Hukum BisnisOpiniPerdata

Pemutusan Kontrak Sepihak: Ulasan Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018

Heksa Archie Putra Nugraha
1680
×

Pemutusan Kontrak Sepihak: Ulasan Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018

Sebarkan artikel ini
Pemutusan Kontrak Sepihak
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Sebelum membahas mengenai pemutusan kontrak sepihak, perlu kita pahami terlebih dahulu apa itu kontrak.

Kontrak atau perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih mengenai hal tertentu yang disetujui oleh mereka. Kontrak dapat berupa lisan atau tertulis, dan dapat dibuat untuk berbagai tujuan, seperti jual beli, sewa menyewa, kerja sama, dan sebagainya.

Menurut hukum perdata Indonesia, kontrak harus memenuhi empat syarat agar dapat dianggap sah, yaitu:

  1. Kesepakatan para pihak. Kedua belah pihak harus setuju untuk membuat kontrak.
  2. Kecakapan para pihak. Kedua belah pihak harus memiliki kapasitas untuk membuat kontrak.
  3. Hal tertentu yang dapat ditentukan secara jelas. Kontrak harus mengatur mengenai hal tertentu yang jelas dan dapat diidentifikasi.
  4. Sebab/causa yang diperbolehkan secara hukum. Sebab/causa dari kontrak harus diperbolehkan secara hukum.

Terkait dengan pemutusan kontrak secara sepihak telah terdapat Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018 yang menjadi titik tumpu baru bagi hakim dalam memutus perkara pemutusan kontrak secara sepihak. Berbagai putusan sebelumnya menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebab bertentangan dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUHPerdata”). Lantas bagaimana penerapan norma tersebut?

Istilah “Pembatalan” vs “Pemutusan”

Pada prinsipnya, Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018 memuat norma mengenai pemutusan kontrak sepihak. Hal ini disebabkan pemutusan tersebut dilandasi oleh adanya wanprestasi. Untuk diketahui, terdapat perbedaan yang mendasar mengenai pembatalan dan pemutusan kontrak.

Pembatalan kontrak berarti terdapat salah satu syarat sah perjanjian yang tidak dipenuhi, sedangkan pemutusan kontrak berarti salah satu pihak wanprestasi.

Kalimat “…ontbindende voorwaarde…” pada Pasal 1266 KUHPerdata lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘syarat putus’. Inkonsistensi istilah ini dapat dilihat pada beberapa putusan, seperti Putusan Nomor 704 K/Sip/1972 yang menggunakan istilah pembatalan, sedangkan Putusan Nomor 1001 K/Sip/1972 menggunakan istilah putus.

Pro-Kontra Pemutusan Kontrak Sepihak

Pemutusan kontrak sepihak telah digunakan dalam praktik sejak lama, tetapi dipandang salah secara normatif. Pendapat yang kontrak mendasarkan pada ketentuan dalam KUHPerdata yang melarang pemutusan kontrak sepihak, antara lain Pasal 1266 ayat (2), Pasal 1267, dan Pasal 1338 ayat (2).

Apabila ditafsirkan secara a contrario, maka menurut Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata, segala bentuk pemutusan kontrak harus melalui pengadilan. Norma tersebut bersifat dwingend sebab memuat kata ‘harus’ di dalamnya. Selain itu, ratio legis dari norma tersebut adalah menghindari kesewenang-wenangan kreditur dalam memutus kontrak.

Pendapat yang menolak pemutusan kontrak sepihak juga mendasarkan pada beberapa putusan, antara lain Putusan Nomor 1051 K/Pdt/2014, Putusan Nomor 28 K/Pdt/2016, dan Putusan Nomor 5 K/Pdt/2016. Ambil contoh pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 1051 K/Pdt/2014, yakni:

“Bahwa perbuatan Tergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang dibuatnya dengan Penggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak.”

Di lain sisi, pendapat yang menerima pemutusan kontrak sepihak mendasarkan pada letak Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata dalam Buku III KUHPerdata yang sifatnya aanvullend sehingga dapat disimpangi. Selain itu, apabila para pihak sudah sepakat mengenai pemutusan kontrak sepihak, maka berdasarkan prinsip freedom of contract, harus dianggap mengikat.

Lebih lanjut, pengenyampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata merupakan ‘syarat yang biasa diperjanjikan’ (bestandig geberuikelijkbeding) sehingga harus dianggap mengikat. Bahkan, Pasal 265 ayat (1) Buku 6 Nieuw Nederland Burgerlijk Wetbook (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda) sudah mengakomodir pemutusan kontrak sepihak.

Terbitnya Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018

Di tengah ketidakpastian mengenai pemutusan kontrak sepihak, Mahkamah Agung menerbitkan norma baru melalui Yurisprudensi Nomor 4/Pdt/2018 yang mengatur bahwa pemutusan kontrak sepihak merupakan perbuatan melawan hukum. Hal ini disebabkan sejak 2014, Mahkamah Agung konsisten menerapkan sikap hukum tesebut. Selain itu tentu juga diharapkan terhadap perkara-perkara serupa, hakim mengambil sikap hukum yang sama.

Akan tetapi, harapan tersebut pupus ketika hakim pada Putusan Nomor 5 K/Pdt/2018 menyatakan pemutusan perjanjian tidak termasuk perbuatan melawan hukum karena telah dilakukan langkah-langkah yang perlu. Adapun pertimbangannya adalah sebagai berikut:

“Bahwa sebelum Tergugat Konvensi melakukan pemutusan kontrak …, Tergugat Konvensi telah berupaya mengatasi kendala-kendala di lapangan dan lagipula Tergugat telah melakukan teguran-teguran terhadap Penggugat Konvensi, akan tetapi Penggugat Konvensi tidak dapat melaksanakannya …, dengan demikian Tergugat Konvensi tidaklah dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam melakukan pemutusan kontrak tersebut.”

Keabsahan Pemutusan Kontrak Sepihak

Pada dasarnya, Indonesia bukanlah negara yang menganut common law system sehingga seyogyanya yurisprudensi hanya digunakan sebagai panduan oleh hakim dalam memutus perkara. Selain itu, apabila menggunakan studi komparatif, sudah banyak ketentuan kontrak internasional yang mengadopsi pemutusan kontrak sepihak. Adapun pemutusan kontrak sepihak dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang ada.

Syarat dalam memutuskan kontrak sepihak mengerucut menjadi empat, antara lain salah satu pihak melakukan wanprestasi, wanprestasi tersebut harus serius, para pihak telah mengatur secara positif hak untuk melakukan pemutusan kontrak sepihak, dan terdapat pemberitahuan kepada pihak yang wanprestasi bahwa kreditur memilih untuk memutuskan kontrak sepihak. Mengenai tingkat keseriusan wanprestasi kiranya dapat dinilai menggunakan kacamata asas proporsionaltas dan doktrin kesalahan fundamental.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

hukum perdata di Indonesia
Perdata

Pelajari segala hal tentang hukum perdata di Indonesia: sejarah, struktur, prinsip utama, reformasi, tantangan, kasus penting, serta pengaruh hukum adat dan hukum Islam. Dapatkan penjelasan mendetail dan lengkap di sini