Pidana

Serba-Serbi Hukum Pidana: Bagian Ke-1

Heksa Archie Putra Nugraha
1263
×

Serba-Serbi Hukum Pidana: Bagian Ke-1

Sebarkan artikel ini
Serba-Serbi Hukum Pidana: Bagian I
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum Artikel ini membahas mengenai sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia mulai jaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan. Kira-kira bagaimana yah sejarah dan perkembangannya? yuk simak penjelasan di bawah ini.

Sejarah dan Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia

Hukum pidana merupakan salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan antara warga negara dan negara perihal tindakan yang dilarang. Pada dasarnya, Indonesia telah mengenal hukum pidana jauh sebelum merdeka. Adapun sejarah dan perkembangan hukum pidana di Indonesia adalah sebagai berikut.

Zaman Penjajahan Belanda

Sebelum Belanda menjajah Indonesia, masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia memiliki aturan adatnya masing-masing, termasuk pidana adat yang berbentuk hukum tidak tertulis. Hukum pidana tertulis dimulai semenjak kedatangan Belanda pada 1596.

Belanda memberlakukan hukum kapal, yakni gabungan hukum Belanda kuno dan asas-asas dalam hukum Romawi. Pada tahun 1642, Belanda mengganti hukum kapal menjadi Bataviasche Statuten atau Statuta Betawi yang mengenal beberapa jenis pemidanaan, antara lain penjara, kerja paksa, dan hukuman pukul dengan rantai.

Selain itu, untuk memperkuat pengaruhnya, Belanda juga ikut campur dalam tatanan hukum adat, yakni dengan melakukan kodifikasi:

  • Hukum adat Tionghoa oleh Pusat VOC yang berlaku bagi orang Tionghoa di Betawi dan sekitarnya pada tahun 1761.
  • Pepakem Cirebon yang berlaku bagi bumiputera di Cirebon dan sekitarnya pada tahun 1757.
  • Kitab Hukum Mogharraer (himpunan hukum pidana Islam) bagi bumiputera di Semarang pada tahun 1750.

Pada prinsipnya, Belanda berkeinginan untuk membuat hukum pidana sendiri dan diberlakukan di Indonesia, tetapi justru dijajah oleh Prancis sehingga yang berlaku adalah Code Penal Prancis dalam kurun waktu 1811-1813. Setelah merdeka, pada tahun 1881 Belanda membuat KUHP dan mulai berlaku pada 1886 dengan nama Nedherlands Wetboek van Strafrecht.

Berlandaskan asas konkordansi, KUHP Belanda diberlakukan di Hindia-Belanda dengan pembagian sebagai berikut:

  • Wetboek van Strafrecht voor Europeanen untuk golongan Eropa dan ditetapkan melalui Koninlijke Besluit (Keputusan Raja) pada 10 Februari 1866. Buku ini memuat kejahatan.
  • Wetboek van Strafrecht voor Nedherlands Indie untuk penduduk Hindia-Belanda dan Timur Asing yang ditetapkan melalui Ordonantie (setingkat undang-undang) pada 6 Mei 1872. Buku ini memuat kejahatan.
  • Algemeene Politie Strafreglement untuk golongan Eropa dan ditetapkan melalui Ordonantie yang memuat pelanggaran.
  • Algemeene Politie Strafreglement untuk penduduk Hindia-Belanda dan Timur Asing yang ditetapkan melalui Ordonantie yang memuat pelanggaran.

Adanya dualisme hukum pidana mendorong Menteri Kehakiman Belanda untuk melakukan unifikasi hukum dengan melebur empat buku menjadi satu dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nedherlands Indie (selanjutnya disebut “WvS NI”) melalui Koninlijke Besluit 15 Oktober 1915 (Staatsblad 1915 Nomor 732) dan berlaku untuk semua golongan penduduk di Hindia Belanda. WvS NI mulai berlaku pada tahun 1918.

Zaman Penjajahan Jepang

Pada saat Jepang menduduki Hindia-Belanda, berlaku Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 yang mengatur bahwa WvS NI tetap berlaku, tetapi ditambahkan Gunsei Keizirei (undang-undang pidana Jepang) sebagai tambahan.

Zaman Kemerdekaan

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) sebagai konstitusi yang memuat ketentuan Pasal II dan Pasal IV Aturan Peralihan. Aturan tersebut dijadikan dasar oleh Presiden dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 (selanjutnya disebut “PP 2/1945”) tanggal 10 Oktober 1945. Ketentuan tersebut akan menjadi dasar berlakunya WvS NI di Indonesia.

