Opini

Kejaksaan Republik Indonesia: Peran, Tantangan, dan Masa Depan

Zihan Maulani
1599
×

Kejaksaan Republik Indonesia: Peran, Tantangan, dan Masa Depan

Sebarkan artikel ini
Kejaksaan Republik Indonesia: Peran, Tantangan, dan Masa Depan
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumKejaksaan Republik Indonesia, sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia, memiliki peran yang sangat strategis dalam menjaga keadilan dan ketertiban di masyarakat. Kejaksaan tidak hanya berfungsi sebagai penuntut umum dalam perkara pidana, tetapi juga memiliki peran penting dalam bidang perdata, tata usaha negara, dan tugas-tugas lain yang diamanatkan oleh undang-undang. Artikel ini akan mengulas peran kejaksaan, tantangan yang dihadapinya, serta prospek dan langkah-langkah ke depan dalam memperkuat institusi ini.

Sejarah dan Peran Kejaksaan

Istilah “Kejaksaan” telah ada sejak lama di Indonesia, bahkan pada masa Kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, khususnya Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M), istilah “dhyaksa,” “adhyaksa,” dan “dharmadhyaksa” sudah merujuk pada jabatan tertentu dalam kerajaan. Kata-kata ini berasal dari bahasa Sanskerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim, mengungkapkan bahwa “dhyaksa” adalah pejabat negara yang bertugas menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa. Pandangan ini didukung oleh peneliti lain, H.H. Juynboll, yang menyatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas atau hakim tertinggi. Krom dan Van Vollenhoven, peneliti Belanda lainnya, bahkan menyebut bahwa Patih Gajah Mada dari Majapahit juga adalah seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, lembaga yang relevan dengan jaksa adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini mengarahkan pegawainya untuk berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi), dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) di bawah perintah langsung dari Residen atau Asisten Residen. Fungsi jaksa pada masa itu lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial, dengan tugas mempertahankan peraturan negara, menuntut tindak pidana, dan melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.

Peran Kejaksaan sebagai lembaga penuntut resmi pertama kali difungsikan oleh undang-undang pemerintah pendudukan Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944, dan No.49/1944. Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk menyidik kejahatan, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain yang diwajibkan oleh hukum.

Setelah Indonesia merdeka, fungsi kejaksaan tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia, seperti yang ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Secara yuridis formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni di bawah Departemen Kehakiman.

Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami perkembangan dan dinamika sesuai dengan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya hingga kini, Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, struktur organisasi serta tata cara kerja Kejaksaan juga berubah sesuai situasi dan kondisi masyarakat serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Perubahan mendasar pertama terkait undang-undang tentang Kejaksaan terjadi pada 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum. Perkembangan baru pada masa Orde Baru menyangkut perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, termasuk perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.

Pada masa Reformasi, pemerintah Indonesia dan lembaga penegak hukum, terutama dalam menangani tindak pidana korupsi, mendapat banyak sorotan. Oleh karena itu, Undang-Undang tentang Kejaksaan mengalami perubahan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Undang-undang ini disambut baik karena dianggap memperkuat keberadaan Kejaksaan yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun pihak lain.

Dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004, Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), Kejaksaan memiliki peran sentral dalam penegakan hukum. Kejaksaan adalah satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu kasus layak diajukan ke pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Selain itu, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Oleh karena itu, undang-undang ini memperkuat posisi dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Pelaksanaan kekuasaan negara oleh Kejaksaan harus dilakukan secara independen, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintah melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, artinya dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pihak lain. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam menjalankan tugasnya secara profesional.

UU No. 16 Tahun 2004 juga mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan dalam Pasal 30, yaitu:

  1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
    • Melakukan penuntutan;
    • Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
    • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
    • Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
    • Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
  2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
  3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
    • Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
    • Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
    • Pengamanan peredaran barang cetakan;
    • Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
    • Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
    • Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menyatakan bahwa Kejaksaan dapat meminta hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena terdakwa tidak mampu berdiri sendiri atau dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Pasal 32 menyatakan bahwa selain tugas dan wewenang yang diatur dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diberi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan harus membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Dengan demikian, UU No. 16 Tahun 2004 memperkuat peran Kejaksaan dalam penegakan hukum yang bebas dari pengaruh kekuasaan eksternal, menjadikannya lembaga yang lebih mandiri dan profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan.

