Materi HukumPerdata

Penyelesaian Sengketa Lahan dalam Pembangunan Jalan Tol

Adam Ilyas
220
×

Penyelesaian Sengketa Lahan dalam Pembangunan Jalan Tol

Share this article
Penyelesaian Konflik atas Sengketa Lahan dalam Pembangunan Jalan Tol
(Sumber: Unsplash/Roman Logov)

Dalam pembangunan jalan tol, umum terjadi sengketa lahan. Sengketa ini melibatkan pengadaan tanah dari pemerintah untuk menjadi pondasi pembangunan. Dalam sengketa, ada potensi bahwa lahan yang terdampak adalah lahan milik warga.

Sejatinya, pembangunan jalan tol menimbulkan konflik hak asasi manusia. Di satu sisi, warga yang memiliki lahan terdampak, berhak untuk tinggal di lingkungan yang aman dan merasakan kesejahteraan. Di sisi lain, warga yang menikmati jalan tol berhak untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, dengan pertimbangan bahwa jalan tol akan membantu mereka menggapai lebih banyak peluang setidaknya dari segi perekonomian.

Konflik hak asasi manusia dari pembangunan jalan tol berujung pada sengketa lahan. Hak warga untuk menikmati jalan tol menjadi dasar bagi pemerintah untuk getol merancang pengadaan tanah. Sementara itu, hak warga untuk sejahtera dengan tinggal di lingkungan yang aman menjadi dasar bagi pemilik lahan untuk menolak pengadaan tanah.

Akhir dari sengketa lahan itu umumnya serupa pada mayoritas kasus, yaitu jalan tol tetap dibangun dan warga yang terdampak mendapatkan ganti kerugian.

Artikel ini akan membahas fenomena sengketa lahan tersebut dan efektifitas upaya penyelesaiannya yang diuji terhadap beberapa peraturan perundang-undangan.

Hak Masyarakat atas Tanah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), diatur mengenai macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang dan dimiliki oleh seseorang, baik perorangan maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum.

Macam-macam hak atas tanah dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. Kedua, hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Ketiga, yaitu hak atas tanah yang akan ditetapkan dalam undang-undang.

Pasal 6 UUPA menjelaskan bahwa semua hak atas tanah termasuk hak milik mempunyai fungsi sosial tanpa melihat status alas hak dan penguasa tanah. Hal ini menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang ada pada seseorang, tidak dapat dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, bahkan apabila hal itu dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan atas tanah harus proporsional antara kepentingan perorangan dan masyarakat sehingga dapat mewujudkan kemakmuran dan keadilan masyarakat tanpa mengurangi kepentingan pemilik hak atas tanah tersebut serta dapat melindungi hak-hak masyarakat.

Namun, penerapan fungsi sosial hak atas tanah melalui kebijakan pengadaaan tanah seringkali menimbulkan persoalan di masyarakat. Istilah “kepentingan umum” dijadikan penahan baik oleh pihak pemerintah maupun pengusaha untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tindakan pemerintah tersebut dianggap sebagai upaya untuk mengambil tanah-tanah milik masyarakat secara sewenang-wenang karena pelaksanaannya dinilai kurang memihak hak-hak masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah asal.

Untuk melindungi HAM khususnya hak dan kepentingan masyarakat pemilik tanah yang menjadi korban atas pengadaan tanah harus diterapkan prinsip-prinsip sesuai dengan Undang-Undang Pengadaan Tanah. Penerapan undang-undang itu adalah untuk menjamin terselenggaranya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, keadilan dan demokratis.

Pemberian Ganti Rugi yang Tidak Adil

Persiapan pengadaan tanah membutuhkan konsultasi publik dengan masyarakat untuk mencapai kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pemerintah. Namun, beberapa kasus terdapat penetapan nilai harga ganti rugi yang dilakukan secara sepihak oleh Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam proses musyawarah, Pelaksana Pengadaan Tanah terkesan memaksa masyarakat yang berhak menerima nilai ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Ganti rugi yang diberikan menerapkan prinsip harga umum atau pasaran di wilayah setempat, sehingga ganti rugi itu dinilai terlalu rendah dan tidak mengimplementasikan nilai keadilan serta kelayakan. 

Kesepakatan mengenai pemberian ganti rugi yang dilakukan masih memiliki kelemahan dalam memberikan kepastian hukum secara tuntas. Pelaksana Pengadaan Tanah enggan untuk dapat menerima masukan dari masyarakat. Pengertian tuntas yang dimaksud adalah terpenuhinya keabsahan secara hukum baik secara materiil yaitu kaidah norma-norma mengenai dasar penghitungan nilai ganti kerugian maupun secara formil yang berkenaan dengan mekanisme penyelesaiannya. 

Tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim wilayah atau tanah hak milik masyarakat tersebut banyak terjadi pelanggaran HAM. Pelanggaran itu meliputi hak atas tanah, hak atas pekerjaan, hak atas pangan, hak atas hidup, dan hak lingkungan hidup.  Pengklaiman tersebut sering dilakukan secara sepihak hanya demi terlaksananya pembangunan jalan tol tanpa melihat kepentingan masyarakat sekitar. 

Terjadinya perpecahan dan perdebatan antar masyarakat setempat menyangkut ganti rugi sehingga membuat masyarakat tidak aman serta hilangnya hak atas tanah karena sengketa merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak atas rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

Akibat tindakan yang diduga telah menghilangkan mata pencaharian dan hak-hak atas kepemilikan masyarakat, mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak atas kesejahteraan. Pasal 37 ayat (1) UU HAM menyatakan bahwa : “Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Penyelesaian Sengketa Lahan

Untuk menangani problematika seperti yang disebutkan di atas, proses pelaksanaan pengadaan tanah harus dilakukan dengan menerapkan standar operasional, yaitu pelaksanaan musyawarah secara konsisten dalam penetapan bentuk dan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pengadaan tanah yang berlaku, serta penerapan asas-asas dalam pengadaan tanah yaitu asas itikad baik, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kepastian hukum, asas kesejahteraan dan asas keadilan.

Musyawarah dalam hal ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, konsultasi publik yang dilakukan untuk memperoleh kesepakatan lokasi rencana pembangunan. Pelaksanaannya dibatasi dalam jangka waktu 90 hari. Tahap kedua, yaitu musyawarah penetapan ganti rugi. Musyawarah tersebut dilaksanakan antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) selaku Pelaksana Pengadaan Tanah dengan pihak yang berhak paling lama 30 hari sejak hasil penilaian dari penilai disampaikan kepada BPN.

Selain itu, pemilik hak atas tanah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan apabila tidak menerima keputusan Pelaksana Pengadaan Tanah. Namun, apabila dengan metode-metode seperti itu masih tetap tidak dapat membawa hasil sepakat, maka dapat digunakan alternatif penyelesaian dengan cara konsignasi (konsinyasi), yaitu penitipan ganti rugi di Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Konsinyasi dilakukan apabila ada pihak yang menolak nilai ganti rugi, pemilik tidak diketahui keberadaannnya, atau tanahnya sedang menjadi objek sengketa.

Terjadinya konflik pengadaan tanah tersebut menunjukkan belum terlindunginya hak masyarakat atas tanah. Peran negara dalam kebijakan dan strategi pada pelayanan serta upaya penyelesaian konflik sangat penting. Pemerintah memiliki peran mengelola dan memberdayakan agraria berlandaskan pada kepentingan publik sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satunya yaitu penerapan strategi pengendalian tata ruang sebagai penyeimbang dinamika pembangunan proyek strategis nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.