Pidana

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-8: Percobaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Heksa Archie Putra Nugraha
1524
×

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-8: Percobaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Sebarkan artikel ini
Percobaan dalam Hukum Pidana
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan tidak memberikan definisi baku mengenai percobaan dalam hukum pidana. Namun, menurut Kitab Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut “KBBI”), percobaan merupakan usaha mencoba sesuatu; usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu. Percobaan dalam hukum pidana atau poging dapat diklasifikasikan sebagai inchoate crime, yakni perbuatan yang belum selesai.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (selanjutnya disebut “KUHP”), percobaan dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP. Adapun intisari norma pada masing-masing pasal adalah sebagai berikut.

PasalIntisari
Pasal 53 ayat (1) KUHPSyarat percobaan adalah adanya niat, terdapat permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku.
Pasal 53 ayat (2) KUHPPidana bagi pelaku percobaan adalah sepertiga dari ancaman pidana pokoknya. Hal ini disebabkan tingkat bahaya yang ditimbulkan berbeda dengan tindak pidana yang selesai.
Pasal 53 ayat (3) KUHPApabila ancaman pidana pokoknya adalah pidana mati atau seumur hidup, maka pidana maksimal percobaannya adalah lima belas tahun.
Pasal 53 ayat (4) KUHPPidana tambahan (yang diatur dalam Pasal 10 KUHP) bagi percobaan adalah sama dengan tindak pidana yang selesai.
Pasal 54 KUHPPercobaan atas pelanggaran tidak dipidana. Hal ini karena tidak dimungkinkan adanya percobaan bagi pelanggaran.

Beberapa tindak pidana yang mendapat pengecualian dari ketentuan di atas, antara lain pada Pasal 351 ayat (5) KUHP, Pasal 352 ayat (2) KUHP, Pasal 302 ayat (2) KUHP, dan Pasal 184 ayat (5) KUHP.

Percobaan dalam Hukum Pidana Sebagai Sebuah Delik

Secara teoritis, muncul pertanyaan mengenai percobaan dalam hukum pidana, yakni apakah merupakan delik yang sempurna atau tidak. Menurut Mr Pompe dan Prof Moeljatno, percobaan dalam hukum pidana adalah kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan dalam hukum pidana juga merupakan kekhususan dari sebuah delik sehingga disebut sebagai delik yang berdiri sendiri atau delictum sui generis. Di lain sisi, Ny Hezeringkel Suringa dan Prof Oemar Seno Adji berpendapat bahwa percobaan dalam hukum pidana merupakan unsur pertanggungjawaban pidana sehingga bukan merupakan delik yang berdiri sendiri, melainkan delik tidak sempurna.

Prof Moeljatno menglasifikasikan percobaan dalam hukum pidana sebagai delik yang selesai sebab orang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana manakala tidak melakukan tindak pidana. Logika tersebut, ketika dilekatkan pada percobaan dalam hukum pidana yang mana pelaku dimintai pertanggungjawaban pidana, maka pastilah pelaku telah melakukan tindak pidana sehingga percobaan sendiri secara tidak langsung merupakan delik yang selesai. Selain itu, dalam beberapa pasal percobaan lain, percobaan merupakan delik yang berdiri sendiri (vide Pasal 104, 106, dan 107 KUHP).

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut pendapat yang menyatakan sebagai delik yang tidak berdiri sendiri/selesai/sempurna, percobaan adalah alasan untuk memperluas dapat dipidananya orang, sedangkan pendapat yang menyatakan sebagai delik yang berdiri sendiri, percobaan dalam hukum pidana adalah alasan untuk memperluas dapat dipidananya suatu perbuatan.

Pada dasarnya, terdapat tiga teori dasar dalam mempidana percobaan, antara lain:

  1. Teori Subjektif, yakni patut dipidananya percobaan dilandaskan pada adanya niat/kehendak/sikap batin pelaku untuk melakukan tindakan atau menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.
  2. Teori Objektif, yakni patut dipidananya percobaan dilandaskan pada perbuatan yang dilakukan membahayakan kepentingan umum yang dilindungi oleh undang-undang.
  3. Teori Integrasi/Campuran, yakni patut dipidananya percobaan dilandaskan pada sikap batin berbahaya pelaku dan sifat berbahaya dari perbuatan yang dilakukan.

Unsur-Unsur Percobaan

Menurut ketentuan Pasal 53 ayat (1) KUHP, percobaan dalam hukum pidana terdiri atas adanya niat, permulaan pelaksanaan, dan tidak terselesaikannya perbuatan bukan karena kehendak sendiri. Terhadap ketiga unsur tersebut akan diuraikan masing-masing ruang lingkup dan perbedaan pendapat di antara sarjana hukum sebagai berikut.

Adanya niat

Niat atau voornemen diartikan oleh Van Hammel dan Simons sebagai kesengajaan, sedangkan menurut Vos, niat didefinisikan khusus sebagai sengaja dengan maksud (dolus directus). Di lain sisi, Hoge Raad dalam Arrest-nya tampak cenderung untuk mendefinisikan niat sebagai kesengajaan secara umum. Hal ini tampak pada dua putusan dengan kasus posisi sebagai berikut.

