Literasi Hukum – Artikel ini akan memberikan pemahaman mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) secara mendasar dan jelas.
Pengantar
Pada pembahasan tentang pemilihan umum (Pemilu), tidak dapat dihindari untuk menjelaskan signifikansi konsep demokrasi yang berkaitan erat dengannya. Demokrasi, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos” yang berarti pemerintahan atau kekuasaan.
Dengan demikian, dalam pengertian yang sederhana, demokrasi dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan di mana kekuasaan berada di tangan rakyat secara kolektif, bukan terpusat pada satu individu (monarki) atau kelompok kecil (oligarki). Saat ini, konsep demokrasi semakin berkembang dan seringkali dianggap memiliki arti yang serupa dengan republik.
Untuk menerapkan prinsip demokrasi dalam menjalankan pemerintahan suatu negara, tidak mungkin melibatkan seluruh warga negara secara langsung. Oleh karena itu, negara memilih perwakilannya dalam pemerintahan dengan harapan bahwa mereka dapat menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi rakyat. Pemerintah yang berusaha untuk kepentingan rakyat adalah cita-cita yang diidamkan oleh masyarakat.
Dalam upaya mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi tersebut, mekanisme khusus pemilihan diperlukan agar pemerintah yang terpilih dapat mewakili aspirasi pemilihnya. Konsep pemilihan umum (Pemilu) lahir sebagai bagian dari perkembangan teori demokrasi dan mekanisme pemilihan pemerintahan yang mewakili suara rakyat.
Pelaksanaan pemilu ini tidak jarang menimbulkan perselisihan pada hasil pemilunya. Hal yang sama juga dialami Indonesia. Perselisihan hasil pemilihan umum merupakan fenomena yang tak terhindarkan dalam dinamika politik Indonesia.
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Indonesia
Perselisihan hasil Pemilu, sesuai dengan ketentuan UUD 1945, diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berikut hal-hal yang perlu kamu ketahui tentang Hukum Acara PHPU di Indonesia
1. Pengertian
Pasal 1 Ayat (3) UU MK menjelaskan bahwa Permohonan PHPU adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; PMK Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; PMK Nomor 3 Tahun 2018
tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah; dan PMK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
2. Isi Permohonan
Minimal dalam pengajuan perkara di Mahkamah Konstitusi, diperlukan keberadaan tiga unsur penting yang wajib disertakan dalam permohonan. Tiga unsur tersebut merupakan persyaratan formil dan materil dari sebuah permohonan. Dalam konteks sengketa hasil pemilihan umum (PHPU), permohonan terkait PHPU juga harus memuat ketiga elemen tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
- Identitas Pemohon dan Termohon yang dituju
- Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 (Posita/Fundamentum petendi)
- hal-hal yang diminta untuk diputus (Petitum)
Identitas para pihak tersebut merupakan syarat formil permohonan. Sedangkan posita dan petitum merupakan syarat materiil permohonan.
Pasal 75 UU MK menentukan mengenai hal-hal wajib yang dikemukakan dalam permohonan Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) adalah
“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:
a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon; danb. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Pemohon.”
3. Para Pihak
Terkait permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), Pasal 74 Ayat (1), menjelaskan bahwa Pemohon adalah: a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum; b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. partai politik peserta pemilihan umum.
Adanya ketentuan yang tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebabkan adanya perkembangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), di mana dalam pertimbangannya dijelaskan mengenai kelayakan hukum (legal standing) Pemohon. Dengan menguraikan legal standing Pemohon dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memungkinkan para pihak dalam perkara untuk melihat dengan jelas alasan di balik keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menerima atau menolak legal standing Pemohon.
Sementara terkait Termohon dalam PHPU diatur dalam Pasal 3 ayat (2) PMK No. 2/2018. Termohon berdasarkan ketentuan tersebut adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Pihak terkait dalam PHPU adalah orang yang berpendapat bahwa kepentingannya terkait dengan permohonan Pemohon. Pihak Terkait dalam PHPU dapat terlibat dalam sengketa dikarenakan untuk menguatkan permohonan Pemohon atau juga menguatkan putusan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, KIP provinsi, KIP kabupaten/kota. Namun dapat pula keterlibatan Pihak Terkait dalam sengketa hanya untuk memperjuangkan kepentingannya.
