Opini

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara atas Korupsi oleh Terdakwa DPO: Urgensi Persidangan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?

Shinfani Wardhani
1342
×

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara atas Korupsi oleh Terdakwa DPO: Urgensi Persidangan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?

Sebarkan artikel ini
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara atas Korupsi oleh Terdakwa DPO: Urgensi Persidangan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi?
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

Literasi HukumArtikel ini menggali urgensi persidangan in absentia dalam kasus korupsi yang melibatkan terdakwa DPO di Indonesia, mengkaji implikasi hukum dan kebutuhan pemulihan aset keuangan negara. Temukan wawasan mendalam tentang proses hukum dan tantangan dalam memaksimalkan pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

Dinamika Penegakan Hukum dalam Kasus Korupsi dengan Terdakwa DPO

Indonesia saat ini sedang digemparkan oleh kasus korupsi dengan nominal yang sangat besar dari sepanjang sejarah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Korupsi berkaitan erat dengan kerugian keuangan negara yang kemudian menjadi urgensi untuk dipulihkan dengan melalui proses penegakan hukum yang tepat. Dalam proses penegakan hukum, tak selamanya pelaku korupsi akan selalu kooperatif dan bertanggung jawab atas tindak pidana yang telah dilakukan. Justru ditemui adanya pelaku korupsi yang melarikan diri hingga berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) dan akhirnya proses penegakan hukum tidak bisa terlaksana dengan maksimal. Adanya pelaku korupsi yang berstatus DPO kemudian melahirkan pelaksanaan persidangan in absentia.

Dasar hukum pelaksanaan persidangan in absentia perlu digali untuk memastikan perwujudan kepastian hukum sebagai tujuan utama hukum, mengingat Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Salah satu ahli hukum, yaitu Gustav Radburch menyatakan dengan tegas bahwa kepastian hukum merupakan tujuan utama yang melekat pada hukum, sehingga perwujudan kepastian hukum dengan ini harus diperhatikan betul-betul.

Persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi pada dasarnya dipayungi hukum oleh ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi bahwa “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya”.

Namun yang kita ketahui bahwa undang-undang tersebut tidak mengatur terkait hukum acara pemeriksaan in absentia terhadap tindak pidana korupsi secara spesifik. Hukum acara yang digunakan ialah mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pemeriksaan persidangan secara in absentia, hal tersebut dilatarbelakangi oleh Terdakwa yang tidak menghadiri persidangan karena telah melarikan diri dan tidak meninggalkan jejak sama sekali, sehingga tidak diketahui dengan jelas keberadaannya dan statusnya adalah DPO. DPO sendiri bukan merupakan sebuah istilah yang telah diatur secara tegas didalam KUHAP.

Istilah Daftar Pencarian Orang (DPO) tertuang didalam Pasal 17 Ayat (6) Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, namun yang tertuang ialah terkait definisi dari Tersangka berstatus DPO, bukan Terdakwa DPO.

Pasal 196 Ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali ditentukan lain” sejatinya tidak bisa serta merta dijadikan landasan dalam pemeriksaan persidangan secara in absentia terhadap perkara tindak pidana korupsi, karena Pasal tersebut dapat diartikan bahwa in absentia dapat dilakukan pada saat agenda putusan saja sebagaimana terdapat kata “memutus perkara”, bukan “memeriksa perkara”, yang mana menunjukkan bahwa seharusnya pada agenda persidangan pemeriksaan sebelum-sebelumnya ialah terdakwanya telah diketahui. Pasal 214 Ayat (1) KUHAP sangat sesuai apabila dijadikan landasan dalam pemeriksaan persidangan in absentia pada tindak pidana korupsi, yang mana berbunyi bahwa “Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan”.

Ketentuan Pasal 214 Ayat (2) KUHAP yang berbunyi bahwa “Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana” tidak dapat digunakan landasan dalam pemeriksaan persidangan in absentia pada perkara tindak pidana korupsi yang terdakwanya adalah berstatus DPO. Hal tersebut karena pada pasal itu menunjukkan bahwa keberadaan Terdakwa ialah diketahui atau tidak berstatus DPO, namun hanya saja tidak dapat menghadiri persidangan pada agenda putusan karena terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan untuk hadir, seperti sakit, dan sebagainya.

Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi bahwa “Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain”. Ketentuan tersebut sesuai apabila dijadikan landasan dalam pemeriksaan persidangan in absentia pada perkara tindak pidana korupsi, karena terdapat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah menentukan lain, yaitu adanya persidangan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi.

Penjelasan pada Pasal tersebut ialah berbunyi bahwa “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh Hakim”. Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi bahwa “Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa” juga telah sesuai ketika dijadikan landsan, yang di mana Pasal tersebut merupakan serangkaian pemeriksaan persidangan in absentia pada tahap putusan.

