Opini

Palu Harapan dari Mahkamah itu Bernama ‘Keadilan’

Redaksi Literasi Hukum
202
×

Palu Harapan dari Mahkamah itu Bernama ‘Keadilan’

Share this article
Palu Harapan dari Mahkamah itu Bernama ‘Keadilan’
Palu Harapan dari Mahkamah itu Bernama ‘Keadilan’

Literasi Hukum – Barangkali belum terlalu lama, gempuran suara bedug kontestasi—pertarungan politik di negeri ini telah dimulai.

Pengumuman para calon Presiden dan Wakil Presiden telah memberikan sinyal petanda, bahwa liga telah dimulai, menjamah ke sudut-sudut ruang intelektualitas, dan seakan singgah di pelataran rumahnya.

Menari riang menyusuri lembaga yang selalu diluluhlantangkan sebagai ‘Guardian of Constitution’, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai.

Oleh: Ch Idzan Falaqi Harmer –  Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Bagaimana tidak, putusan Mahkamah Konstitusi terbaru No. 90/PUU-XXI/2023 telah memberikan sedikit gradasi warna berbeda, dan cambuk bagi sebagian pemerhati konstitusi di negeri ini. Wajar saja, jika secara terang benderang Lord Aldi Taher dalam ungkapannya menyebutkan bahwa: “Semua manusia di muka bumi ini bingung, nanti ngga bingung kalau udah di surga” tuturnya.

Oleh karenanya pantas jika salah seorang dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yakni Saldi Isra juga mengeluarkan pernyataan bahwa:

Saya bingung, dan benar-benar bingung untuk menentukan harus darimana memulai pendapat berbeda ini, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh, yang luar biasa, dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar. Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat. Dimana perubahan terjadi dalam hitungan hari. Sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29, 51, 55 Tahun 2023 dengan amar menolak sehingga berubah menjadi mengabulkan dalam putusan a quo. (doc. sidang MK).

Namun naasnya hal ini berujung pelaporan dari pihak Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN) ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) hanya karena dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Ironi.

Senada dengan hal demikian, ungkapan yang sama diutarakan oleh Zainal Arifin Mochtar: “Palu hakim sebenarnya sudah patah dan berkeping, lalu kali ini agak sulit untuk direparasi” (doc. MataNajwa). Tentu, beberapa rekaman ataupun potret realitas yang demikian menggambarkan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan ‘pasak’ tidak lagi berada pada tempatnya.

Bagaimana Mahkamah Konstitusi Dewasa ini?

Mahkamah Konstitusi, dalam potret yang kian hari terlihat semakin memperluas kewenangannya pada koridor kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan.

Kemudian, perihal Judicial Activism yang pada kali ini terlalu merambas kepada batasan-batasan yang telah dikerangkengi oleh Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana idealnya harapan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdiri.

Tentu belum sampai disitu saja, walaupun jaminan pendirian dan kewenangan Mahkamah Konstitusi telah ditegaskan dalam payung hukum paling mendasar yakni Konstitusi 1945. Tetapi, ihwal lain berkata sebaliknya. Mahkamah Konstitusi yang kian hari cenderung menggunakan palu kekuasaannya untuk menerobos jaring-jaring pembatas sebagaimana amanat Negative Legislacture yang dimandatkan kepada Mahkamah Konstitusi.

Namun, sebagaimana yang terjadi memang sebaliknya—Mahkamah Konstitusi telah menerobos ketentuan-ketentuan yang menjadi pagar ideal berdirinya sebuah lembaga tersebut. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah: “Bagaimana keteguhan pendirian Hakim Konstitusi dan Pondasi Mahkamah Konstitusi sebagai Guardian of Constitution dewasa ini?”

Catatan lain yang perlu dipahami bersama bahwa; dalam ‘aturan main’ mazhab constitutionalism secara terang benderang menegaskan dan memberi pagar terhadap batasan penyelenggaraan negara agar tidak sewenang-wenang atau otoriter. Apakah Mahkamah Konstitusi selaku Guardian of Justice telah menerobos batasan-batasan tersebut dalam putusan a quo?

