Opini

Analisis Kritis Purifikasi Hukum Hans Kelsen dari Perspektif Sosiologis dan Etis

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
1101
×

Analisis Kritis Purifikasi Hukum Hans Kelsen dari Perspektif Sosiologis dan Etis

Sebarkan artikel ini
Purifikasi Hukum Hans Kelsen
Ilustrasi Gambar (Sumber Canva)

Literasi HukumArtikel ini mengulas dan mengkritik purifikasi hukum Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murninya. Yuk simak penjelasan terkait purifikasi hukum Hans Kelsen dari perspektif sosiologi dan etis di bawah ini!

Dari Positivisme Menuju Formalisme

Aliran positivisme yang digagas oleh Auguste Comte menyuguhkan sebuah dobrakan intelektual revolusioner pada masanya. Ajaran yang ia bawa menitikberatkan adanya parameter uji dalam bidang keilmuan. Penekanan pada parameter uji tersebut berorientasi pada terjaganya fakta empiris dari asumsi prediktif dan klaim-klaim kabur yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Lebih jauh lagi, ia menekankan adanya pemisahan secara ketat ranah keilmuan dengan ranah moral dan keagamaan yang bersifat dogmatik.1

Paradigma yang memisahkan anasir keilmuan dengan anasir non keilmuan, seperti moral dan agama, dikonstruksi di atas postulat bahwa ide abstrak tidak boleh dan tidak dapat disatukan dengan ide konkret. Estafet paradigma ini dilanjutkan oleh para filsuf hukum dengan aliran formalisme yang memisahkan nilai abstrak, di antaranya etika dan keadilan, dengan hukum sebagai ranah keilmuan yang bersifat konkret. Aliran formalisme yang berorientasi pada konkretisasi hukum inilah yang kemudian menitikberatkan adanya kepastian hukum bahkan di atas keadilan. Hal ini tercermin dalam tiga sifat hukum positivistik-formalistik, yaitu : Lex Scripta, Lex Certa, dan Lex Stricta.2

Sifat hukum positivistik-formalistik; tertulis, pasti/jelas, dan kaku; menggambarkan bagaimana atmosfer hukum yang kaku dan tegas. Sifat kaku dan tegas ini melekat pada hukum karena ia digambarkan sebagai pemimpin atau command yang berfungsi sebagai instrumen pengendali sosial atau instrument of social control. Objektivitas hukum dijunjung tinggi demi merealisasikan fungsi dan orientasi hukum ini. Konsekuensi logisnya adalah valuasi objektivitas hukum harus melalui parameter uji yang objektif juga agar  terhindar dari anasir yang memengaruhi objektivitas hukum.

Purifikasi Hukum Hans Kelsen

Hukum dalam pandangan Hans Kelsen dikonstruksi di atas peninjauan kembali terhadap teori hukum alam yang menyandarkan validasi hukum hanya pada aspek moral.3 Aspek moral, di antaranya adalah keadilan dan etika, merupakan hal yang sangat subjektif dan hampir mustahil untuk menerapkannya karena parameter yang digunakan bersifat bias dan nonsistemik. Sebagai contoh, definisi keadilan yang bersandar pada pemenuhan kebahagiaan sosial. Definisi ini menyisakan kejanggalan karena pemenuhan tersebut bersandar pada faktor emosional sehingga bersifat relatif. 4

Relativitas moral ini dapat membawa ambiguitas hukum yang ditentang oleh aliran positivisme. Sebagaimana uraian di atas, aliran ini mematok parameter uji yang objektif, sedangkan faktor emosional masuk ke dalam ranah subjektif. Hukum dituntut bersifat objektif agar ia tidak terbukanya peluang disalahgunakan dan menguntungkan suatu golongan, sedangkan di satu sisi merugikan dan represif terhadap golongan lainnya. Argumentasi inilah yang digunakan Hans Kelsen dalam mengkonstruksi Teori Hukum Murni atau Pure Theory of Law.

Teori ini mendeduksikan hukum sebagai objek kajian ilmiah yang lepas dari tendensi metafisik. Prospek tendensi metafisik diproyeksikan tidak dapat merepresentasikan hukum sebagai fakta sosial karena orientasinya yang memang saling berhadapan secara diametral. Hukum sebagai fakta sosial berorientasi pada penyelesaian problematika empiris dengan mencari jawaban yang riil dan tidak ada korelasinya dengan aspek metafisik. Hal ini tentu berbeda dengan aspek metafisik yang berorientasi pada ide transedental, baik dan buruk, yang tidak mungkin dapat dikawinkan dengan fakta sosial yang bersifat nontransedental. Oleh karena itu, hukum wajib dipisahkan secara ketat dari tendensi metafisik dan tendensi non empiris lainnya

Selain itu, teori ini mempresuposisikan legitimasi hukum dengan tanpa sandaran valuasi nonhukum. Hukum mendapatkan legitimasinya karena ia lahir dari prosedur yang ditentukan oleh hukum itu sendiri. Legitimasi akhir yang menjadi sandaran bagi hukum adalah konstitusi sebagai grundnorm atau norma dasar. Validitas dan legitimasi konstitusi merupakan presuposisi terakhir dan postulat final dalam hierarki norma hukum. Presuposisi terhadap validitas dan legitimasi konstitusi diperlukan karena ia adalah acuan validitas dan legitimasi norma hukum di bawahnya. Dengan demikian, tanpa adanya grundnorm tersebut, hukum tidak akan memperoleh legitimasinya.5

Kritik Purifikasi Hukum Hans Kelsen

Teori yang dibawa dan digagas oleh Hans Kelsen berorientasi pada purifikasi hukum dari anasir non hukum yang dapat “mengotori” hukum itu sendiri. Anasir non hukum seperti etika dan  keadilan harus ditanggalkan dalam mengonstruksi norma hukum. Purifikasi Hukum Hans Kelsen ini dipreposisikan dapat menjadi garansi terjaminnya kepastian hukum dan terhindar dari tendensi subjektif.