Pada 26 Februari 1946, Presiden bersama Badan Pekerja Komite Nasional Pusat membuat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut “UU 1/1946”) dengan tujuan untuk menghindari kekosongan hukum. Selain itu, juga sebagai dasar berlakunya KUHP, baik di dalam wilayah Jawa-Madura dan wilayah lainnya. Beberapa poin penting dalam UU 1/1946, antara lain:

  • Terdapat dualisme dalam keberlakuan KUHP sebab Pasal 6 UU 1/1946 mengubah nama WvS NI menjadi WvS/KUHP dan berlaku bagi wilayah Jawa & Madura, sedangkan Pasal 17 UU 1/1946 menetapkan WvS NI asli berlaku bagi wilayah selain dalam Pasal 6.
  • Hubungan Pasal 1 dan Pasal 4 UU 1/1946 adalah karena Indonesia belum mampu membuat ketentuan pidana secara mandiri, maka tetap menggunakan ketentuan WvS NI dengan mengubah beberapa perubahan sesuai kondisi Indonesia yang sudah merdeka, antara lain WvS NI menjadi KUHP/WvS dan perubahan pasal-pasal kolonial.
  • Hubungan Pasal 1 dan Pasal 4 UU 1/1946 adalah karena Indonesia belum mampu membuat ketentuan pidana secara mandiri, maka tetap menggunakan ketentuan WvS NI dengan mengubah beberapa perubahan sesuai kondisi Indonesia yang sudah merdeka, antara lain WvS NI menjadi KUHP/WvS dan perubahan pasal-pasal kolonial.
  • Pembatasan mengenai keberlakuan WvS NI, menurut Pasal 5 UU 1/1946, antara lain:
  • Ketentuan yang seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan;
  • Ketentuan yang bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka; dan
  • Ketentuan yang tidak lagi memiliki arti.

Menurut Han Bing Siong dan Prof Soedarto, pasal tersebut hanya berlaku bagi ketentuan di luar KUHP, sedangkan Prof Moeljatno dan Oemar Seno Adji berpendapat bahwa ketentuan tersebut berlaku baik di dalam maupun di luar KUHP.

  • Perubahan beberapa istilah dalam KUHP yang diatur dalam Pasal 8 UU 1/1946 sebagaimana diamanatkan Pasal 5 UU 1/1946, antara lain:
  • Gouvernour-general van Nedherlands Indie menjadi Presiden;
  • Directeur van Justitie menjadi Menteri Kehakiman;
  • Gulden menjadi rupiah.
  • Ketentuan Pasal 17 UU 1/1946 yang memuat:
  • UU 1/1946 mulai berlaku sejak hari diumumkan, yakni 26 Februari 1946 untuk wilayah Jawa dan Madura;
  • UU 1/1946 baru berlaku sejak 8 Agustus 1946 melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 1946 (selanjutnya disebut “PP 8/1946”) untuk wilayah Sumatera;
  • Beberapa daerah di luar Jawa yang masih diduduki NICA tetap menggunakan WvS NI sejak tanggal 22 September 1948.

Mengenai pasal tersebut, Han Bing Siong dan Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Jakarta Raya masih menggunakan WvS NI dengan alasan karena masih digunakannya ketentuan tersebut tatkala terjadi perkara pidana. Wilayah Jakarta Raya baru tunduk pada KUHP setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “UU 73/1958”)

Setelah keberlakuan UU 1/1946, dualisme hukum kembali terjadi sebab bentuk negara berubah menjadi negara serikat dan KUHP hanya berlaku untuk Republik Indonesia dan negara bagian lain yang menggabungkan diri. Di lain sisi, Republik Indonesia Serikat di luar Republik Indonesia, seperti Indonesia Timur, Sumatera Timur, dan Kalimantan masih menggunakan WvS NI.

Dualisme tersebut berakhir setelah UU 73/1958 diundangkan sehingga terjadi unifikasi hukum pidana. Terhadap KUHP yang berlaku hingga saat ini (UU 1/1946 jo. UU 73/1958), terdapat beberapa penambahan, yaitu:

  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 (selanjutnya disebut “UU 20/1946”) mengenai penambahan satu macam pidana pokok selain sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni pidana tutupan;
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1951 (selanjutnya disebut “UU 8/1951”) mengenai tindak pidana imigrasi;
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 (selanjutnya disebut “UU 1/1960”) mengenai perubahan KUHP;
  • Undang-Undang Nomor 16 (Prp) Tahun 1960 (selanjutnya disebut “UU 16/1960 Prp”) mengenai perubahan kata “…vijf en twintig gulden…” dalam Pasal 362, 373, 384, dan 401 ayat (1) KUHP menjadi Rp250,00;
  • Undang-Undang Nomor 1 (Pnps) Tahun 1964 (selanjutnya disebut “UU 1/1964 Pnps”) mengenai perubahan pelaksanaan pidana mati yang semula digantung di tiang gantungan (vide Pasal 11 KUHP) menjadi ditembak oleh regu tembak hingga mati;
  • Undang-Undang Nomor 1 (Pnps) Tahun 1965 (selanjutnya disebut “UU 1/1965 Pnps”) mengenai pasal baru dalam Bab V menjadi Pasal 156 dan Pasal 156a tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum;
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 (selanjutnya disebut “UU 7/1974”) mengenai “penertiban perjudian” yang dahulu diklasifikasikan sebagai pelanggaran dengan ancaman hukum rendah menjadi kejahatan dengan ancaman hukuman lebih tinggi; dan
  • Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 (selanjutnya disebut “UU 4/1976”) mengenai perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP perihal perluasan cakupan KUHP, yakni kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana-prasarana penerbangan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.