Pidana

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-9: Penyertaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Heksa Archie Putra Nugraha
1336
×

Serba-Serbi Hukum Pidana Bagian Ke-9: Penyertaan dalam Hukum Pidana Indonesia

Sebarkan artikel ini
Penyertaan Hukum Pidana
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi HukumArtikel ini membahas mengenai konsep penyertaan dalam Hukum Pidana Indonesia. Bagaimana kelanjutannya? Simak terus sampai akhir!

Hukum pidana menentukan bahwa terhadap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, maka dia dapat dipidana. Namun demikian, muncul kebingungan dalam penegakkan hukum manakala suatu tindak pidana dilakukan oleh lebih dari satu orang. Oleh karena itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”) mengakomodir melalui konsep penyertaan atau deelneming.  

Penyertaan dalam hukum pidana merupakan perluasan kualifikasi pelaku suatu tindak pidana manakala tindak pidana tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang. Deelneming dapat digunakan manakala beberapa orang melakukan tindak pidana, tetapi masing-masing dari mereka mengambil bagian dalam terjadinya delik sehingga harus dipidana kesemuanya. Istilah lain dari deelneming, antara lain turut campur, turut berbuat delik, turut serta, complicity, participation, dan lainnya. Dalam KUHP, penyertaan dalam hukum pidana diatur pada Pasal 55 hingga Pasal 57.

Kualifikasi penyertaan dalam hukum pidana (KUHP) terbagi menjadi dua, yakni pembuat atau dader dan pembantu atau medeplichtigheid. Pembuat yang diatur dalam Pasal 55 KUHP masih terbagi menjadi empat, antara lain yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), yang turut serta (medepleger), dan yang menganjurkan melakukan (uitlokker). Di lain sisi, pembantuan yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 KUHP terbagi menjadi pembantu sebelum dan pada saat kejahatan dilakukan.

Penyertaan dalam Hukum Pidana: Yang melakukan (pleger)

Adapun yang dimaksud adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi seluruh unsur delik.

Penyertaan dalam Hukum Pidana: Yang menyuruh melakukan (doenpleger)

Menyuruh melakukan adalah orang yang bermaksud melakukan suatu delik, tetapi menggunakan orang lain sebagai alat. Pihak dalam konsep doenpleger terbagi atas dua, yaitu pelaku langsung dan pelaku tidak langsung.

Pelaku langsung atau pihak yang disuruh (onmiddelijke dader; actor physicus; manus ministra) adalah alat yang digunakan doenpleger untuk memenuhi delik, sedangkan pelaku tidak langsung atau yang menyuruh (middelijke dader; actor intelectualis; manus domina) adalah doenpleger itu sendiri.

Syarat untuk dapat dikategorikan sebagai manus ministra, antara lain:

  1. Alat yang dipakai adalah manusia,
  2. Alat tersebut berbuat,
  3. Kehendak bukan pada dirinya, melainkan pada manus domina,
  4. Alat hanya melaksanakan kehendak manus domina, dan
  5. Alat tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Manus ministra tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana diatur pada Pasal 44, Pasal 48, dan Pasal 51 ayat (2) KUHP juga delik putatif. Hal ini juga berangkat dari asas afwezigheid van alle materiele wederrechttelijkeheid. Tidak dipidananya golongan orang demikian disebabkan oleh dua kondisi, yakni sama sekali tidak melakukan tindak pidana atau melakukan tindak pidana, tetapi terdapat alasan penghapus pidana

Bagi orang yang tidak melakukan tindak pidana atau melakukan tindakan yang tidak dikualifisir sebagai tindak pidana, maka demi hukum orang tersebut tidak dapat dipidana. Sebagai contoh adalah perawat yang diminta untuk menyuntik cairan oleh dokter, ternyata cairan tersebut adalah racun atau misal A menyuruh B mencairkan deposito, tetapi ternyata deposit tersebut palsu. Terhadap perawat tersebut dan B, tindakan mereka bukan tindak pidana.

Di lain sisi, meskipun manus ministra melakukan tindak pidana, terdapat alasan penghapus pidana sehingga menggugurkan kewajiban bertanggung jawab. Sebagai contoh adalah orang gila yang disuruh untuk menusuk kyai. Kegilaan menjadi salah satu alasan penghapus pidana bagi manus ministra. Adapun kondisi penghapus pidana lainnya adalah adanya daya paksa atau menjalankan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi manus ministra tersebut beritikad baik bahwa itu adalah sah.

Penyertaan dalam Hukum Pidana: Yang turut serta (medepleger)

Turut serta merupakan orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan sesuatu yang dilarang undan-undang, baik perbuatan atau akibat tertentu. Kondisi-kondisi yang disebut turut serta, antara lain mereka semua memenuhi delik, salah satu memenuhi delik, atau masing-masing memenuhi sebagian rumusan delik.

Lebih lanjut, syarat-syarat disebut turut serta adalah kerja sama secara sadar, pelaksanaan dilakukan secara fisik, dan adanya tujuan bersama. Dalam turut serta, tidak diperlukan adanya kesepakatan untuk bekerja sama, melainkan hanya perlu kesengajaan untuk bekerja sama.