Sebagai fakta sosial, hukum tidak mungkin lepas dari manusia sebagai makhluk sosial dan nilai-nilai yang dibawa oleh manusia itu sendiri. Nilai-nilai tersebut membawa tendensi baik secara etis maupun transendental. Purifikasi hukum Hans Kelsen secara sengaja merupakan bentuk labelisasi “buta” pada hukum dan berimplikasi pada ketidakserasian hukum dengan fakta sosial yang terjadi. Jika hukum tidak dapat bersahabat dan memberikan penyelesaian problematika yang terjadi, maka urgensi  hukum perlu dipertanyakan.

Urgensi hukum tidak dapat terlihat dan dirasakan jika ia dipisahkan dengan anasir non hukum seperti etika dan keadilan. Keadilan sebagai sebuah tendensi subjektif, tidak dapat disangsikan memiliki definisi dan konsep yang beragam. Konsep dan definisi ini sangat bergantung dengan masa dan lingkungan sosial di mana hukum tersebut ditemukan. Adalah hal yang wajar bahwa konsep dan definisi hukum di suatu masa dan tempat berbeda satu sama lain. Adalah hal yang tidak wajar bahwa hukum harus dipisahkan dengan keadilan karena labelisasi non empiris dan subjektif padanya.

Dengan analisis pemaparan di  atas, dapat disimpulkan bahwa  di balik karakteristik kemurnian hukum, beragam anasir non hukum menyusun dan mengonstruksi hukum yang didekusikan murni oleh teori ini.  Secara langsung dan tidak langsung anasir non hukum tersebut menuangkan kontribusinya dalam konstruksi hukum. Dengan demikian, postulat bahwa hukum adalah murni dan harus dimurnikan, purifikasi, merupakan cacat logika atau logical fallacy.

Alternatif Solusi Menyikapi Purifikasi Hukum Hans Kelsen

Teori hukum murni yang digagas oleh Hans Kelsen memang memiliki cacat logika yang dapat membawa dampak fatal bagi penerapan hukum itu sendiri. Sebagaimana yang telah dibahas di atas, teori ini tidak dapat menjawab beberapa hal yang sangat penting, seperti etika dan keadilan. Jika ditelusuri, cacat logika ini bersumber dari corak aliran positivisme yang menjadi payung bagi teori hukum murni.

Parameter aliran positivisme bersandar pada valuasi objektif tunggal dan menolak valuasi yang tidak selaras dengan parameter ujinya. Paramater uji  tersebut dikonsepsikan agar tidak tercampur unsur fisik dan metafisik. Hal ini dapat dilihat dengan penolakan teori ini terhadap konsep etika dan keadilan yang dipostulasikan sebagai aspek subjektif dan bias makna, tidak tunggal.

Cacat logika dalam hukum positif ini dapat ditanggulangi dengan menerapkan konsep percampuran atau amalgamasi. Konsep amalgamasi dalam konteks hukum positif adalah memasukkan konsep hukum tidak tertulis ke dalam hukum positif. Hukum tidak tertulis ini dapat memberikan warna karena karakteristik fleksibel yang melekat pada hukum tidak tertulis.

Ekstensi konsep hukum positif juga meranah ke dalam manifestasi hukum yang menyatu dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini disebabkan penolakan hukum positif terhadap anasir positivistik yang memisahkan diri dari masyarakat. Dengan demikian, karakteristik kaku dan tegas pada hukum positif dapat memudar dan lebih fleksibel.6

Penerapan konsep ini dapat menjadi kontrol bagi hukum positif yang terkenal dengan karakteristik aslinya yang kaku dan tegas. Di samping sifat tegas dan kakunya itu, hukum dituntut pula untuk fleksibel agar ia dapat bersahabat dengan fakta sosial yang ada dan mampu memberikan solusi yang dapat diterima setiap pihak. Dengan demikian, pencampuran konsep ini dapat menjadi alternatif solusi dalam menyikapi hukum positif.

  1. M.S. Buana, Perbandingan Hukum Tata Negara : Filsafat, Teori, dan Praktik (Sinar Grafika : Jakarta Timur, 2023), halaman 26 ↩︎
  2. Suteki, Hukum, Moral, dan Agama (Thafa Media : Yogyakarta, 2023), halaman 30 ↩︎
  3. (Buana, 2023), halaman 35 ↩︎
  4. Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Konstitusi Press : Jakarta, 2022), halaman 17 ↩︎
  5. Ibid, halaman 90 ↩︎
  6. I. Y. Isdiyanto, Rekonstruksi Hukum & Ketatanegaraan Indonesia (UII Press : Yogyakarta, 2017), halaman 17-20 ↩︎

Daftar Referensi

  • Buana, M. S. (2023). Perbandingan Hukum Tata Negara : Filsafat, Toeri, dan Praktik. Jakarta Timur: Sinar Grafika.
  • Isdiyanto, I. Y. (2017). Rekonstruksi Hukum & Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
  • Jimly Asshiddiqie, M. Ali Safa’at. (2021). Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta: Konstitusi Press.
  • Suteki. (2023). Hukum, Moral, dan Agama. Yogyakarta: Thafa Media.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.