Literasi Hukum – Hak angket menjadi topik yang hangat diperbincangkan publik akhir-akhir ini. Pasca gelaran pemilu dan pilpres rampung dijalankan serentak pada 14 Februari 2024 lalu, berbagai dugaan kecurangan yang terjadi di banyak titik TPS daerah di Indonesia menyeruak ke publik dan menimbulkan kegaduhan. Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus ketidakcocokan data hasil asli suara tiap TPS yang tertera pada formulir C Plano dengan data numerik yang diinput dalam aplikasi SIREKAP (Sistem Informasi Rekapitulasi) milik KPU. Alih-alih menjadi bentuk transparansi data, SIREKAP dinilai menguntungkan dan menggelembungkan perolehan suara pasangan calon tertentu.
Dugaan kecurangan tersebut menimbulkan tanda tanya besar di masyarakat yang mempertanyakan kinerja KPU, Bawaslu dan lembaga pemerintahan terkait akan netralitas dan transparansinya dalam penyelenggaraan pemilu. Wacana hak angket kemudian ramai dan menjadi diskursus tersendiri, mendorong DPR untuk pro-aktif dalam bersikap. Lalu apa sebenarnya hak angket, bagaimana mekanisme penggunaannya dan apakah mungkin hak ini digunakan dan dijalankan oleh DPR dalam mengusut kecurangan pemilu?
Hak angket merupakan salah satu hak bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang secara eksplisit disebutkan dalam pasal 79 ayat 1 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Lebih lanjut, hak angket didefinisikan dalam pasal 79 ayat 3 di UU yang sama. Pasal tersebut mendefinisikan hak angket sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan hak angket bagi anggota legislatif diatur dalam pasal 199 ayat 1 hingga ayat 3 UU Nomor 17 Tahun 2014, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu)
fraksi.
(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit: a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan b. alasan penyelidikan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Sementara itu, mekanisme pelaksanaan hak angket diatur lebih lanjut dalam pasal 200 UU Nomor 17 Tahun 2014, yang berbunyi sebagai berikut:
Narasi penggunaan hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu 2024 pertama kali dilontarkan oleh Calon Presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo. Ia mendorong partai pengusungnya yaitu PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan untuk mengajukan hak angket di parlemen. Selain itu, Ganjar juga mengajak Calon Presiden nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan dan partai pengusungnya untuk bergandengan tangan menggulirkan hak angket untuk mengusut kecurangan pemilu. Anies memberikan respon positif dan mendukung upaya tersebut. Menurutnya ini dapat menjadi salah satu inisiatif yang baik.
Apabila para partai koalisi pengusung Calon Presiden nomor urut satu dan tiga sama-sama mengajukan hak angket di DPR, maka pelaksanaan dari hak tersebut sangat mungkin terjadi. Hal ini karena mengacu pada pasal 199 UU Nomor 17 Tahun 2014, hak angket bisa diajukan dengan minimal 25 orang anggota DPR dari fraksi yang berbeda, dan usulannya dapat diterima apabila disetujui oleh lebih dari 1/2 anggota DPR. Koalisi partai politik dari kedua kubu dinilai mudah meloloskan hak angket karena mempunyai lebih dari total 1/2 anggota DPR RI di Senayan.
Partai politik koalisi pengusung Ganjar-Mahfud yaitu PDIP dan PPP memiliki total 147 kursi DPR dengan rincian 128 kursi PDIP dan 18 kursi PPP. Sementara itu parpol koalisi pengusung Anies-Muhaimin menduduki 167 kursi di parlemen, dengan rincian 59 kursi dimiliki partai Nasdem, 58 kursi PKB, dan 50 kursi dari Partai Keadilan Sejahtera. Jika ditotal, keseluruhan partai politik koalisi dari dua kubu tersebut mendominasi sekitar 55% suara di parlemen dengan total 314 kursi. Angka ini lebih dari cukup untuk mengajukan mekanisme hak angket di DPR.
Meski partai koalisi dari kedua kubu memenuhi persyaratan untuk mengajukan hak angket, namun tentu dibutuhkan konsolidasi intensif antar partai politik satu sama lain dan berbagai pertimbangan lainnya yang akan memakan waktu. Selain itu, upaya untuk menghambat proses berjalannya hak angket juga bisa dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak berkenan hak tersebut dijalankan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini