Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan mengenai regulasi terbaru masa tunggu eksekusi terpidana mati yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Beberapa bulan terakhir atensi masyarakat tertuju pada kasus pembunuhan berencana yang dialami oleh Alm. Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat sebagai korban. Ferdy Sambo, S.H, S.I.K, M.H yang berperan dalam memerintah terdakwa lainnya untuk turut serta dalam kasus ini tak lepas sari sorotan berbagai pihak. Oleh Jaksa Penuntut Umum, Ferdy Sambo didakwa Pasal 340 KUHP dan dijatuhi hukuma mati pada tanggal 13 Pebruari 2023.
Penjelasan Eksekusi Pidana Mati
Pidana mati adalah salah satu pidana pokok yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP. Lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan telah diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer. Tanggung jawab pelaksanaan hukuman mati tersebut dipegang oleh Jaksa Tinggi atau Jaksa sedangkan terhadap keamanan dan ketertiban saat pelaksanaan hukuman mati menjadi tanggungjawab Kepala Polisi Komisariat Daerah.
Berdasarkan aturan diatas, terpidana wajib diberitahu tiga kali dua puluh empat jam sebelum eksekusi dan Jaksa/Jaksa Tinggi wajib menerima keterangan atau permintaan terpidana sebelum dieksekusi. Selanjutnya, apabila terpidana dalam kondisi hamil, maka pelaksanaan eksekusi dilakukan setelah 40 (empatpuluh) hari setelah melahirkan. Pembela terpidana dapat hadir dalam proses eksekusi baik permintaan sendiri atau permintaan terpidana. Pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan cara yang sederhana kecuali Presiden menetapkan lain.
Eksekutor Pidana Mati
Eksekutor hukuman mati merupakan regu penembak yang terdiri dari seorang Bintara, 12 (duabelas) Tamtama, yang dipimpin oleh seorang Perwira yang dibentuk oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah. Regu penembak tidak menggunakan senjata organik dan berada dibawah perintah Jaksa Tinggi atau Jaksa hingga pelaksanaannya selesai. Komandan regu tembak menggunakan pedang untuk memberikan tanda kepada Regu Penembak untuk membidik jantung terpidana. Apabila eksekusi telah dilaksanakan dan terpidana masih menunjukkan tanda belum meninggal, maka komandan regu penembak akan memerintahkan Bintara Regu untuk melepaskan tembakan pengakhir pada kepala tepat diatas telinga terpidana dan dapat meminta bantuan dokter untuk memastikannya.
Setelah terpidana dipastikan meninggal, maka terpidana diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan, namun jika tidak memungkinkan maka penguburan akan dilaksanakan oleh Negara berdarkan kepercayaan terkdakwa. Terakhir, Jaksa Tinggi/ Jaksa membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut.
Namun, jika dicermati lebih lanjut, Penetapan Presiden tersebut tidak menyebutkan secara tegas kapan waktu pelaksanaan eksekusi mati setalah jatuhnya vonis. Melansir dari Media Indonesia, dipaparkan bahwa berdasarkan laporan Institute for Criminal Justice Reform (IJRS) per November 2021 jumlah terpidana mati yang menunggu eksekusi naik sebesar 13 persen dibandingkan pada tahun 2020. Selanjutnya, berdasarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, pada tahun 2020, sebanyak 355 terpidana mati yang menunggu dilakukan eksekusi dan per November 2021, jumlah tersebut terus bertambah sebanyak 49 sehingga menjadi 404 terpidana.
Selain itu, Kemenkum dan HAM juga mencatat sebanyak 107 terpidana mati menunggu eksekusi selama 5 sampai 10 tahun, sebanyak 62 orang menunggu eksekusi mati selama 10 hingga 19 tahun bahkan terdapat 2 terpidana menunggu selama lebih dari 20 tahun.
Berbagai alasan yang melatarbelakangi lamanya pelaksanaan eksekusi mati bagi terpidana diantaranya:
Upaya Hukum dan Grasi
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, dalam Pasal 3 yang berbunyi
“Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati”. Begitu pula yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang menyebutkan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan grasi kecuali dalam putusan pidana mati.
Terdakwa sedang Hamil
Dalam UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui anaknya, atau orang yang sedang sakit jiwa ditunda hingga perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak menyusui lagi dan orang yang sakit jiwa itu sembuh.
Memenuhi perimintaan terpidana. Dalam keadaan tertentu permintaan terpidana mati yang wajib dipenuhi oleh Jaksa Tingga/Jaksa membutuhkan waktu untuk pemenuhannya.
Masa Percobaan Pidana Mati dalam UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP
Dalam UU tersebut pada Pasal 100 disebutkan terpidana yang divonis hukuman mati oleh Hakim diberikan masa percobaan selama 10 tahun untuk melihat apakah terpidana tersebut ada kemungkinan untuk memperbaiki diri, menunjukkan rasa penyesalan atau peran terkdakwa dalam tindak pidana dalam putusan pengadilan. Jangka waktu 10 tahun tersebut terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila dalam waktu tersebut terdakwa berperilaku baik maka hukuman dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah memperoleh pertimbangan Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika terpidana tidak menunjukkan perilaku baik, maka eksekusi mati akan tetap dilaksanakan berdasarkan perintah Jaksa Agung. Dengan demikian, dalam KUHP yang baru atau UU 1/2023 memberikan ketentuan mengenai penundaan eksekusi hukuman mati dengan adanya masa percobaan selama 10 tahun.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, salah satu alasan lamanya masa tunggu eksekusi mati adalah adanya upaya hukum yang dilakukan oleh terpidana yaitu banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) dan untuk upaya PK berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tidak dibatasi berapa kali dapat mengajukan PK.
Lalu bagaimana vonis mati yang dijatuhkan dalam masa transisi ini?. Hal ini sudah terjawab dalam Pasal 3 KUHP terbaru bahwa terperiksa, terlapor, tersangka dan terdakwa diberlakukan aturan yang lebih menguntungkan karena terjadi perubahan perundang-undangan. Sehingga apabila tindak pidana dan sudah ada putusan yang bersifat final dan mengikat terjadi sebelum tahun 2026 maka yang digunakan adalah KUHP yang lama. Sedangkan apabila putusan bersifat final dan mengikat tersebut dijatuhkan pada 2026 ketika KUHP berlaku efektif, maka KUHP baru yang diterapkan namun tetap memperhatikan Pasal 3 KUHP baru tersebut.
Referensi
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer
UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi
Abdul Karim Munthe, “Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Bagaimana Status Hukuman Mati Pasca KUHP Baru?”, Islami.co, Pebruari 16, 2023, https://islami.co/ferdy-sambo-divonis-hukuman-mati-bagaimana-status-hukuman-mati-pasca-kuhp-baru/.
Dwi Andayani, “Eddy Hiariej Jelaskan KUHP Baru Bisa Dipakai Ferdy Sambo Bila Masuk 2026”, detiknews, Pebruari 15, 2023, https://news.detik.com/berita/d-6571265/eddy-hiariej-jelaskan-kuhp-baru-bisa-dipakai-ferdy-sambo-bila-masuk-2026.
Nafiatul Munawaroh, “4 Alasan Penundaan Eksekusi Pidana Mati”, hukumonline.com, Pebruari 15, 2023, https://www.hukumonline.com/klinik/a/4-alasan-penundaan-eksekusi-pidana-mati-lt53df2c50e4980.
Wulan Puji Anjarsari, “Pengaturan Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 3, 2021, hlm. 489
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.