendorong perempuan tetap aktif dalam dunia kerja tanpa mengorbankan aspek kesehatan dan peran keibuannya.
Tak hanya itu, dukungan terhadap kesejahteraan ibu dan anak juga diperluas melalui kewajiban penyediaan fasilitas dan akomodasi layak di tempat kerja, tempat umum, dan moda transportasi umum. Di tempat kerja, misalnya, pemberi kerja diwajibkan menyediakan ruang laktasi, fasilitas pelayanan kesehatan, hingga tempat penitipan anak. Bahkan, penyesuaian tugas, jam kerja, dan tempat kerja juga dimungkinkan bagi ibu bekerja, sepanjang tetap memperhatikan target capaian kerja. Ketentuan ini memperlihatkan bahwa hukum di Indonesia telah bergerak ke arah yang lebih progresif dalam menjamin hak-hak ibu bekerja dan memberikan ruang yang lebih manusiawi dalam pelaksanaan peran domestik dan profesional perempuan.
Dengan demikian, meskipun Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah dalam memperbaiki ketentuan terkait paternity leave agar sejalan dengan prinsip kesetaraan dan peran pengasuhan bersama, pencapaian hukum dalam memberikan perlindungan dan dukungan terhadap ibu yang bekerja sudah layak mendapatkan pengakuan dan menjadi fondasi penting menuju keadilan sosial dan pemberdayaan keluarga yang utuh.
Dalam semangat hukum progresif, sudah saatnya ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai paternity leave di Indonesia dievaluasi dan ditingkatkan. Hukum seharusnya menjadi alat untuk mencapai keadilan substantif, termasuk keadilan gender dan kesejahteraan keluarga. Memberikan paternity leave yang layak tidak hanya memperkuat keluarga dan mendukung pemberdayaan tenaga kerja perempuan sekaligus ibu yang bekerja, tetapi juga menciptakan generasi yang lebih sehat dan sejahtera. Oleh karena itu, reformasi kebijakan paternity leave adalah suatu urgensi yang perlu diwujudkan sebagai bentuk konkret dari pembangunan hukum yang berpihak pada pemberdayaan tenaga kerja perempuan yang bekerja.