Perihal kesadaran tindak pidana dalam kerja sama, dapat timbul saat melakukan. Adapun pelaksanaan yang dimaksud adalah perbuatan pelaksanaan, sedangkan secara fisik ditafsirkan bahwa semua pelaku memiliki peran dan bergerak untuk terselesaikannya delik.

Berkaitan dengan unsur di atas, Hoge Raad Arrest pada 17-10-1981 menyatakan bahwa kehadiran fisik tidak diharuskan lagi selama yang bersangkutan memiliki inisiatif bersama untuk mewujudkan delik. Selain itu, Putusan Mahkamah Agung Nomor 525 K/Pid/1990 memberi kaidah mengeni syarat turut serta, antara lain minimal terdapat dua orang pelaku, yaitu pleger dan medepleger, kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, dan kesemuanya melakukan tindakan yang termasuk dalam anasir delik tersebut.

Pemidanaan pada medepleger adalah tiap pelaku diancam dengan pidana yang sama, tetapi apabila ada peserta yang melewati kesengajaan maka perbuatan dan sanksi menjadi tanggung jawabnya sendiri. Turut serta pada delik jabatan terbagi atas dua pendapat, yaitu pendapat klasik yang menyatakan medepleger harus memenuhi kualitas yang diisyaratkan, sedangkan pendapat modern tidak mensyaratkan demkian.

Penyertaan dalam Hukum Pidana: Yang menganjurkan melakukan (uitlokker)

Penganjur merupakan orang yang membujuk atau menganjurkan orang lain untuk melakukan tindak pidana menggunakan sarana-sarana yang ditentukan limitatif oleh undang-undang. Syarat disebut sebagai uitlokker, antara lain:

  1. Terdapat kesengajaan membujuk orang lain melakukan tindak pidana,
  2. Upaya pembujukan sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, yaitu memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan/martabat, memberi keterangan tertentu, kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan tertentu, atau memberi sarana tertentu,
  3. Kehendak pelaku langsung timbul dari anjuran tersebut, dan
  4. Pelaku langsung melakukan tindakan yang dikehendaki penganjur.

Penganjur dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakannya, tetapi hanya sebatas perbuatan yang dianjurkan berikut akibat dari perbuatan tersebut. Apabila dalam melakukan tindak pidana pelaku langsung melakukan tindakan melebihi anjuran, maka terhadap uitlokker tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atasnya. Akibat yang dimaksud adalah akibat objektif yang timbul atas perbuatan tersebut.

Atas terjadinya akibat, penganjur juga tidak diharuskan untuk mengetahui akibat lain yang mungkin timbul dari perbuatan tersebut. Apabila perbuatan memang secara objektif menimbulkan akibat lain yang tidak diduga-duga, maka uitlokker tetap dapat diminta untuk bertanggung jawab (corak kesengajaan dolus eventualis).

Pembantuan (medeplichtigheid)

Pembantuan juga masuk dalam ruang lingkup penyertaan yang mana harus dilakukan dengan sengaja. Menurut Pasal 56 KUHP, pembantuan terbagi menjadi dua, yaitu sebelum dan saat tindak pidana dilakukan. Adapun pembantuan setelah tindak pidana dilakukan dimuat dalam Pasal 221, 223, 480, 481, 482, dan 483 KUHP.

Ancaman pidana bagi pelaku pembantuan adalah sepertiga dari ancaman pidana pokok, meskipun dalam beberapa undang-undang di luar KUHP pembantuan diancam dengan pidana yang sama. Pembantuan bersifat accesoir sebab harus ada yang dibantu. Terhadap pelaku pembantuan, hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang sengaja dipermudah beserta akibat yang muncul, baik yang sudah atau belum diprediksi.

Perbedaan Jenis-Jenis Penyertaan

Pada praktiknya, kerap kali ditemukan kebingungan antara satu jenis penyertaan dan lainnya yang memiliki konsep serupa. Berikut diuraikan perbedaan masing-masing jenis penyertaan yang serupa.

PasalIntisari
Pasal 53 ayat (1) KUHPSyarat percobaan adalah adanya niat, terdapat permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya delik bukan karena kehendak pelaku.
Pasal 53 ayat (2) KUHPPidana bagi pelaku percobaan adalah sepertiga dari ancaman pidana pokoknya. Hal ini disebabkan tingkat bahaya yang ditimbulkan berbeda dengan tindak pidana yang selesai.
Pasal 53 ayat (3) KUHPApabila ancaman pidana pokoknya adalah pidana mati atau seumur hidup, maka pidana maksimal percobaannya adalah lima belas tahun.
Pasal 53 ayat (4) KUHPPidana tambahan (yang diatur dalam Pasal 10 KUHP) bagi percobaan adalah sama dengan tindak pidana yang selesai.
Pasal 54 KUHPPercobaan atas pelanggaran tidak dipidana. Hal ini karena tidak dimungkinkan adanya percobaan bagi pelanggaran.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.