A menaiki kereta api. Di tengah perjalanan, petugas kereta api memeriksa tiket masing-masing penumpang, tetapi A menolak dan menendang petugas tersebut. Apabila petugas tersebut tidak berpegangan pada tiang maka pasti dia jatuh dan meninggal. Dengan demikian, Hoge Raad memutuskan bahwa A telah melakukan percobaan pembunuhan dengan corak kesengajaan sebagai kemungkinan (Hoge Raad Arrest 12-3-1943).

Selain kasus di atas, ada pula Hoge Raad Arrest tentang kue tart beracun yang sangat terkenal. Pada kasus tersebut, pelaku memahami bahwa niat A untuk membunuh B dengan mengirim kue tart beracun ke rumahnya mungkin saja membunuh keluarga B yang lain sebab tinggal di rumah yang sama dan memakan kue tart tersebut. Terhadap A, manakala B tidak meninggal, dapat dikenakan pasal percobaan dengan uraian sebagai berikut.

Menurut Vos, A dapat dikenakan pasal percobaan pembunuhan berencana sebab kesengajaan pelaku adalah ingin membunuh B dengan mengirimkan kue tart beracun, tetapi tidak terlaksana. Corak kesengaajan pada delik ini adalah dolus directus.

Di lain sisi, menurut pendapat Van Hammel dan Simons, selain percobaan pembunuhan berencana terhadap B, A juga melakukan percobaan pembunuhan terhadap anggota keluarga B yang lain. Pendapat ini dilandaskan pada argumen bahwa mungkin saja anggota keluarga B yang tinggal satu rumah dengan B memakan kue tart beracun tersebut. Corak kesengajaan pada delik yang kedua merupakan dolus eventualis.

Berbeda dengan dua pendapat di atas, Prof Moeljatno menyatakan pendapat alternatif, yakni pendapat Van Hammel dan Simons mengenai adanya dua percobaan patut dipertimbangkan. Hal ini disebabkan akibat yang dilarang undang-undang adalah matinya seseorang yang mana kesengajaan A, baik dolus directus maupun dolus eventualis menjadi faktor penyebabnya.

Namun demikian, niat tidak dapat disamakan dengan sengaja sebab perlu adanya perbuatan yang diperlukan untuk melakukan delik baru disebut ada kesengajaan. Apabila tidak, maka niat tadi baru bersifat sikap batin atau mens rea sehingga dalam kaitannya dengan percobaan pembunuhan terhadap anggota keluarga B, perlu diuraikan lebih lanjut secara eksplisit dan terpisah apakah betul tindakan A memenuhi unsur pembunuhan biasa dengan kesengajaan dolus eventualis.

Adanya permulaan pelaksanaan

Permulaan pelaksanaan atau begin van uitvoering merupakan salah satu unsur dalam percobaan. Pada dasarnya, unsur ini dibuktikan dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh pelaku. Akan tetapi, masalah yang muncul adalah menentukan perbedaan menentukan perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan. Pembedaan ini diperlukan sebab manakala perbuatan pelaksanaan telah dilakukan, maka delik dianggap selesai. Berikut akan diuraikan beberapa pendapat sarjana hukum mengenai permulaan pelaksanaan.

Menurut Van Hammel, perbuatan pelaksanaan dapat ditinjau dari adanya kepastian niat untuk melakukan kejahatan. Dalam pendapat tersebut, tolok ukurnya adalah sikap batin jahat dari pelaku untuk melakukan delik. Pendapat ini berangkat dengan landasan teori subjektif.

Pendapat kedua berasal dari Simons yang membagi perbuatan pelaksanaan menjadi dua, yaitu untuk delik formil dan delik materiil. Untuk delik formil, perbuatan pelaksanaan terjadi tatkala telah dimulai perbuatan sebagaimana dimaksud dalam delik, sedangkan untuk delik materiil maka perbuatan pelaksanaan terjadi saat dimulainya perbuatan yang menurut sifatnya langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Di lain sisi, Duynstee berpendapat bahwa perbuatan pelaksanaan adalah apabila suatu perbuatan yang dilakukan termasuk satu perbuatan yang merupakan rangkaian perbuatan seperti yang dilarang dalam rumusan delik. Menurut Duynstee, yang dilarang bukan hanya akhir dari delik saja, melainkan keseluruhan dari delik. Dengan demikian, jika salah satu rangkaian delik sudah dilakukan maka telah ada pelanggaran hukum meskipun akibat yang dilarang belum muncul.

Pendapat keempat adalah pendapat Prof Moeljatno yang menyatakan bahwa suatu perbuatan pelaksanaan harus memenuhi tiga syarat, yaitu mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut, niat memang ditujukan untuk terwujudnya delik, dan perbuatan tersebut melawan hukum. Terhadap keempat pendapat di atas, kiranya dapat dijadikan batu uji dalam kasus posisi sebagai berikut.

A hendak membakar rumah B. Tindakan A adalah masuk ke rumah B lalu mempersiapkan pakaian dan kain yang telah disiram bensin di tiap kamar dan keseluruhannya saling terhubung. Ternyata rangkaian tersebut juga terhubung dengan kompor gas yang akan meledak ketika ditembak.