Memang, pada dasarnya hal tersebut masih menjadi diskursus dan perdebatan terhadap ‘peristiwa apa yang sebetulnya terjadi dibalik ini?’ yang disinyalir oleh sebagian pemerhati bahwa adanya indikasi politis yang menjamah dalam tubuh Mahkamah Konstitusi.

Sementara, Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga yang dilegitimasi ke-integritasannya kian hari harus mampu menjaga ke-istiqomahannya sebagaimana semestinya, tanpa kemudian harus mengikuti arus perkembangan dan pertarungan medan politik. Apalagi peristiwa yang terjadi saat ini, mengubah pendirian Mahkamah Konstitusi dalam sekelebat saja.

Palu Harapan dari Mahkamah itu bernama ‘Keadilan’

Bahkan sudah terlalu banyak teori yang menjelaskan mengenai redaksi yang dicita-citakan dan didambakan oleh semua orang ini, yakni keadilan. Menjadi catatan bahwa, Mahkamah Konstitusi dalam peranannya sebagai penampung segala permohonan yang masuk dan diterima, seketika kalah dengan seorang pemuda yang hanya mendalilkan alasan ‘lantaran kekaguman terhadap seorang sosok yang telah membangun daerahnya dengan baik’.

Apakah hal tersebut telah memberikan sinyal dan petanda bahwa Mahkamah Konstitusi kedepan akan mengabulkan setiap permohonan Judicial Review yang masuk lantaran ‘kekaguman terhadap seorang sosok di negeri ini?’.

Barangkali hal ini menjadi penting, interpretasi bagi pemangku kekuasaan terhadap keadilan dimaknai kian hari makin abstrak. Benar jika dikatakan bahwa: “keadilan itu sifatnya abstrak, namun ketidakadilan sangat terasa adanya”.

Untuk memperoleh makna keadilan yang sesungguhnya, kerap kali disusupi oleh kepentingan yang dilematis, dan manfaatnya hanya bagi sebagian orang, bukan semua. Sehingga, untuk menjangkau keadilan itu sendiri kadangkala harus berangkat dari sebuah ketidakadilan.

Oleh karenanya mengapa netralitas Mahkamah Konstitusi itu dinilai penting dan terhindar dari kepentingan-kepentingan yang berusaha menjamah ke dalam tubuh Mahkamah Konstitusi. Sudah sejatinya sebagai lembaga yang memayungi keadilan untuk semua, Mahkamah Konstitusi menempatkan perhatian terhadap alasan logis mengapa pentingnya menempatkan pikiran dan perspektif seorang Hakim dalam konteks universialitas sebuah bangsa dan negara, demi tewujudnya jaminan Equality Before The Law di republik ini.

Bagaimanapun, harapan semua orang di negeri ini adalah sama. Memperoleh hak dan jaminan untuk diberlakukan sama dihadapan hukum, sebagaimana yang kerap disebut Equality Before The Law, dengan atau tanpa ‘mengganggu dan diganggu’ hak dan jaminan orang lain (Konstitusi 1945, Pasal 28J). Sebagian penyair mendalilkan dengan sebuah ungkapan: “hidup dalam ketenangan”.

Tetapi yang menjadi problem dilematis adalah: “apakah hidup dalam ketenangan di republik ini hanya menjadi sebuah angan-angan atau sebatas harapan yang utopis?”. Tentu, sudah semestinya harapan dan doa-doa yang baik selalu dilantunkan, teruntuk hal-hal baik. Agar republik ini dilindungi selalu dalam tujuan sebagaimana ia berdiri.

Wallahu a’lam bishawab..

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Presiden tidak boleh berkampanye
Opini

Presiden tidak boleh berkampanye untuk orang lain. Pada tanggal 24 Januari 2024, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak. Pernyataan ini menimbulkan polemik di kalangan…

kelompok kepentingan
Opini

Literasi Hukum – Pelajari peran penting dan tantangan kelompok kepentingan dalam demokrasi digital. Temukan bagaimana mereka mempengaruhi opini publik dan pengambilan keputusan kebijakan, serta dampaknya pada sistem politik yang pluralistik. Analisis tentang…