Perdata

Memahami Somasi dan Hubungannya dengan Wanprestasi

Heksa Archie Putra Nugraha
878
×

Memahami Somasi dan Hubungannya dengan Wanprestasi

Sebarkan artikel ini
Somasi
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas tentang somasi, teguran tertulis kepada debitur yang wanprestasi. Dijelaskan pengertian somasi, bentuknya, hubungannya dengan wanprestasi, dan praktiknya di Indonesia.

Definisi Somasi

Secara normatif, Burgerlijk Wetbook atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “BW”) tidak mengenal istilah somasi. Adapun Pasal 1238 BW yang acapkali disebut sebagai dasar hukum somasi justru menggunakan istilah ingebreke stelling. Menurut Isabella Sharon Lapod[1], sommatie adalah peringatan tertulis kreditur kepada debitur melalui perantara juru sita, sedangkan ingebreke stelling dilakukan tanpa perantara pengadilan. Namun pada prakteknya, keduanya dipersamakan.

Menurut pendapat sarjana hukum, ambil contoh Yahya Harahap[2], somasi adalah peringatan bagi debitur supaya melaksanakan kontrak sesuai dengan teguran yang diberikan kreditur. Mengacu pada norma Pasal 1238 BW, somasi digunakan sebagai upaya peneguran bagi debitur sekaligus tenggat waktu untuk “bangun” dari kegagalan/keterlambatannya dalam berprestasi.

Somasi terbagi ke dalam beberapa bentuk, antara lain:[3]

  1. Dengan surat perintah yang berwujud penetapan hakim dan akan disampaikan oleh juru sita (exploit juru sita).
  2. Dengan akta yang dikirimkan oleh kreditur langsung, baik berupa akta notariil maupun di bawah tangan.
  3. Dengan berdasarkan pada kekuatan perikatan itu sendiri, yakni sejak perjanjian dibuat sudah ditentukan kapan wanprestasi dianggap telah terjadi.

Selain itu, sejatinya boleh saja bilamana somasi diberikan secara lisan[4] sebab BW tidak mengatur secara rigid bentuk somasi. Sebagaimana pengiriman dokumen lainnya, pengiriman somasi juga harus menyertakan berita acara penerimaan somasi oleh pihak debitur. Hal ini ditujukan untuk mempertebal itikad baik kreditur dalam menyelesaikan sengketa sedini mungkin.

Hubungan Somasi dan Wanprestasi

Somasi sangat berkaitan erat dengan wanprestasi. Hal ini dapat ditinjau dari norma pasal yang bertalian, yakni kapan debitur dinyatakan lalai dan terhadap dirinya, apa yang dapat dibebankan. Sebelumnya perlu diuraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan wanprestasi.

Menurut Moch Isnaeni[5], wanprestasi adalah apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban kontraktual sehingga pihak lainnya menderita kerugian. Menurut ketentuan dalam BW, wanprestasi terbagi menjadi empat jenis, antara lain:[6]

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan debitur;
  2. Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sesuai;
  3. Terlambat melaksanakan apa yang dijanjikan debitur;
  4. Melakukan sesuatu yang dilarang perjanjian.

Akibat adanya wanprestasi, maka kreditur menderita kerugian yang terdiri atas kerugian yang dialami secara nyata (damnum emergens) dan kehilangan keuntungan yang seharusnya (luctrum cessans).[7] Kerugian yang nyata ditandai dengan hilangnya kebendaan ketika membuat kontrak tersebut, sedangkan kehilangan keuntungan adalah kalkulasi keuntungan yang seharusnya diterima manakala debitur tidak gagal melaksanakan prestasinya.

Upaya untuk meminta penggantian atas kerugian akibat adanya wanprestasi dapat ditempuh melalui mekanisme gugatan, tetapi diperlukan somasi sebagai salah satu tahapan agar gugatan dikabulkan.[8] Hal ini sesuai dengan ratio decidendi Majelis Hakim pada Putusan Nomor 186 K/Sip/1959, bahwa

“Apabila dalam perjanjian telah ditentukan dengan tegas kapan pihak yang bersangkutan harus melaksanakan sesuatu dan setelah lampau waktu yang ditentukan ia belum juga melaksanakannya, ia menurut hukum belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban perjanjian selama hal tersebut belum dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak lawan (ingebreke gesteld).”

Bingkai Somasi dalam Praktek

Rumusan norma pada Pasal 1238 BW yang tidak mensyaratkan berapa jumlah yang cukup untuk memberi somasi menimbulkan kebingungan pada dunia praktek. Hal ini kemudian ditanggapi oleh SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Rumusan Pasal 1238 BW yang memuat penafsiran bahwa suatu gugatan wanprestasi harus didahului oleh somasi direduksi.

Menurut SEMA tersebut, gugatan harus dianggap pula sebagai somasi. Pemikiran demikian didasari pada pola antara somasi dan gugatan, yakni pengiriman relaas yang memuat surat gugatan kepada calon tergugat adalah penagihan sebab persidangan bisa dihindarkan apabila debitur langsung memenuhi prestasinya. Terhadap substansi SEMA yang berupaya mengesampingkan Pasal 1238 BW, tentu menimbulkan pro dan kontra.

