OpiniKorupsiPidana

Pergeseran Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Dini Wininta Sari, S.H.
195
×

Pergeseran Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

Share this article
Tindak Pidana Pencucian Uang
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Artikel ini membahas pengertian tindak pidana pencucian uang (TPPU), penanganannya yang luar biasa, pembuktian dalam TPPU, dan pembuktian terbalik dalam TPPU. Artikel ini menjelaskan bahwa pembuktian dalam TPPU melibatkan pembuktian elemen “harta kekayaan” yang diduga berasal dari tindak pidana, sementara pembuktian terbalik terbatas dan berimbang, dan tidak diterapkan untuk semua kasus. Artikel ini juga membahas perbedaan makna antara Pasal 69 dan Pasal 77 serta Pasal 78 UU TPPU dalam pembuktian terbalik atas harta kekayaan.

Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memiliki karakteristik unik, membutuhkan pemahaman komprehensif, dan penanganan secara tersendiri. Pencucian uang dapat didefinisikan sebagai “penggunaan uang yang diperoleh dari aktivitas ilegal dengan menutupi identitas individu yang memperoleh uang tersebut dan mengubahnya menjadi aset yang terlihat seperti diperoleh dari sumber yang syah”. Atau dapat disederhanakan menjadi “ suatu proses untuk membuat uang kotor terlihat bersih”.

TPPU merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) sehingga penanganannya harus dilakukan luar biasa pula. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) tidak lagi menekankan pada pengejaran pelaku (Follow The Suspect), namun pada penelusuran dan pelacakan aset-aset (Follow The Money) yang diduga merupakan hasil tindak pidana.

Pembuktian dalam TPPU

Pembuktian dalam TPPU sebagai salah satu extra ordinary measurement, yakni membuktikan elemen “harta kekayaan” yang diduga berasal dari tindak pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU. Dalam hal ini perlu membuktikan tindak pidana asal terlebih dahulu karena harta kekayaan yang diduga berasal atau berkaitan dengan tindak pidana yang berasal dari tindak pidana asal merupakan subyek dalam TPPU.

Pembuktian Terbalik dalam TPPU

Konsep pembuktian terbalik pada TPPU adalah konsep pembuktian terbalik terbatas dan berimbang. Maksud terbatas adalah pembuktian terbalik dibatasi pada tindak pidana tertentu, sedangkan maksud dari berimbang adalah penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Beban Pembuktian Terbalik ini sendiri tidak diterapkan untuk semua kasus, akan tetapi dalam batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan pelanggaran terhadap perlindungan dan penghargaan atas hak-hak Terdakwa. Pembuktian terbalik diberlakukan untuk tindak pidana yang sulit pembuktiannya dan memerlukan penanganan yang lebih komprehensif.

Pembuktian terbalik atas harta kekayaan dalam TPPU sebagaimana dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU yang memberikan beban pembuktian kepada Terdakwa untuk membuktikan dengan bukti yang cukup bahwa harta yang diperolehnya bukan dari hasil tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU.

Pasal 77 TPPU : “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, Terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

Pasal 78 TPPU : (1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan Terdakwa agar membuktikan harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); (2) Terdakwa membuktikan harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat-alat bukti yang cukup.

Namun, dalam Pasal 69 UU TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya untuk memulai proses penyidikan, penuntutan, dan pengadilan. Pasal 69 UU TPPU : “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.” 

Walaupun kedua pasal tersebut untuk memiliki peruntukan berbeda namun tetap memunculkan pertentangan makna yang diekspresikan dalam ke dua kelompok pasal sehingga menimbulkan kekaburan. Di satu sisi, Penuntut Umum tidak perlu membuktikan tindak pidana asal, sementara Terdakwa harus membuktikan harta kekayaannya bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana yang dipersangkakan (probable caused).

Sejatinya, Pasal 69 UU TPPU bertujuan mempertegas posisi TPPU sebagai “sui generis” (Independent Crime) sedangkan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU menempatkan kepentingan mengatasi kesulitan pembuktian terkait asal usul harta kekayaan yang didakwakan kepada Terdakwa yang mungkin tidak terlacak.

