Literasi Hukum – Artikel ini membahas tentang definisi dan pengertian seponering serta kaitannya dengan asas oportunitas dan peran Jaksa dalam proses peradilan pidana. Artikel ini juga menjelaskan mengenai wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lainnya berdasarkan undang-undang.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dilaksanakan secara merdeka. Pengaturan fungsi Kejaksaan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman perlu dikuatkan sebagai landasan kedudukan kelembagaan dan penguatan tugas dan fungsi Kejaksaan.
Dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang Penuntutan, kewenangan Kejaksaan untuk dapat menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan memiliki arti penting dalam menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) dan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana. Dan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh seorang Jaksa yang tidak kalah penting adalah prinsip oportunitas (principle of opportunity).
Mengenal Seponering
Sebagian besar dari kita masih seringkali terjadi kebingungan dalam mempergunakan istilah antara deponering dengan seponering. Kendati pada beberapa bahan pustaka hukum sebagian ahli mayoritas mempergunakan istilah seponering ketimbang deponering.
Ditinjau dari segi bahasa, seponering atau seponeren artinya terzijde leggen (menyampingkan), niet vervolgen (tidak menuntut). Terminologi ini hanya dikenal dalam hukum pidana sebagaimana diatur dalam Het Nederlands Strafprocesrecht. Sinonim dari seponeren adalah sepot. Penghentian penuntutan karena dianggap tidak perlu, disebut dengan beleidsspot (penghentian secara kebijakan), sedangkan penghentian karena tidak cukup bukti disebut secara technischspot.
Secara sederhana, seponering adalah istilah yang digunakan dalam konteks hukum untuk menghentikan atau menunda suatu proses hukum atau kasus tanpa mengambil keputusan akhir. Seponering biasanya terjadi ketika pihak yang berwenang, seperti pengadilan, menentukan bahwa kasus atau proses hukum tersebut tidak akan dilanjutkan atau diselesaikan dalam waktu dekat.
Seponering dapat terjadi karena berbagai alasan, termasuk kurangnya bukti yang cukup, penyelesaian di luar pengadilan, atau keputusan untuk tidak melanjutkan proses hukum tersebut karena pertimbangan lain. Dengan kata lain, seponering bisa dianggap sebagai penundaan atau penghentian sementara suatu kasus atau proses hukum.
Seponering merupakan bentuk pelaksanaan dari asas oportunitas yang melekat pada Jaksa berdasarkan Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: “Jaksa Agung dapat mengesampingkan suatu perkara demi kepentingan umum”.
Kemudian ditengaskan juga dalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat. Mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Asas oportunitas sendiri atau opportuniteitsbeginsel merupakan kewenangan Jaksa Agung dalam melakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum. Hematnya, kaidah dari asas oportunitas yang berarti pengesampingan perkara demi kepentingan umum. Berdasarkan asas oportunitas ini Jaksa diberikan kewenangan untuk menuntut dan tidak menuntut suatu perkara ke pengadilan baik dengan syarat maupun tanpa syarat. The public prosecutor may decide conditionally to make procesution to court or not.
Untuk memperluas pendefinisian tersebut A.L Melai sebagaimana dikutip oleh A.Z Abidin mengatakan bahwa pekerjaan Penuntut Umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan rechvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan masak-masak berhubung karena hukum menuntut adanya keadilan dan persamaan hukum.
Dilihat berdasarkan prinsip diferensiasi fungsional sub-sistem peradilan pidana, wewenang penuntutan menjadi kekuasaan absolut penuntut umum atau Jaksa. Secara implisit, kekuasaan untuk menuntut seseorang menjadi monopoli penuntut umum. Artinya, bahwa orang lain atau badan lain tidak berwenang untuk itu.
Istilah lain menyatakan bahwa “dominus litis” ada di tangan Jaksa. Seperti yang dikemukakan oleh R.M Surachman yang merujuk pada tradisi dan doktrin penuntutan dikenal asas dominus litis atau pengendali proses perkara, di beberapa negara seperti Jepang, Belanda dan Perancis wewenang penuntutan adalah monopoli Jaksa. Artinya, dalam proses pidana Jaksa berwenang apakah suatu perkara dapat dilakukan penuntutan ke pengadilan atau tidak.
Berkaitan dengan kewenangan ‘tunggal’ itulah, maka Penuntut Umum atau Jaksa berhak untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang walaupun seseorang tersebut telah melakukan perbuatan pidana, dengan pertimbangan bahwa jika penuntutan tersebut dilakukan akan merugikan kepentingan umum.
Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji memberikan batasan bahwa dalam penerapannya asas oportunitas harus dapat dilihat dengan kondisi dimana pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Coruption tahun 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, telah memberikan beberapa tipe/bentuk perlindungan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi yang terdiri dari: Protection of witnesses, Expert and Victim (Pasal 32); Protection of Reporting Person (Pasal 33); Protection of Cooperating Persons (Pasal 37).
Pertimbangan Penghentian Penuntutan
Ikhwal mengenai penghentian penuntutan telah diatur secara limitatif dalam KUHAP. Dalam Hukum Acara Pidana terdapat beberapa alasan dan pertimbangan penghentian penuntutan seperti yang disebutkan dalam Pasal 140 Ayat (2) huruf a KUHAP diantaranya: karena tidak cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana dan perkara ditutup demi kepentingan hukum. Terkait dengan alasan ketiga diatur dalam KUHP tentang hapusnya kewenangan melakukan penuntutan dan manjalankan pidana Pasal 76, 77 dan Pasal 78 karena Nebis in idem, tertunduh meninggal dunia dan daluarsa. Demikian beberapa alasan tersebut bisa digunakan untuk tidak melakukan penuntutan seperti yang ditentukan dalam Pasal 46 Ayat (1) huruf b KUHAP.
Jadi sangat jelas bahwa berdasarkan landasan hukum yang berlaku bahwa kewenangan untuk melakukan seponering secara limitatif hanya ada pada tangan Jaksa Agung. Sebagai pertanggungjawaban atas hak oportunitas ini, Jaksa Agung mempertanggungjawabkan pada Presiden berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. Artinya, tidak semua Jaksa dapat mempergunakan peralatan tersebut, kecuali terhadap ketentuan lain dalam melakukan upaya penghentian penuntutan maupun berdasarkan mekanisme restorative justice sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restorative Justice.
Jika dilihat dari dampaknya peralatan seponering merupakan kekuatan yang luar biasa. Oleh karenanya sudah semestinya dipergunakan secara objektif, proporsional dan bertanggung jawab. Kendati masih banyak perbedaan pendapat yang beranggapan bahwa mempergunakan asas oportunitas berpotensi bersifat diskriminatif dan melangkahi prinsip equality before the law.