Efek Jera Pemeriksaan Persidangan In Absentia pada Tindak Pidana Korupsi

Pemeriksaan persidangan in absentia pada perkara tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku walaupun ketentuannya tersebut masih terpisah-pisah ialah sejatinya menunjukkan bahwa kepastian hukumnya telah diupayakan sekaligus diwujudkan. Namun, pemeriksaan persidangan in absentia pada tindak pidana korupsi ialah tidak kemudian dapat membuat efek jera bagi pelaku dan tidak serta merta dapat dengan mudah mengembalikan kerugian keuangan negara.

Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga menyatakan demikian ialah pada realitanya justru tidak dapat terwujud demikian.

Hal tersebut ditunjukkan sebagaimana kasus pada Putusan Nomor: 66/Pid.Sus- TPK/2020/PN.Sby., yang mana terdapat Terdakwa pelaku tindak pidana korupsi berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Nur Cholifah, S.E. dan proses persidangannya dilakukan secara In Absentia hingga putusan dijatuhkan yang kemudian terdapat upaya hukum hingga berkekuatan hukum tetap. Terdakwa tersebut telah korupsi senilai Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar), yang kemudian telah merugikan aset negara senilai Rp. 30.000.000,00, – (tiga puluh juta rupiah). Terdakwa tersebut walaupun telah dilakukan pemeriksaan persidangan secara in absentia ialah tidak kemudian menjadikan dirinya jera, terbukti hingga diputuskan pada beberapa tingkatan dan berkekuatan hukum tetap ialah dirinya tetap melarikan diri.

Terkait aset negara yang telah dirugikan oleh Terdakwa tersebut juga tidak bisa kembali karena banyaknya kendala pada proses eksekusi. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah saya lakukan, kendala tersebut ialah terjadi dalam hal pihak keluarga atau orang terdekat terdakwa yang tidak kooperatif, sehingga penyitaan aset ialah tidak dapat terlaksana. Ditambah lagi dengan harta benda tersebut sudah dipindahtangankan dengan berbagai cara.

Nilai kerugian aset negara akibat tindak pidana korupsi tersebut juga nilainya lebih kecil dibandingkan keperluan biaya yang dibutuhkan untuk persyaratan pelaksanaan pemeriksaan persidangan in absentia, sehingga justru hal tersebut mengurangi aset negara. Dengan demikian menunjukkan bahwa pemeriksaan persidangan in absentia pada perkara korupsi ialah tidak kemudian dapat dikatakan dapat memulihkan kerugian aset negara akibat korupsi tersebut. Ketentuan hukum yang ada terkait pemeriksaan persidangan in absentia pada perkara tindak pidana korupsi ialah menunjukkan bahwa belum mewujudkan efektivias hukum.

Menurut Donald Black, efektivitas hukum ialah diwujudkan dengan adanya aturan yang kemudian selaras dengan realitanya. Ketika terdapat aturan pemeriksaan persidangan in absentia yang maksudnya ialah untuk membuat jera sekaligus memulihkan aset negara, namun pada realitanya maksud tersebut tidak terwujud, tentu menunjukkan bahwa efektivias hukum belum terwujud.

Perlu dilahirkannya undang-undang secara spesifik yang mengatur tentang sistem peradilan pidana in absentia, terkhusus pada tindak pidana korupsi. Hal tersebut karena mengingat korupsi ialah berkaitan dengan aset negara yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Undang-undang tersebut berkaca pada keberadaan undang-undang sistem peradilan pidana anak yang mengatur secara spesifik terkait pemeriksaana perkara yang pelakunya adalah anak.

Dalam undang-undang sistem peradilan pidana in absentia pada tindak pidana korupsi nantinya bisa mengatur spesifik terkait pemeriksaan persidangan hingga proses eksekusi agar menjadikan pelaku jera dan yang terpenting adalah aset negara yang telah dirugikan ialah dapat dipulihkan. Hal ini sejalan dengan adanya konsep yang dicetuskan oleh Muhammad Yusuf, yaitu follow the money daripada follow the suspect dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Maksudnya ialah berfokus pada pemulihan aset negara daripada pelakunya dalam perkara tindak pidana korupsi, sehingga ketika pelakunya melarikan diri atau berstatus DPO hingga pemeriksaan persidangannya dilakukan secara in absentia ialah pemulihan aset yang telah dirugikan tetap dapat terwujud.

Selain itu, dilahirkannya undang-undang sistem peradilan pidana in absentia pada tindak pidana korupsi ialah dimaksudkan agar ketentuan hukum yang mengatur tersebut tidak terpisah-pisah, lebih pasti, dan jelas sehingga mewujudkan marwah kepastian hukum dengan baik. Mengingat teori kepastian hukum menurut Jan Michael Otto, bahwa kepastian hukum diwujudkan dengan adanya aturan hukum yang jelas, jernih, dan konsisten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.