Tak sampai disitu, A juga mengarahkan pistol ke arah kompor gas dan mengikat penarik peletuk ke dari luar rumah dengan harapan ada yang tersandung sehingga rumah dapat terbakar. Namun demikian, harapan A pupus sebab bau menyengat bensin dan gerak-gerik A mendorong warga sekitar untuk melapor sehingga akhirnya A ditangkap.

Putusan pengadilan tingkat I menyatakan tindakan A adalah perbuatan pelaksanaan sehingga dikenakan delik yang selesai. Atas amar tersebut, A mengajukan kasasi. Hoge Raad Arrest memutuskan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan persiapan sehingga A dinyatakan onslag van rechtvervolging.

Apabila kedua putusan tersebut dikaitkan dengan keempat pendapat di atas, maka Hoge Raad Arrest sejalan dengan pendapat Simons. Hal ini disebabkan Hoge Raad menilai telah ada niat jahat dalam rangkaian perbuatan tersebut, tetapi akibat yang dilarang belum timbul. Di lain sisi, putusan tingkat I sejalan dengan pendapat Van Hammel dan Duynstee. Mengenai pendapat Prof Moejatno, kiranya dapat ditinjau dengan menyocokkan antara fakta hukum yang ada dengan syarat-syarat suatu perbuatan pelaksanaan.

Untuk syarat pertama, tentu telah terpenuhi sebab tindakan A mengarahkan pistol ke arah kompor gas dan mengikat penarik peletuk ke dari luar rumah dengan harapan ada yang tersandung menyebabkan kehancuran rumah (vide Pasal 200 KUHP). Mengenai syarat kedua pun telah terpenuhi sebab A memang berkehendak untuk membakar rumah B. Lebih lanjut, untuk syarat ketiga juga terpenuhi sebab rumah yang hendak dibakar bukanlah milik A sehingga tindakan tersebut melawan hukum. Dengan demikian, pendapat Prof Moeljatno linier dengan putusan tingkat I.

Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri

Unsur ini terbagi atas tiga aspek, antara lain terdapat penghalang fisik, akan ada penghalang fisik, atau terdapat penghalang berupa faktor-faktor khusus. Namun, manakala pelaku mengundurkan diri secara sukarela atau melakukan tindakan penyesalan maka tidak dipidana atas poging.

Selain uraian unsur di atas, terdapat pula pembagian percobaan dalam hukum pidana menjadi dua, yakni percobaan mampu dan percobaan tidak mampu. Percobaan mampu adalah segala jenis percobaan sebagaimana telah diuraikan di atas. Menurut Simons, percobaan mampu adalah perbuatan yang menggunakan alat tersebut dapat membahayakan seseorang atau suatu benda.

Selain itu, Van Hattum berpendapat bahwa percobaan mampu adalah manakala ada hubungan kausalitas yang adequate antara perbuatan percobaan dengan akibat yang dilarang undang-undang. Di lain sisi, sejalan dengan teori kesan, Prof Moeljatno berpendapat bahwa percobaan mampu adalah ketika perbuatan dekat dengan terjadinya delik selesai.

Jenis lainnya adalah percobaan tidak mampu, yaitu percobaan telah dilakukan oleh pelaku, tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang dilarang tidak terjadi. Percobaan tidak mampu terbagi menjadi dua, antara lain tidak mampunya objek dan tidak mampunya alat.

Mengenai tidak mampunya objek, misalnya adalah A membunuh B yang telah meninggal atau seorang ibu yang mencoba menggugurkan kandungan yang ternyata telah mati sebelumnya. Menurut Memorie van Toelichting, percobaan tidak mampu karena tidak mampunya objek mustahil sebab percobaan membutuhkan alat.

Di lain sisi, tidak mampunya alat dapat dicontohkan seperti upaya A untuk meracuni B dengan cairan yang dikira racun, ternyata air gula biasa. Oleh Memorie van Toelichting, tidak mampunya alat dibagi kembali menjadi dua, yaitu tidak mampu mutlak dan tidak mampu relatif.

Mengenai tidak mampu mutlak adalah penggunaan air gula sebagaimana diuraikan sebelumnya, sedangkan tidak mampu relatif adalah melalui alat tersebut tidak ditimbulkan akibat sebab terdapat hal tertentu ketika perbuatan dilakukan. Misalnya adalah A ingin membunuh B menggunakan air soda yang berkadar gula tinggi sebab A mengira B mengidap diabetes, ternyata tidak.

Terhadap tidak mampu relatif, Memorie van Toelichting kembali membagi menjadi dua segi, yaitu ditinjau dari keadaan tertentu alat atau keadaan tertentu orang yang dituju. Untuk keadaan tertentu alat dilihat sebagai jenis tersendiri atau keadaan konkritnya. Sebagai contoh gula dapat menjadi alat yang mematikan bagi orang-orang tertentu.

Namun, untuk keadaan tertentu orang yang dituju adalah dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang atau dilihat dari keadaan konkritnya. Sebagai contoh penderita diabetes dapat dibunuh dengan gula.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.