Literasi Hukum – Artikel ini membahas tentang restitusi atau ganti rugi yang diberikan kepada korban atau ahli waris korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO. Pasal 48 UU Pemberantasan TPPO menjelaskan bahwa korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya perawatan medis dan/atau psikologis, dan kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat TPPO. Artikel ini juga membahas mekanisme untuk memperoleh hak restitusi, yaitu melalui jalur tuntutan pidana dan jalur gugatan perdata. Selain restitusi, artikel ini juga membahas hak-hak lain yang harus diberikan kepada saksi dan korban TPPO seperti reviktimisasi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, dan repatriasi.
Restitusi (Ganti Rugi)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengatur pentingnya perlindungan saksi dan/atau korban. Salah satu wujud dari perlindungan saksi dan/atau korban yang dimaksud adalah korban atau ahli waris korban berhak mendapatkan restitusi dari pelaku sebagai ganti kerugian atas penderitaan yang telah diderita oleh korban. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO bahwa restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht) atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Kemudian dalam Pasal 48 UU Pemberantasan TPPO dijelaskan bahwa korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi, berupa ganti kerugian atas: (1) Kehilangan kekayaan atau penghasilan; (2) Penderitaan; (3) Biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau (4) Kerugian lain yang diderita oleh korban sebagai akibat perdagangan orang. Kerugian lain yang dimaksud adalah seperti halnya kehilangan harta benda, penghasilan sebagaimana yang dijanjikan pelaku, biaya transportasi, biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.
Mekanisme Dalam Rangka Memperoleh Hak Restitusi
1. Melalui Jalur Tuntutan Pidana
Restitusi dapat diajukan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada pihak Kepolisian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU Pemberantasan TPPO yang menjelaskan bahwa pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh Penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Permohonan restitusi pada tingkat penyidikan oleh korban tindak pidana perdagangan orang tersebut harus dicantumkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban agar tuntutan restitusi dapat diterima oleh Hakim pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara.
Lebih lanjut, Penuntut Umum harus memberitahukan kepada korban mengenai haknya untuk mengajukan restitusi dan membuat surat tuntutan pidana (requisitoir) yang menyebutkan jumlah kerugian yang diderita oleh korban akibat TPPO. Demikian telah diatur dalam Petunjuk Teknis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor: 3718/E/EJP/11/2012 tertanggal 28 Nopember 2012 Perihal Restitusi dalam Perkara TPPO, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara TPPO harus memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi berupa ganti kerugian atas: kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk perawatan medis maupun kerugian lain yang diderita korban TPPO serta menyampaikan secara bersamaan jumlah kerugian yang diderita korban dalam tuntutannya, yang mana restitusi tersebut juga dicantumkan oleh Hakim dalam amar putusannya,
2. Melalui Jalur Gugatan Perdata
Selain berhak mengajukan restitusi dengan mekanisme pidana, korban juga memiliki hak untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugian yang diderita dengan menggunakan bentuk gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap pelaku TPPO. Dalam pengajuan gugatan a quo, korban TPPO selaku Penggugat tentunya harus menunggu terlebih dahulu atas putusan pengadilan yang telah memutus perkara pidana terhadap pelaku TPPO (Tergugat) yang bersangkutan.
Hak-Hak Saksi dan Korban TPPO Lainnya
Pada hakikatnya, negara harus melindungi hak-hak setiap individu. Hak-hak saksi dan korban TPPO selain restitusi meliputi hak prosedural serta hak pelayanan harus pula diberikan kepada saksi dan korban, antara lain : reviktimisasi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, repatriasi. Secara teori, terdapat 2 (dua) model perlindungan saksi dan korban yaitu model pelayanan (service model) dan hak-hak prosedural (the prosedural right).
Model perlindungan saksi dan korban dalam bentuk service model, dalam hal ini pelayanan terhadap korban TPPO dijadikan sebagai sasaran khusus dalam kerangka kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penegakan hukum lainnya. Sehingga perlu diciptakan standar-standar baku yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum untuk pembinaan korban tindak pidana serta pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang sifatnya restitutif.
Sedangkan model perlindungan the prosedural right, berfokus pada kemungkinan korban TPPO untuk mampu berperan aktif dalam berjalannya proses peradilan. Korban sebagai subyek yang harus diberi hak-hak hukum yang luas dengan tujuan menuntut kepentingan-kepentingannya. Dengan demikian, korban ditempatkan sebagai kekuatan ketiga dalam sistem peradilan pidana.
Dalam ketentuan Undang-Undang tentang Pemberantasan TPPO telah mengatur hak-hak saksi dan/atau korban TPPO, baik dalam model pelayanan (service model) maupun hak-hak yang sifatnya prosedural (the prosedural right), yakni sebagai berikut :
- Pasal 18 mengatur tentang Reviktimisasi, yakni korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku TPPO, tidak dapat dipidana;
- Pasal 27 mengatur tentang Pelaku TPPO akan kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk eksploitasi;
- Pasal 33 mengatur tentang Pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain jika memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor;
- Pasal 34 mengatur tentang Keterangan pelapor yang dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual;
- Pasal 35 mengatur tentang Saksi dan/atau korban berhak di dampingi advokat dan/atau pendamping lainnya yang diperlukan dalam semua tingkat pemeriksaan;
- Pasal 36 mengatur tentang Saksi dan/atau korban berhak memperoleh informasi terkait perkembangan kasus, yaitu berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan;
- Pasal 37 mengatur tentang Saksi dan/atau korban dapat emberikan keterangan di persidangan tanpa kehadiran terdakwa;
- Pasal 44 mengatur tentang Saksi atau korban atau keluarga saksi dan korban sampai derajat kedua yang berperan sebagai Pelapor berhak untuk dirahasiakan identitasnya;
- Pasal 48 sampai Pasal 50 mengatur tentang hak restitusi;
- Pasal 51 dan Pasal 52 mengatur tentang pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial yang diselenggarakan Rumah Perlindungan Sosial atau Pusat Trauma.