Pidana

Awas! Catcalling: Tindak Pidana Kekerasan Seksual Verbal, Begini Cara Pembuktianya

Rusmita Sari
205
×

Awas! Catcalling: Tindak Pidana Kekerasan Seksual Verbal, Begini Cara Pembuktianya

Share this article
catcalling
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas mengenai cara pembuktian tindak pidana kekerasan seksual secara verbal yang sering disebut sebagai catcalling. Mau tau gimana cara pembuktiannya? yuk simak penjelasan artikel berikut!

Maraknya insiden yang merugikan kaum perempuan memang menjadi kenyataan yang sulit untuk diabaikan. Kaum perempuan, sebagai ciptaan Tuhan yang penuh dengan kepekaan dan nilai perasaan, sering kali menjadi sasaran budaya patriarki yang terus berlanjut di era saat ini. Mereka kerap dianggap remeh dan dianggap lemah. Selain itu, pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan juga sering dianggap sepele, dengan asumsi bahwa tujuan akhirnya tetap berpusat pada peran domestik. Ironisnya, perempuan tidak hanya dihadapkan pada penilaian yang merendahkan martabat mereka, tetapi juga seringkali menjadi korban kekerasan seksual, baik secara verbal maupun non-verbal dalam kehidupan sehari-hari.

Ada perhatian terhadap fenomena bahwa kekerasan seksual secara verbal sering dianggap enteng dan bahkan menjadi bahan candaan dalam interaksi manusia, salah satunya melalui tindakan catcalling. Dalam penelitian yang dikutip dari Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha, Fairchild dan Rudman pada tahun 2008 menyatakan bahwa catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual verbal atau nonverbal yang tidak diinginkan. Hal ini mencakup tindakan pelecehan oleh orang asing di mana pelaku dan korban tidak saling mengenal bahkan belum pernah bertemu sebelumnya.

Tidak hanya terbatas pada perempuan secara umum, catcalling juga merupakan masalah yang signifikan dalam lingkungan jurnalis perempuan. Selama tahun 2022, sebanyak 51,4% dari kasus catcalling terjadi pada mayoritas jurnalis perempuan. Fenomena ini menambah duka bagi kaum perempuan, terutama karena jurnalis perempuan dianggap sebagai pionir yang paling memahami dan mewakili hak serta kepentingan perempuan. Ironisnya, jurnalis perempuan malah rentan mengalami berbagai bentuk ancaman, intimidasi, dan bahkan pelecehan seksual baik secara verbal maupun nonverbal.

Bentuk-bentuk Catcalling

  1. Tindakan verbal dalam catcalling seringkali dilakukan oleh sekelompok laki-laki di pinggir jalan saat melihat perempuan melewati area tersebut. Meskipun berbentuk “pujian,” tindakan ini membuat perempuan merasa tidak nyaman, karena dilakukan oleh orang asing dan seringkali berisi kata-kata seperti “kamu cantik,” “cewek,” atau “sayang.”
  2. Tindakan non-verbal dalam catcalling melibatkan pemainan mata genit dan ekspresi tubuh dengan maksud memberikan penilaian terhadap penampilan seorang wanita, yang juga dapat menciptakan ketidaknyamanan.
  3. Di media sosial, pelaku catcalling seringkali melakukan percakapan yang mencurigakan atau bernuansa seksual. Ini dapat berupa pujian, sapaan, atau bahkan candaan yang tidak pantas. Semua bentuk catcalling ini dapat menyebabkan perempuan merasa terganggu dan tidak aman dalam ruang publik maupun daring.

Cara pembuktian Catcalling

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 183 KUHAP, sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya tindak pidana tersebut. Adapun pada Pasal 184 KUHAP dimaksud alat bukti yang sah, diantaranya:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Dari kelima alat bukti diatas, korban dapat menjadikan bukti tersebut sebagai alat bukti yang sah. Dalam hal ini jika catcalling dilakukan pada ruang terbuka, maka paling tepat menggunakan alat bukti keterangan saksi, apabila catcalling dilakukan diruangan yang terdapat cctv maka, cctv sebagai alat bukti petunjuk ataupun ditambah lagi apabila ada dengan keterangan saksi lainnya. Jika catcalling dilakukan secara virtual, maka tangkapan/rekaman layar bisa dijadikan sebaagi alat bukti yang sah.

Ancaman pidana bagi Pelaku Catcalling

Tindak pidana kekerasan seksual secara verbal sudah diatur dalam hukum positif, meskipun tidak dijelaskan secara jelas pernyataan catcalling diantaranya:

  • Pasal 289 KUHP, bagi tiap-tiap orang yang dengan kekerasan memaksa seseorang.untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun
  • Pasal 8 Jo Pasal 34 Undang – Undang No. 44/2008 tentang Pornografi, larangan bagi tiap-tiap dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi, sehingga dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
  • Pasal 9 Jo Pasal 35 Undang – Undang No. 44/2008 tentang Pornografi, Larangan bagi tiap-tiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
  • Pasal 5 Undang – Undang No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).

Perlu diketahui bahwa kasus catcalling ini semata hanya sering dianggap sebagai hal yang wajar dan dianggap tidak serius, padahal kasus ini telah melanggar Pasal 30 UU 39/1999 tentang HAM dimana manusia berhak atas rasa aman dan kenyamanan. Jika ditelusuri lebih dalam akibat yang dirasakan oleh korban catcalling berdampak pada psikis diantaranya merasakan ketidaknyamanan, cemas, was-was, hingga trauma bagi korban.

Oleh karena itu, terhadap korban diharapkan mampu melaporkan kasus ini apabila mengalami ciri hal diatas. Sederhananya, jika korban tidak melapor, maka pelaku tidak pernah memahami tentang efek jera dan kasus ini akan terus diremehkan.

Peraturan Perundang-Undangan

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
  3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  5. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Referensi:

  • Noviani, Fitri. “Fenomena Catcalling Di Kota Pontianak: Dampak Bagi Perempuan.” Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha Jurusan Sejarah, Sosiologi dan Perpustakaan 5 (2023): 147–157.
  • Sabtika, Erlina F. “Mayoritas Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan Seksual Dan Pelecehan Pada 2022, Ini 10 Jenisnya.” Katadata Media Network (2023).
  • “Catcalling Di Ruang Virtual, Mimpi Buruk Bagi Perempuan.” Kompasiana.com (2022).
  • “Kenapa Tidak Banyak Perempuan Yang Memilih Menjadi Jurnalis?” Suluh Perempuan (2023). https://suluhperempuan.org/2023/12/24/kenapa-tidak-banyak-perempuan-yang-memilih-menjadi-jurnalis.html.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.