Mekanisme Pembuktian Terbalik

Teknis pembuktian dalam persidangan TPPU dalam praktiknya adalah Jaksa Penuntut Umum terlebih dahulu membuktikan asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) yang dimuat dalam dakwaannya, kemudian Terdakwa membuktikan bahwa harta kekayaannya tidak terkait atau berasal dari tindak pidana sesuai dakwaan Penuntut Umum, hal tersebut berkaitan dalam menentukan adanya tindak pidana Jaksa Penuntut Umum harus memenuhi bukti permulaan yang cukup, dengan minimal 2 (dua) alat bukti. Dan juga untuk memperkuat pendapat Hakim bahwa Terdakwa telah melakukan tindak pidana dengan salah satu predicate crime yang ada dalam ketentuan UU TPPU.

UU TPPU belum mengakomodir terkait bagaimana prosedur beracara atau konsekuensi dari pembuktian terbalik tersebut. Dasar berpijak dalam mencermati hukum acara bagi TPPU adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penerapan Pasal 183 KUHAP yang selaras dengan asas actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka ia yang membuktikan.

Beban pembuktian terbalik sebagaimana ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU pada hakikatnya tidak dimaknakan sebagai kewajiban yang bertentangan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of innocence) yang tercantum pada Pasal 66 KUHAP dan Non self Incrimination Principle (seorang terdakwa berhak untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan atau merugikan dirinya di muka persidangan). Hal itu dikarenakan sifat mendesak dan sifat kekhususan dari TPPU. Maka, seharusnya ketentuan tersebut dapat digunakan oleh Terdakwa untuk membantah dalil-dalil yang diajukan di dalam dakwaan, serta memberikan keterangan yang menguntungkannya.

Pembalikan Beban Pembuktian atau Pergeseran Beban Pembuktian?

Mengingat rezim Anti Pencucian Uang adalah untuk merampas aset maka pergeseran beban pembuktian perlu diterapkan sebagai salah satu tindakan luar biasa (extraordinary measurement). Dengan demikian perlu diupayakan penyelarasan untuk memperkecil gap demi efektivitas penerapan pergeseran beban pembuktian dengan konsistensi perumusan pada Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU yaitu mengganti norma “Wajib” menjadi norma “Hak” pada Pasal 77 a quo agar tidak menimbulkan pemahaman bertentangan dengan asas praduga tak bersalah.

Dalam hal ini lebih ke arah Pergeseran Beban Pembuktian daripada Pembalikan Beban Pembuktian, yaitu awalnya hanya menjadi domain Penuntut Umum (beban pembuktian konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada Terdakwa untuk membuktikan kesalahan Terdakwa dan mengungkap tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa beserta pihak-pihak yang terlibat.

Baca Juga: Putusan Ultra Petita dan Arah Baru Progresivitas Hakim

Menurut Legal Dictionary, Shifting Burden of Proof diartikan sebagai: “The Process of transferring the obligation to affirmatively prove a fact in controversy to the party”. Hakikat makna dari reversal burden of proof dan shifting burden of proof berbeda. Jika shifting burden of proof diartikan sebagai “pergeseran beban pembuktian”‘, maka reversal burden of proof diartikan sebagai “pembalikan beban pembuktian”.

Referensi

  • Lilik Mulyadi, ‘Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003’ (2015) 4 (1) Jurnal Hukum dan Peradilan 101
  • Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, cetakan ke-1 (Jakarta : PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004)
  • Tb. Timan, Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering, cetakan-1 (Bandung : MQS Publising, 2006)
  • Wiyono, R, SH, Pembahasan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pencucian Uang, cetakan-1 (Jakarta : Sinar Grafika, 2014)

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Pencucian Uang di Kementerian
Berita

Aparat Penegak Hukum akan Menindak Kasus Pencucian Uang di Berbagai Kementerian Berita Hukum – Menteri Polhukam, Mahfud MD menyatakan jika pemimpin kementerian tidak mampu menertibkan hal tersebut, maka aparat penegak hukum akan…