Dengan demikian, substansi tersebut harus diketengahkan, yakni apabila kreditur belum melayangkan somasi sama sekali maka relaas harus dianggap sebagai peneguran. Di lain sisi, bila ia sudah memberikan somasi sebelum gugatan didaftarkan, maka relaas adalah peringatan final bagi debitur untuk berprestasi sebelum hari sidang pertama.

Selain intisari di atas, SEMA a quo juga dapat dimaknai sebagai dasar bahwa somasi tidak memiliki batas minimal. Selama somasi telah dikirimkan, berapapun jumlahnya, sudah dianggap cukup untuk menyatakan debitur lalai. Namun demikian, Jamal Wiwoho[9] dan Salim H Sidik[10] berpendapat lain. Keduanya menyatakan bahwa somasi paling tidak dilayangkan tiga kali oleh kreditur atau juru sita dalam tenggat waktu yang ideal.

Selain jumlah minimal, dewasa ini penggunaan somasi tidak terbatas pada ruang lingkup perdata, melainkan juga kasus pidana. Fenomena ini tampak pada kasus-kasus pidana yang mengandung unsur ganti rugi bagi korban, misalnya penipuan, penghinaan, bahkan pencurian.

Pada dasarnya, hukum pidana tidak mengatur mengenai somasi sebagai salah satu tahapan pemeriksaan perkara pidana. KUHAP dan ketentuan hukum acara pidana lain yang tersebar di berbagai level peraturan perundang-undangan, seperti Peraturan Kapolri sejalan dengan proses pada umumnya, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan proses upaya hukum lanjutan.

Namun demikian, somasi muncul sebagai upaya untuk mencegah suatu kasus untuk naik menjadi lidik bahkan sidik, meskipun kasus tersebut adalah delik umum. Hal ini didasari keengganan para pihak, utamanya korban untuk menghabiskan tenaga, waktu, dan finansial untuk menyelesaikan melalui prosedur yang ada. Dengan adanya ganti rugi dari pelaku, maka korban sudah kembali ke keadaan semula (natura), meskipun ganti rugi tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum suatu tindakan, apalagi bila delik tersebut adalah delik formil.

Sumber Referensi

  • Harahap, Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian: Cetakan Kedua. Bandung: Alumni, 1986.
  • Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana, 2010.
  • Khoidin. Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata. Yogyakarta: LaksBang Justia, 2020.
  • Lapod, Isabella Sharon. “Tinjauan Yuridis Atas Akibat Hukum Wanprestasi Jaminan Fidusia Menurut KUH Perdata”. Lex Privatum 6, no. 2 (2018): 7.
  • Isnaeni, Mochammad. Hukum Jaminan Kebendaan. Surabaya: Revka Prima Media, 2016.
  • Pangkerego, Olga A., dan Roy V. Karamoy. “Kajian Terhadap Tanggung Gugat Karena Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Jurnal Lex Privatum 10, no. 1 (2022): 241.
  • Ridaningjati, Pamungkas. Prima Facie Evidence Adanya Wanprestasi Sebagai Dasar Eksekusi Objek Jaminan Kebendaan. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2024.
  • Sidik, Salim H. Hukum Kontrak: Teori & Teknis Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
  • Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1991.
  • Wiwoho, Jamal, dan Anis Mashdurohatun. Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah, dan Etika Bisnis. Semarang: Undip Press,

[1] Isabella Sharon Lapod, “Tinjauan Yuridis Atas Akibat Hukum Wanprestasi Jaminan Fidusia Menurut KUH Perdata”, Lex Privatum, Vol 6, No 2, 2018, h. 7.

[2] Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian: Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1986, h. 62.

[3] Khoidin, Tanggung Gugat dalam Hukum Perdata, LaksBang Justia, Yogyakarta, 2020, h. 43.

[4] Olga A. Pangkerego dan Roy V. Karamoy, “Kajian Terhadap Tanggung Gugat Karena Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Lex Privatum, Vol 10, No 1, 2022, h. 241.

[5] Mochammad Isnaeni, Hukum Jaminan Kebendaan, Revka Prima Media, Surabaya, 2016, h. 30.

[6] Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, h. 45.

[7] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, h. 238

[8] Pamungkas Ridaningjati, Prima Facie Evidence Adanya Wanprestasi Sebagai Dasar Eksekusi Objek Jaminan Kebendaan, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2024, h. 29.

[9] Jamal Wiwoho dan Anis Mashdurohatun, Hukum Kontrak, Ekonomi Syariah, dan Etika Bisnis, Undip Press, Semarang, 2017, h. 88.

[10] Salim H Sidik, Hukum Kontrak: Teori & Teknis Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 97.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Somasi sebelum pailit
Perdata

Literasi Hukum – Jika Anda sebagai kreditur ingin mengajukan permohonan pailit terhadap debitur Anda, pertanyaan yang muncul adalah apakah perlu melayangkan somasi terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan pailit? Jawabannya adalah…