Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai kewenangan praperadilan dalam menguji alat bukti. Yuk simak penjelasannya!
Salah satu fenomena sosial di Indonesia adalah semakin marak terjadinya tindak pidana korupsi. Proses perjalanan pemberantasan korupsi, semakin banyak kasus-kasus besar yang berhasil diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), salah satunya yaitu kasus mega proyek KTP Elektronik yang membawa nama ketua DPR RI, yaitu Setya Novanto menjadi tersangka dan terdapat beberapa anggota DPR RI dan Instansi Pemerintahan lainnya yang ikut terlibat. Namun, dalam proses hukumnya masih terdapat berbagai permasalahan khususnya dalam hal cara memperoleh alat bukti.
Pembuktian merupakan hal yang memegang peranan penting dalam proses pengungkapan tindak pidana korupsi. Pemeriksaan di persidangan akan terungkap fakta-fakta yang menentukan bahwa seseorang yang didakwa korupsi terbukti atau tidak. Kebenaran yang dicari merupakan kebenaran materiil yang muncul dari alat bukti. Penanggulangan tindak pidana korupsi dianggap sulit karena masalah pembuktian yang rumit. Sulitnya pembuktian dalam perkara korupsi ini merupakan tantangan bagi para aparat penegak hukum, sebab pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan rapi.
Kronologi Singkat
Pada tanggal 17 Juli 2017, KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Pengadaan proyek itu terjadi pada kurun waktu 2011-2012, saat Setya Novanto menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR. Korupsi e-KTP yang dilakukan bersama-bersama dengan pejabat lain tersebut mengakibatkan kerugian negara Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Setelah lebih dari sebulan berstatus tersangka, pada tanggal 4 September 2017 Setya Novanto resmi mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 97/Pid.Prap/2017/PN Jak.Sel. Setya Novanto meminta penetapan statusnya sebagai tersangka oleh KPK dibatalkan. Pada 11 September 2017, KPK memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka, namun Setya Novanto tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian Setya Novanto sempat mengirimkan surat ke KPK untuk meminta KPK menunda proses penyidikan terhadap dirinya sampai putusan praperadilan keluar. Disisi lain KPK menilai proses praperadilan adalah hal yang terpisah dari proses penyidikan, sehingga KPK tetap akan menjadwalkan pemeriksaan Setya Novanto sebagai tersangka.
Pada 18 September 2017, KPK kembali memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Namun, Setya Novanto tidak hadir lagi karena sakit. Pada tanggal 29 September 2017, Hakim Cepi Iskandar mengabulkan sebagian permohonan praperadilan Setya Novanto a quo dan menolak eksepsi yang diajukan KPK dengan alasan penetapan tersangka Setya Novanto tidak sah karena dilakukan di awal penyidikan, bukan di akhir penyidikan. Hakim juga mempermasalahkan alat bukti yang digunakan KPK untuk menjerat Setya Novanto sebab alat bukti itu telah digunakan dalam penyidikan terhadap Irman dan Sugiharto, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri yang sudah divonis di pengadilan.
Pertimbangan Hakim Praperadilan
Dalam salah satu pertimbangan Hakim praperadilan Cepi Iskandar, yaitu tentang beberapa alat bukti yang diperoleh KPK tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah karena dianggap tidak terdapat kesesuaian dengan hukum yang berlaku khususnya undang-undang mengenai tindak pidana korupsi. Dalam hal ini KPK dianggap melakukan cara memperoleh bukti-bukti tidak berlandaskan pada prosedur perundang-undangan yang berlaku, sehingga setiap tindakannya dalam memperoleh bukti-bukti perkara korupsi Setya Novanto tersebut adalah dengan cara yang tidak sah serta tidak terdapat dua alat bukti yang sah yang menjadi alasan dalam menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Pertimbangan Hakim lainnya yakni alat bukti dan barang bukti yang sama dalam perkara pidana yang berbeda tidak dapat digunakan kembali. Alat bukti yang dimaksud adalah “Alat bukti perkara orang lain in casu adalah Perkara Nomor 41/PID.SUS/TPK/2017/PN.JKT.PST”. Alat bukti dan barang bukti tersebut mengacu pada 200 (dua ratus) barang bukti yang tertulis sebagai bukti permulaan atau bukti yang cukup dalam menetapkan status tersangka seseorang.
Kewenangan Praperadilan dalam Menguji Alat Bukti
Hakim praperadilan berpedoman pada ketentuan Pasal 1 butir 2 KUHAP, sehingga proses penetapan tersangka disamping telah ada 2 (dua) alat bukti yang sah juga harus ada terlebih dahulu calon tersangka pada proses akhir penyidikan. Hal ini sangat kontradiktif dengan pembuktian di persidangan pokok perkara karena keabsahan bukti dan cara memperoleh alat bukti pada dasarnya tidak pernah diuji dalam proses penyelidikan maupun penyidikan, mengingat hal tersebut kewenangan penuh penyelidik atau penyidik.
Sedangkan hak tersangka dalam memperjuangkan hak difasilitasi dalam pembuktian di persidangan pokok perkara. Hakim praperadilan harusnya hanya mempertimbangkan alat bukti yang relevan dengan pokok perkara dan bukti-bukti yang ada dalam hal apakah Setya Novanto dapat membuktikan permohonan praperadilannya dengan bukti-bukti yang diajukan.
Kewenangan pengujian praperadilan dalam kasus Setya Novanto ini harus tetap pada pemahaman examinating judge yang pengujiannya terbatas pada formal administratif dan tidak memasuki ruang lingkup yang lebih luas yaitu investigating judge, yang mana memeriksa tentang sah atau tidaknya alat bukti yang dijadikan sebagai dasar sangkaan terhadap unsur delik. Dengan kata lain, hal itu hanya dapat dilakukan pada bagian pemeriksaan hakim pengadilan yang melakukan pemeriksaan atas pokok perkaranya.
Pertimbangan Hakim terkait alat bukti dan barang bukti yang sama dalam perkara pidana lain tidak dapat digunakan kembali adalah berdasarkan keyakinan hakim. Namun, pada kenyataannya penafsiran Hakim dalam kasus a quo memunculkan berbagai pendapat dari para ahli hukum pidana karena dirasa kurang tepat mengingat dalam kenyataannya, penggunaan alat bukti yang sama banyak digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana. Terlebih dalam kasus korupsi Setya Novanto sendiri merupakan suatu kesatuan kasus korupsi e-KTP yang menjerat banyak pelaku dan masih saling berhubungan, sehingga alat bukti yang digunakan pun secara langsung akan memiliki keterkaitan satu sama lain.
Perlu dibentuknya suatu regulasi yang mengatur tentang penggunaan alat bukti yang sama dengan perkara lain terhadap suatu perkara pidana, sebab dalam kenyataannya banyak terjadi penggunaan alat bukti yang sama dalam beberapa perkara pidana, namun regulasi khusus yang mengatur mengenai hal tersebut belum ada. Hal ini mengakibatkan Hakim harus melakukan penafsiran dan interpretasi sendiri yang malah memunculkan kekhawatiran mengenai adanya multitafsir, sehingga menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat.
Referensi
- Dahlan. “Distorsi Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Sistem Pembuktian.” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 10, no. 1 (2015).
- Marchelita Pradewi, Alnan, dan Firman Wijaya. “Analisis Alat Bukti Yang Sama dalam Perkara Pidana yang Berbeda (Studi Kasus Setya Novanto Dalam Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 97/Pid.Prap/2017/Pn.Jkt.Sel).” Jurnal Hukum Adigama 1, no. 1 (2018).
- Rohim. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pena Multi Media, 2008.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.