Literasi Hukum – Artikel ini membahas tentang subjek-subjek hukum dalam hukum internasional, khususnya tentang dua jenis subjek hukum internasional, yaitu state actor dan non-state actor. Selain itu, artikel ini juga menjelaskan delapan subyek hukum internasional, antara lain Negara, Tahta Suci, Organisasi Internasional, Palang Merah Internasional, Kaum Pemberontak, Individu, Perusahaan Multinasional/Transnasional, dan Organisasi non-pemerintah. Artikel ini didukung oleh beberapa sumber yang diambil dari buku-buku terkait hukum internasional.
Dalam hukum internasional, terdapat subjek-subjek hukum yang merupakan pemilik atau pemegang hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum adalah pihak-pihak yang segala aktivitas atau tindakannya diatur sedemikian rupa sehingga memiliki wewenang dalam melakukan aktivitasnya berdasarkan hukum positif yang ada (Kusumaatmadja & Agoes, 2010, hal. 95). Sementara itu, menurut Martin Dixon, subjek hukum internasional adalah badan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan hak dan kewajiban di bawah hukum internasional (Sefriani, 2011, hal. 102). Dari pengertian subjek hukum internasional tersebut, dapat dijelaskan bahwa subyek hukum internasional ini mewakili pihak dan aktor sebagai pelaku aktivitas dalam hukum internasional.
Dalam hukum internasional, terdapat dua jenis subjek hukum internasional, yaitu state actor dan non-state actor. Kedua jenis subjek hukum ini memiliki perbedaan dalam kemampuan hukumnya, di mana ada yang memiliki kemampuan hukum penuh (full legal capacity) dan kemampuan hukum terbatas (limited legal capacity). Terdapat delapan subyek hukum internasional, yaitu Negara (States), Tahta Suci (Vatican/The Holy Emperor), Organisasi Internasional (International Organizations), Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross), Kaum Pemberontak (Belligerents; Insurgents), Individu (Individual), Perusahaan Multinasional (Multinational Corporation) / Perusahaan Transnasional (Transnational Corporation), dan Organisasi non-pemerintah (non-governmental organizations). Ini dijelaskan dalam buku Kusumaatmadja & R.Agoes, 2010, hal. 95-112.
Berikut ini penjelasan masing-masing subjek hukum internasional:
1. Negara
Subjek hukum internasional pertama adalah negara. Negara memiliki kemampuan hukum penuh (full legal capacity) sebagai subjek hukum internasional (Parthiana, 2002, hal. 18). Sejarah mengenal negara sebagai subjek hukum internasional dapat ditemukan pada zaman India kuno di mana terdapat hukum yang mengatur bangsa-bangsa. Pada masa tersebut, telah dilakukan pertukaran utusan raja dan pengaturan tentang cara perang serta perlindungan penduduk sipil (Kusumaatmadja & Agoes, 2010, hal. 26).
Hall’s International Law pada tahun 1880 dan Konvensi Montevideo mengenai Hak dan Kewajiban Negara pada tahun 1933 juga menjadi landasan dalam pembentukan negara sebagai subjek hukum internasional, di mana hukum internasional mengatur hubungan atau relasi antar negara-negara yang secara sukarela menjadi subjek dalam hubungan tersebut. Ciri khas dari negara adalah memiliki kekuasaan politik yang tetap, memiliki wilayah, serta terbebas dari aturan negara lain/pihak luar.
2. Tahta Suci (Vatikan / Kaisar Suci)
Subjek hukum internasional kedua adalah Tahta Suci (Vatikan / Kaisar Suci). Sejarah mengenal Tahta Suci sebagai subjek hukum internasional bermula pada zaman Romawi, di mana terdapat perbedaan kepemimpinan antara kerajaan dan Gereja. Pada masa tersebut, seorang kaisar memimpin kerajaan, sedangkan Paus memimpin Gereja dengan wewenang yang melebihi kekuasaan seorang Kaisar (Kusumaatmadja & Agoes, 2003, hal. 100). Pada tahun 1870, Tahta Suci diambil alih secara paksa oleh Italia, yang mengakibatkan terjadinya konflik. Namun, konflik tersebut berakhir dengan dibuatnya Perjanjian Lateran pada tanggal 11 Februari 1929, di mana tahta suci mendapatkan kembali tanah di Roma dan memungkinkan berdirinya negara Vatikan, sehingga Vatikan diakui sebagai subjek hukum internasional (Kusumaatmadja & Agoes, 2003).