4. Proses Persidangan dan Pembuktian
Proses persidangan di Mahkamah Konstitusi akan dimulai setelah permohonan dari Pemohon dinyatakan diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, yang terbukti dengan penerbitan Akta Penerimaan Berkas Permohonan (APBP), dan kemudian diregistrasikan melalui penerbitan Akta Registrasi Perkara. Sesuai dengan Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, permohonan perselisihan hasil pemilihan umum hanya dapat diajukan dalam jangka waktu maksimal 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.
Setelah permohonan pemohon dianggap telah lengkap dan memenuhi persyaratan, Panitera MK akan menerbitkan Akta Registrasi Perkara dan mencatatnya dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara PHPU yang dilaksanakan melalui pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan persidangan. Pemeriksaan perkara tersebut dilaksanakan dalam Sidang Panel atau Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Sidang panel merupakan tahap awal dalam persidangan Mahkamah Konstitusi yang umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan pendahuluan. Berdasarkan Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah diberi wewenang untuk membentuk sebuah kelompok hakim panel yang terdiri dari minimal tiga orang hakim konstitusi.
Sederhananya, proses pemeriksaan persidangan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut;
a. memeriksa Permohonan Pemohon;
b. memeriksa Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait,
dan/atau Keterangan Bawaslu;
c. mengesahkan alat bukti.
d. memeriksa alat bukti tertulis;
e. mendengarkan keterangan saksi;
f. mendengarkan keterangan ahli;
g. memeriksa alat bukti lain;
h. memeriksa rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk.
Setiap pihak yang terlibat dalam persidangan diminta untuk menyajikan bukti-bukti yang relevan dengan perkara yang diselidiki. Mahkamah Konstitusi akan memberikan perimbangan kepada pihak-pihak yang dapat menyajikan bukti yang valid. Dalam konteks perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), bukti yang sah biasanya berupa dokumen penghitungan suara, baik versi resmi dari penyelenggara pemilihan umum, pengawas pemilihan umum, maupun kesaksian saksi-saksi. Jika keaslian setiap dokumen penghitungan dapat dipastikan oleh pihak-pihak terkait, maka Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan sebagai dasar untuk merumuskan putusan.
Persidangan juga memberikan kesempatan bagi para pihak dan saksi-saksi untuk menyampaikan hal-hal terkait dengan perkara. Apabila Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa persidangan telah mencukupi untuk memberikan putusan, Mahkamah akan menetapkan jadwal untuk pembacaan putusan. Setelah sidang pembacaan putusan, pihak-pihak yang terlibat akan menerima salinan putusan secara langsung dari Panitera Mahkamah Konstitusi.
5. Putusan Mahkamah
Dalam menentukan putusan, MK akan melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yang sekurang-kurangnya harus dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi yang mendengarkan hasil rapat panel hakim. RPH ini bersifat tertutup untuk umum. Putusan yang diambil melalui RPH tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat dengan terlebih dahulu mendengarkan pendapat hukum para hakim konstitusi.
Putusan terkait perselisihan hasil Pemilu tersebut kemudian akan dibacakan dalam rapat yang terbuka untuk umum yang amarnya berdasarkan ketentuan Pasal 57 PMK No. 2/2018 juncto Pasal 57 PMK No. 3/2018 juncto Pasal 51 PMK No. 4/2018 junctoPasal 47 PMK No. 5/2017 yang berbunyi
a. Permohonan tidak dapat diterima (niet otvankelijk verklaard) apabila pemohon dan atau permohonan tidak memenuhi syarat;
b. Permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya Mahkamah membatalkan (void an initio) hasil penghitungan suara oleh KPU, serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c. Permohonan ditolak apabila permohonan terbukti tidak beralasan.
Putusan MK bersifat final, bahkan terhadap perkara PHPU juga tidak dikenal upaya lain untuk membatalkan putusan MK.