Pidana

Hukum Pidana dan Kriminologi

Adam Ilyas
273
×

Hukum Pidana dan Kriminologi

Share this article
Hukum Pidana dan Kriminologi
Hukum Pidana dan Kriminologi (Sumber: Unsplash/Joshua Coleman)

Sebagai suatu ilmu, hukum pidana tidak berdiri sendiri. Hukum pidana juga berhubungan erat dengan banyak cabang keilmuan lain. Satu di antaranya adalah kriminologi.

Secara kolaboratif, kedua ilmu memiliki tujuan untuk memahami terjadinya suatu kejahatan, termasuk memahami faktor yang mendorong kejahatan terjadi dan apa tindakan yang tepat untuk mencegahnya muncul kembali.

Advertisement
Advertisement

Esensi Kriminologi

Menurut J. E. Sahetapy, kriminologi adalah ilmu untuk memahami kejahatan sebagai gejala sosial. Dengan memahaminya, kejahatan dapat dicegah pada tingkatan komunal. Ini didorong oleh keberadaan kejahatan yang tidak lepas dari interaksi sosial.

Kemudian, Georges Gurvitch mengemukakan bahwa kriminologi adalah ilmu untuk mempelajari kejahatan dengan metode telaah secara positif dan berdasarkan fakta sosial. Konsekuensinya, ilmu ini mengonfirmasi dampak dari kejahatan terhadap interaksi orang-orang di tengah masyarakat.

Untuk mengelaborasi kejahatan, kriminologi terdiri atas 3 bagian. Bagian pertama adalah criminal biology yang berfokus pada faktor internal dari pelaku kejahatan baik secara jasmani maupun rohani. Bagian kedua adalah criminal sociology yang berfokus pada faktor di masyarakat yang mendorong pelaku kejahatan untuk melakukan perbuatannya. Bagian ketiga adalah criminal policy yang berfokus pada studi kebijakan untuk menanggulangi pelaku kejahatan.

Perhatikan bahwa kriminologi memandang kejahatan sebagai gejala sosial. Oleh karena itu, penelitian kejahatan melalui ilmu ini umumnya menghasilkan rumusan kebijakan yang berupaya menanggulanginya.

Misalnya, dalam kajian kriminologi, ada beberapa pelaku kejahatan yang tidak dapat dihukum, seperti anak atau seseorang dengan gangguan kejiwaan. Kajian dimanfaatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang tidak dapat menghukum pelaku kejahatan dengan jenis tersebut, seperti acuan bagi hakim dalam memvonis tindak pidana oleh anak atau undang-undang yang membebaskan orang dengan gangguan kejiwaan untuk dimintai pertanggungjawaban hukum.

Implementasi bersama Hukum Pidana

Hukum pidana mempelajari kejahatan sebagai fenomena yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Secara spesifik, hukum pidana mempelajari peraturan perundang-undangan yang mampu menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban hukum kepada pelaku kejahatan. Dengan bermuara pada asas legalitas dan beberapa asas lain yang relevan, hukum pidana memiliki sifat represif terhadap eksistensi kejahatan.

Hukum pidana berbeda dengan kriminologi yang menitikberatkan pada pelaku kejahatan. Namun, perbedaan ini bukanlah masalah sebab kriminologi “hanya” menjadi keilmuan yang lebih spesifik. Oleh karena hasil kajiannya adalah telaah atas gejala sosial, kriminologi memiliki sifat preventif terhadap eksistensi kejahatan.

Selayaknya pasangan, hukum pidana dan kriminologi saling melengkapi satu sama lain. Di Jerman, keterkaitan antara kedua keilmuan dikenal sebagai Die gesammte Strafrechtswissenschaft. Di negara-negara dengan sistem hukum anglo-saxon, keduanya menjadi 1 keilmuan tersendiri yang disebut criminal science.

Mayoritas pendapat menyatakan bahwa implementasi kriminologi dengan hukum pidana tidak dapat dipisahkan. Alasannya, kriminologi menjadi dasar bagi pembuat kebijakan untuk mencegah kejahatan itu timbul di kemudian hari. Tidak bisa hanya mengandalkan hukum pidana yang melulu menjatuhkan pidana bagi pelaku kejahatan.

Secara esensial, kesatuan hukum pidana dan kriminologi dapat dianalogikan dengan upaya menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan obat. Di sini, orang-orang yang sakit tidak cukup dengan disembuhkan selayaknya hukum pidana yang memulihkan pelaku dan korban kejahatan. Dengan kriminologi, dapat dipahami apa yang menyebabkan orang-orang tersebut mengalami penyakit dan apa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegahnya di masa depan.

Doktrin kuno memandang bahwa implementasi hukum pidana yang menetapkan penjatuhan pidana adalah upaya prominen dalam menanggulangi kejahatan. Ini didasari oleh sifat hukum pidana sebagai retributive justice, yaitu pembalasan yang ditujukan kepada pelaku kejahatan sehingga keadilan di tengah masyarakat dapat pulih. Hanya saja, ini tidak tepat sebab penjatuhan pidana tidak selalu menyelesaikan kejahatan.

Memang, sifat retributive justice dalam hukum pidana tidak dapat diabaikan begitu saja. Namun, idealnya, mekanisme pembalasan melalui hukum pidana hanyalah salah satu faset untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ada faset yang lebih penting, faset yang menyentuh akar dari suatu kejahatan sehingga kejahatan itu dapat dientaskan. Di sini, kedua keilmuan dapat digunakan untuk membantu masyarakat mencapai faset yang lebih penting tersebut.

Pada akhirnya, implementasi kedua keilmuan menjadi dasar pengetahuan yang lebih luas dalam memahami kejahatan. Inilah bentuk dari tujuan kolaboratif yang telah disinggung di awal. Konkritnya, memahami kedua keilmuan memberi kesempatan bagi kita untuk tidak hanya memahami bagaimana menghukum mereka yang melakukan kejahatan, tetapi juga memahami bagaimana agar kejahatan itu dapat diberantas dan secara simultan membuat pelaku kejahatan itu dapat diterima di masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.