Fungsi Penuntutan

Fungsi utama kejaksaan dalam bidang penuntutan sangatlah penting dalam sistem peradilan pidana. Jaksa bertindak sebagai penuntut umum yang membawa kasus pidana ke pengadilan setelah melalui proses penyidikan oleh kepolisian. Penuntut umum harus mampu menyusun dakwaan yang kuat berdasarkan bukti yang ada, serta menghadirkan saksi dan ahli di persidangan untuk mendukung dakwaannya.

Fungsi di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

Selain fungsi penuntutan, kejaksaan juga memiliki tugas penting dalam bidang perdata dan tata usaha negara. Dalam bidang ini, kejaksaan bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah dalam berbagai perkara perdata dan tata usaha negara. Misalnya, kejaksaan dapat mewakili negara dalam perkara sengketa tanah, kontrak pemerintah, atau kasus pelanggaran administratif yang melibatkan instansi pemerintah.

Tantangan yang Dihadapi

Meski memiliki peran yang sangat penting, kejaksaan menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berikut beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh kejaksaan:

1. Integritas dan Korupsi

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh kejaksaan adalah masalah integritas dan korupsi. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan jaksa atau pejabat kejaksaan dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi ini. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi di internal kejaksaan harus menjadi prioritas utama.

2. Profesionalisme dan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Kejaksaan perlu terus meningkatkan profesionalisme dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Ini mencakup pelatihan yang berkelanjutan bagi para jaksa, serta peningkatan standar etika dan kinerja. SDM yang profesional dan berintegritas tinggi akan mampu menjalankan tugas dengan lebih efektif dan efisien.

3. Teknologi dan Modernisasi

Pemanfaatan teknologi dalam sistem peradilan pidana masih perlu ditingkatkan. Modernisasi sistem administrasi dan manajemen perkara di kejaksaan akan membantu meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi kerja. Kejaksaan perlu mengadopsi teknologi informasi untuk mendukung tugas-tugasnya, seperti e-prosecution dan database digital.

4. Independensi

Independensi kejaksaan dari pengaruh politik dan intervensi eksternal sangat penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan adil dan objektif. Kejaksaan harus mampu beroperasi tanpa tekanan politik agar dapat menegakkan hukum berdasarkan fakta dan bukti yang ada.

Prospek dan Langkah Ke Depan

Untuk mengatasi tantangan-tantangan di atas dan memperkuat peran kejaksaan, beberapa langkah strategis dapat dilakukan:

1. Reformasi Internal

Reformasi internal di tubuh kejaksaan harus terus dilakukan untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme. Pembentukan unit pengawasan internal yang kuat dan independen, serta penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran, akan membantu menjaga integritas institusi ini.

2. Pengembangan Kapasitas SDM

Pengembangan kapasitas SDM melalui pelatihan yang berkelanjutan sangat penting. Kejaksaan harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi jaksa dalam berbagai bidang, termasuk hukum internasional, kejahatan siber, dan korupsi.

3. Pemanfaatan Teknologi

Pemanfaatan teknologi informasi dalam proses penuntutan dan administrasi perkara perlu ditingkatkan. Penerapan sistem e-prosecution, penggunaan database digital, dan pengembangan aplikasi berbasis teknologi dapat membantu meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam penanganan perkara.

4. Kolaborasi dan Kerjasama Internasional

Kejaksaan perlu memperluas jaringan kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan lintas negara. Kerjasama dengan kejaksaan dari negara lain, serta dengan organisasi internasional seperti Interpol dan UNODC, akan membantu dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan pelaku atau bukti di luar negeri.

5. Peningkatan Independensi

Upaya untuk menjaga dan meningkatkan independensi kejaksaan harus terus dilakukan. Penguatan kerangka hukum dan regulasi yang melindungi jaksa dari intervensi politik, serta penegakan prinsip-prinsip independensi dalam pelaksanaan tugas, akan membantu menjaga objektivitas dan keadilan dalam penegakan hukum.

Kesimpulan

Kejaksaan Republik Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia. Meski menghadapi berbagai tantangan, langkah-langkah reformasi dan peningkatan kapasitas yang tepat dapat membantu memperkuat institusi ini. Dengan integritas yang tinggi, profesionalisme, pemanfaatan teknologi, serta kerjasama internasional, kejaksaan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan efisien, serta menjaga keadilan dan ketertiban di masyarakat. Upaya untuk menjaga independensi kejaksaan juga sangat penting untuk memastikan bahwa penegakan hukum berjalan dengan adil dan objektif, tanpa pengaruh dan intervensi eksternal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.