OpiniIlmu Hukum

Hukum Progresif: Pemikiran Satjipto Rahardjo untuk Keadilan Substantif

Adam Ilyas
215
×

Hukum Progresif: Pemikiran Satjipto Rahardjo untuk Keadilan Substantif

Share this article
Hukum Progresif
Hukum Progresif

Literasi Hukum Artikel ini membahas mengenai hukum progresif yang digagas oleh maestro hukum Prof Satjipto Rahardjo. Menurut beliau hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. 

Filosofi Hukum Satjipto Rahardjo: Hukum untuk Kesejahteraan Manusia

Sejatinya, filosofi hukum adalahhukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Filosofi tersebut menunjukkan bahwa hukum memiliki tugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, untuk mengukur kualitas suatu hukum, kita dapat melihatnya dari kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia.

Jika melihat pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo di atas, kita menjadi paham bahwa pemikiran itu memiliki konteks yang sama dengan aliran utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai “the greatest happiness for the greatest number of people.”

Baca Juga: Teori Kemanfaatan Hukum Jeremy Bentham: Hukum untuk Kebahagiaan dan Keadilan

Konsistensi pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo yang holistik terhadap hukum menuntunnya untuk berpikir melampaui pemikiran positivistik terhadap hukum sekaligus berusaha memasukkan ilmu hukum ke ranah ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah sosiologi.

Mengaitkan ilmu lain sebagai ilmu bantu dalam ilmu hukum merupakan langkah yang sangat progresif. Dengan ilmu sosial lain sebagai ilmu bantu, kita akan memungkinkan untuk mendapatkan kualitas keilmuan dari ilmu hukum.

Schuyt mengatakan bahwa kemajuan dalam bidang-bidang ilmu di luar hukum seharusnya mendorong para ahli hukum untuk memberikan reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan bantuan disiplin ilmu lain, menentukan persoalan hukum mana yang bisa diselesaikan dengan baik.

Orang tidak bisa lagi memusatkan perhatian pada satu objek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan membiarkan objek tersebut bersatu dengan lingkungannya. Metodologi analitis Cartesian, Baconian, dan Newtonian tidak membawa kita kepada pemahaman yang benar tentang sesuatu. Metodologi holistik itu tidak hanya dalam fisika, tetapi juga dalam kedokteran, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.

Mengikuti pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka menjadi tugas para ilmuwannya untuk menyatukan kembali hukum dengan lingkungannya, alam, dan orde kehidupan yang lebih besar. Memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia.

Inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhannya. Oleh Brian Z. Tamanaha dikatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut ‘the law-society framework’ yang memiliki karakteristik hubungan tertentu.

Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok, yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan ‘social order.’ Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent dan morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donal Black sebagai culture.

Hati Nurani dan Hukum Progresif: Jalan Menuju Keadilan yang Sejati

Cara pandang Prof. Satjipto Rahardjo terhadap hukum dengan cara mengoreksi kekeliruan dan kekurangan paradigma positivistik dalam ilmu hukum mendorong beliau untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan ‘cara berhukum’ yang bertujuan menghadirkan ‘sebenar keadilan’ atau sering disebut keadilan substantif. ‘Berhukum dengan hati nurani’ itulah kalimat yang sering mengalir dari bibir maestro hukum ini.

Melihat berbagai fenomena hukum yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kita, atau setidaknya diri penulis, belum mampu berhukum dengan hati nurani. Hukum kita saat ini seperti sebelah pisau dapur, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Terhadap orang kecil hukum bersifat represif, sementara untuk kaum orang besar (the have) hukum bersifat protektif dan memihak.

‘The have always come out ahead,’ demikian kata Marc Galanter. Fenomena peradilan terhadap orang yang berasal dari strata rendah dengan strata yang tinggi seperti disebutkan sebelumnya seolah menunjukkan bahwa penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ‘ritual’ penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku dan anti dengan inisiasi rule breaking.

Rule breaking sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal merupakan ikon dalam merefleksikan Gerakan hukum progresif yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo.

Rule breaking: Solusi hukum progresif untuk mengatasi kebuntuan legalitas formal

Rule breaking sebagai salah satu strategi menembus kebuntuan legalitas formal merupakan ikon dalam merefleksikan Gerakan hukum progresif yang digagas oleh Satjipto Rahardjo. Sebagai seorang pendidik ilmu hukum selama 30 tahun lebih memberikan pelajaran bahwa pengajaran hukum yang mengagungkan ‘the order’ tidaklah selalu menemukan ‘the order’ dalam kehidupan hukum, bahkan acapkali mereka menemukan ‘disorder’.

Hal ini diilustrasikan dalam pidato emeritus beliau sebagai guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tanggal 15 Desember 2000 yang berjudul: “Mengajarkan keteraturan menemukan ketidakteraturan (teaching order finding disorder): Tiga puluh tahun perjalanan intelektual dari Bojong ke Pleburan.

Gerakan hukum progresif memang lahir sebagai akibat dari kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivik, yang hanya terpaku pada tekstual peraturan perundang-undangan tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat.

Para penganut paham positivisme kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Gerakan hukum progresif merupakan bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti.

Hukum Progresif bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia pada akhir abad ke-20. Penyebaran gerakan hukum progresif diawali oleh Satjipto Rahardjo. Hukum progresif pada prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku.

Hukum Progresif: Tonggak Baru Penegakan Hukum yang Berpihak pada Rakyat

Gerakan hukum progresif berangkat dari dua asumsi dasar. Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Bertolak dari asumsi dasar ini, kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar.

Oleh karena itu, ketika terjadi permasalahan hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.

Baca Juga: Hukum Progresif: Pandangan, Implementasi, dan Tantangan

Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak secara final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).

Dengan demikian, sejatinya menurut pandangan hukum progresif manusia memiliki kedudukan di atas hukum, sedangkan hukum hanya sebagai sarana untuk menjamin dan menjaga berbagai kebutuhan manusia.

Hukum tidak lagi dapat dipandang sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonom. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas.

Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain dimaksudkan untuk mengatasi ketertinggalan hukum dan mengatasi ketimpangan hukum, melainkan juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum bila perlu melakukan rule breaking.

Terobosan-terobosan ini diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yaitu hukum yang membuat bahagia. Hal ini berarti pula bahwa negara hukum juga harus mampu membahagiakan rakyatnya.

Bagaimana gambaran negara yang membahagiakan rakyatnya?

Salah satu gambaran negara yang membahagiakan rakyatnya dapat kita kutip dari ungkapan yang umumnya disampaikan para dalang wayang kulit. Mereka menggambarkan suatu negara atau kerajaan bahagia yang makmur dengan ungkapan yang sangat agung, yaitu sebagai “negari ingkang panjang hapunjung, hapasir, wukir loh jinawi, gemah ripah karto raharjo.”

Artinya, wilayah suatu negara meluas dari pantai laut sampai puncak gunung, tanahnya subur, barang-barang serba murah, terbeli, murah sandang-pangan, pedagang dapat berpergian tanpa gangguan, rakyat yang jumlahnya banyak hidup rukun, petani memiliki ternak yang cukup tanpa ada gangguan, dan pemerintah dapat memenuhi kebutuhan rakyat dan tidak ada kejahatan.

Sumber:

Suteki. (2011). Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Jakarta: Epistema Institute.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.