Opini

Politik Dinasti dalam Perspektif Demokrasi di Indonesia

Dhea Salsabila
1416
×

Politik Dinasti dalam Perspektif Demokrasi di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Politik dinasti dalam perspektif demokrasi
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Politik dinasti merupakan salah satu fenomena yang kerap dijumpai dalam proses pemilu. Tak jarang, hal tersebut menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat. Mengingat, negara dengan sistem demokrasi seharusnya membuka peluang yang lebih besar bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses politik.

Artikel ini membahas secara lebih mendalam tentang politik dinasti dalam perspektif demokrasi di Indonesia.

Mengenal Politik Dinasti

Sistem politik dinasti dimaknai sebagai suatu kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang dan masih terkait hubungan keluarga. Pada awalnya, sistem ini identik dengan lingkungan kerajaan karena cenderung mewariskan kekuasaan secara turun-temurun dari berbagai generasi. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kekuasaan agar tetap berada dalam lingkaran keluarga.

Sementara itu, Yossi Nurmansyah melalui situs resmi Bawaslu Provinsi Bangka Belitung mendefinisikan dinasti sebagai sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang. Sedangkan politik dinasti merupakan proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara.

Jika dahulu pewarisan kekuasaan dilakukan dengan penunjukan langsung, saat ini politik yang bersifat turun-temurun dilaksanakan dengan lebih modern, yakni lewat jalur politik prosedural. Keluarga atau kerabat dari para elite akan bergabung dalam institusi yang sudah disiapkan, yakni partai politik. Oleh karena itu, implementasi politik dinasti terkesan lebih rapi dan terstruktur.

Latar Belakang Politik Dinasti

Terdapat beberapa hal yang melatar belakangi munculnya politik turun-temurun, antara lain:

  1. Adanya keinginan untuk memegang dan melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini, petahana akan melakukan berbagai cara dan strategi agar kekuasaan tetap berada di tangan diri maupun keluarganya.
  2. Adanya upaya untuk menutupi kelemahan kepemimpinan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat kelompok yang terorganisir dengan hasil kesepakatan bersama dalam menciptakan pergantian pemimpin. Usaha tersebut diterapkan agar kepemimpinan tetap berada dalam lingkup anggota keluarga. Dengan begitu, berbagai kelemahan yang dilakukan selama menjabat tidak terangkat atau terekspos oleh publik.
  3. Adanya upaya membangun kekuatan politik. Hal tersebut dilakukan dengan cara menempatkan anak atau anggota keluarga dalam jabatan-jabatan yang strategis. Jika usaha tersebut berhasil, maka terbentuklah kekuatan politik bagi pejabat tersebut.
  4. Adanya upaya mengumpulkan keuntungan individu dan keluarga. Setelah berhasil menempatkan masing-masing anggota keluarga pada posisi yang strategis, keuntungan bagi pejabat tersebut secara otomatis akan didapatkan sesuai harapan.
  5. Adanya upaya menutup peluang bagi pihak lain untuk menduduki kekuasaan. Usaha ini dilakukan dengan cara yang sistematis melalui persekongkolan politik guna menutup jalan bagi orang lain di luar kekerabatan untuk masuk pada lingkup kekuasaan politik.
  6. Adanya kepentingan tertentu seperti kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan politisi dan kekuatan modal.

Peraturan Politik Dinasti

Dalam lingkup regional, politik dinasti pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada. Kehadiran UU tersebut sempat membawa angin segar dalam pembatasan politik turun-temurun menggunakan pendekatan larangan konflik kepentingan.

Merujuk pada Pasal 7 poin q

“warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (q). Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.

Akan tetapi, ketentuan tersebut pada akhirnya dibatalkan melalui putusan MK Nomor 34/ PUU-XIII/2015, dengan alasan bahwa statement konflik kepentingan dengan petahana, hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis dan asumtif.

Hal tersebut seolah-olah menilai bahwa setiap calon yang mempunyai hubungan darah maupun hubungan perkawinan dengan petahana pasti akan membangun politik dinasti yang berpotensi merusak tatanan bangsa, tanpa mempertimbangkan lagi sisi kompetensi, integritas, dan kapabilitas serta memenuhi unsur akseptabilitas calon yang bersangkutan secara objektif.

Keputusan tersebut menyatakan bahwa hubungan darah atau perkawinan merupakan kodrat Tuhan yang hakiki dan asasi. Secara agama manapun secara universal, relasi ini diakui sebagai hubungan yang sakral dan bukan sebagai hubungan yang menghalangi untuk berkiprah dalam pemerintahan.

Oleh karena itu, adanya Putusan MK ini telah membuka kembali jalan para kelompok yang ingin mewariskan kekuasaannya kepada keturunan maupun keluarganya.

Dampak Politik Dinasti

Gubernur NTB (2018-2023) Zulkieflimansyah, memaparkan bahwa praktik politik dinasti dapat menyebabkan dampak negatif, antara lain:

  1. Partai hanyalah berperan sebagai mesin politik semata sehingga menghambat fungsi ideal partai. Hal tersebut menyebabkan tak ada target pencapaian lain kecuali kekuasaan. Pada kondisi seperti ini, rekrutmen partai hanya berdasar pada popularitas dan kekayaan caleg guna meraih kemenangan. Selanjutnya, muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.
  2. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas menjadi tertutup. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elite dan pengusaha. Fenomena tersebut sangat berpotensi menimbulkan adanya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.
  3. Cita-cita demokrasi makin susah untuk terwujud karena tidak adanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga sangat besar kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Politik Dinasti dalam Perspektif Demokrasi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi. Hal tersebut bermakna bahwa penempatan jabatan strategis dalam pemerintahan harus dilakukan melalui mekanisme pemilihan yang melibatkan aspirasi rakyat.

Seorang pakar politik ternama, Abraham Lincoln menegaskan bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang terbangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Penyelenggaraan pemilu pada dasarnya adalah upaya untuk memilih orang-orang terbaik yang diusung oleh partai politik maupun jalur perseorangan dengan harapan mampu menciptakan pemimpin-pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, moralitas, dan kepedulian tinggi terhadap kepentingan masyarakat.

Politik dinasti hingga hari ini masih menjadi tantangan terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Selama ini, pencalonan kandidat oleh partai politik cenderung berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan serta integritas calon.

Secara umum, konsep demokrasi memang tidak bisa membatasi siapa saja untuk ikut dalam kontestasi politik, termasuk bagi orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan pejabat yang mempunyai kedudukan strategis.

Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukkan bahwa hingga tahun 2020 persentase politik dinasti di indonesia naik sebesar 14,78% atau 80 wilayah dari 541 wilayah. Adapun data tersebut diperoleh setelah momen pilkada diselenggarakan dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Sementara itu, politik dinasti secara bersamaan terus membangun dan memperluas jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap mampu mempertahankan jabatannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah maupun pusat. Fenomena tersebut dapat dipastikan mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik.

Praktik politik dinasti dinilai tidak sehat bagi pelaksanaan demokrasi karena dapat melemahkan kontrol terhadap pemerintah, misalnya checks and balances.

Kehadiran politik dinasti yang melingkupi perebutan kekuasaan baik level regional hingga nasional mengakibatkan substansi dari demokrasi sulit untuk diwujudkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pers dan media sebagai pilar demokrasi
Opini

Literasi Hukum – Pers dan media massa merupakan pilar keempat demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keduanya memiliki peran untuk menyampaikan informasi kepada publik secara bebas, jujur, dan berimbang….