Baca Juga: Eksistensi Drone menurut Hukum Internasional dan Indonesia
3. Subjek Hukum Organisasi Internasional (International Organizations)
Subjek hukum ketiga adalah Organisasi Internasional (International Organizations). Organisasi Internasional dianggap sebagai subjek hukum internasional setelah terjadinya pembunuhan Pangeran Bernadotte dari Swedia di Israel pada tahun 1958 ketika ia sedang menjalankan tugas sebagai anggota komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Kusumaatmadja & Agoes, 2003, hal. 102). Setelah kejadian tersebut, PBB mengajukan Advisory Opinion (AO) kepada Mahkamah Internasional, yang menjelaskan bahwa ketika agen PBB mengalami cidera atau luka, maka negara bertanggung jawab atas hal tersebut. AO tersebut membuat PBB dianggap sebagai subjek hukum internasional.
4. Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross)
Subjek hukum keempat adalah Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross), yang dianggap sebagai subjek hukum karena adanya perang antara pasukan Austria dan Prancis yang dipelopori oleh seorang warga Swiss bernama Henry Dunant pada tanggal 24 Juni 1859. Saat itu, Dunant sedang melintasi daerah Solferino dan menyaksikan langsung perang tersebut selama 16 jam. Banyak korban jiwa yang berjatuhan, mencapai sekitar 40.000 orang terluka dan bahkan meninggal, namun tidak ada bantuan medis atau tim kesehatan pada saat itu.
Dunant kemudian mengajak penduduk sekitar daerah tersebut untuk merawat para korban, dan memberikan perawatan yang sama secara adil antara kedua belah pihak perang. Setelah kembali ke Swiss, Dunant menerbitkan pengalamannya dalam sebuah buku tentang kenangan di Solferino, di mana ia membuat dua permohonan serius: pertama, didirikannya sebuah himpunan untuk bantuan kemanusiaan pada masa damai, dan kedua, para relawan membantu tim medis dan diberikan pengakuan serta perlindungan dalam perjanjian internasional. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, ICRC membutuhkan pengakuan atas status hukumnya dan diakui oleh masyarakat internasional. Status dan pengakuan ini sangat penting bagi ICRC karena wilayah kerjanya tersebar di seluruh dunia. (ICRC, 2005)
5. Kaum pembrontak (belligerentsatauinsurgents)
Kelompok pemberontak atau yang biasa disebut BelligerentsatauInsurgents adalah salah satu subjek hukum internasional. Mereka muncul ketika terjadi konflik atau pertentangan di dalam suatu negara. Kemunculan Belligerents terkait dengan diakui dan diterapkannya Hukum Humaniter Internasional. Hukum ini bertujuan untuk mengawasi kegiatan para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata, agar hak-hak dasar setiap anggota pihak yang berkonflik tetap terjamin.
Dalam Konvensi Jenewa 1949, pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa setiap hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, seperti penyanderaan, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, dan hukuman mati tanpa pengadilan terlebih dahulu, dilarang dilakukan terhadap siapapun. Oleh karena itu, setiap kali terjadi konflik bersenjata di suatu negara, Belligerents secara otomatis terbentuk dan Hukum Humaniter Internasional berlaku.
Hukum Humaniter Internasional, juga dikenal dengan sebutan Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, memiliki sejarah yang sama dengan peradaban manusia pada masanya, dan berkaitan erat dengan perang itu sendiri.
6. Individu
Individu merupakan subjek hukum internasional yang terpisah dari subjek negara. Awal mula pengakuan terhadap individu dalam hukum internasional dimulai saat perang dunia I melalui perjanjian Versailles pada tahun 1919. Individu juga memiliki hak untuk mengajukan masalah negaranya ke Mahkamah Internasional, seperti yang dilakukan oleh sekelompok penjahat perang pada perang dunia II yang diadili di Tokyo Tribunal dan Nuremberg. Melalui kedua peradilan tersebut, Jerman dan Jepang dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan oleh individu dalam kedua negara tersebut, termasuk kejahatan terhadap perdamaian, hukum perang, dan perikemanusiaan.
Pengakuan terhadap individu dalam subjek hukum internasional juga terdapat dalam keputusan Mahkamah Internasional Permanen, seperti dalam kasus pegawai kereta api di Danzig, serta keputusan organisasi regional dan internasional, seperti PBB, ILO, dan masyarakat Eropa. Dalam perkara tersebut, individu memiliki hak untuk diakui secara signifikan dalam hukum internasional dan peradilan internasional.
Referensi
- Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar Maju, Bandung, 2002
- Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003