Opini

Dilema Ambisi Otonomi Daerah : Ragam Teks Hukum dalam Konstitusi dan Potret Realitas

Redaksi Literasi Hukum
918
×

Dilema Ambisi Otonomi Daerah : Ragam Teks Hukum dalam Konstitusi dan Potret Realitas

Sebarkan artikel ini
otonomi daerah
Ilustrasi gambar oleh penulis.

Literasi Hukum – Perjalanan panjang dan semangat terhadap penegakan otonomi yang seluas-luasnya merupakan cita-cita tertinggi demi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, serta upaya menjaga dan merawat keharmonisan dalam hubungan pusat dan daerah, konsep unity in diversity yang diusung dari era awal berdirinya Negara Repubik Indonesia sudah se-yogyanya dimaknai secara esensial dan prinsipil. Melalui upaya membongkar teks hukum dalam muatan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia—sebelum dan sesudah perubahan, dapat dilihat terdapatnya perubahan yang mendasar terhadap teks yang tentunya memberikan dampak terhadap pemaknaan Otonomi Daerah di Indonesia.

Sebagaimana Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebelum perubahan menyebutkan: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Dan, selanjutnya Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia setelah perubahan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur oleh undang-undang.”

Ragam kontekstual, dalam teks yang tercantum dalam muatan pasal UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan, agaknya memiliki signifikasi perbedaan. Terlihat dalam bunyi pasal tersebut adanya penghapusan terhadap diksi ‘hak asal-usul’ yang sesungguhnya hal tersebut bersifat sangat mendasar, dan wajib dijamin oleh pemerintah pusat kepada daerah dalam wujud desentralisasi ataupun otonomi yang seluas-luasnya. Sehingga, melalui hal tersebut adalah jaminan bagi daerah-daerah untuk menunaikan pelbagai agenda dan kegiatan yang mencerminkan karakeristik daerah yang bersifat istimewa—lalu dijamin oleh konstitusi.

Sekalipun terdapat setelahnya, dalam Pasal 18B UUD 1945 ayat (1): “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Dan ayat (2): Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Namun, sulit dipungkiri bahwa dalam perjalanannya masih terdapat potret yang sangat menyimpang dari pelaksanaan konsesnsus yang tertuang dalam konstitusi sebagai norma dasar tersebut. 

Penegakan Otonomi Daerah dan Keadilan Bagi Masyarakat Hukum Adat

Setidaknya, ada tiga masalah pokok yang berkaitan terhadap masyarakat hukum adat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Komisioner Komnas HAM Hariansyah: (1) Konflik Agraria, (2) Pengakuan Masyarakat Adat oleh Negara, (3) Perlindungan bagi pembela HAM. Masalah berikutnya sebagaimana yang ia sebutkan adalah bagaimana Negara dalam hal ini pemerintah pusat mengakui masyarakat adat sebagai masyarakat komunal, bukan individual. Potret yang kerap terjadi malah sebaliknya, pemerintah pusat malahan membagikan sertifikasi penguasaan terhadap tanah yang bersifat individual dan sama sekali tidak mencerminkan terhadap agenda reformasi, yakni reforma agraria.

Dalam konteks membongkar teks hukum dengan menggunakan pendekatan teori dekonstruksi, adalah sebuah tantangan untuk melihat totalitas makna secara prinsipil dan luwes, yang juga diistilahkan sebagai pengetahuan yang terlembagakan –order of things, ke dalam satu sistem tunggal dan koheren. Terkait prinsip otonomi daerah yang ada di Indonesia, melalui teori dekonstruksinya, J. Derrida seorang filsuf Perancis menekankan terhadap tiga poin yang menjadi akar dan patokan dalam melakukan dekonstruksi, yakni: (1) dekonstruksi terjadi secara terus menerus dan mengalami perubahan; (2) dekonstruksi ada pada sistem-sitem yang hidup, begitupun dalam sebuah bahasa dan teks; (3) dekonstruksi harus didasari melalui subyek interpretasi, yang dalam hal ini bahwa dekonstruksi bukan hanya sebuah kata, alat atau teknik pada suatu kerja setelah fakta tanpa mempertimbangkan subyek interpretasi tersebut.

Mengingat otonomi sebagai sebuah prinsip yang diyakini sebagai sebuah prinsip yang diterangkan oleh Derrida pada poin kedua. Bahwa, dalam tujuan mencapai amanat otonomi yang dituangkan kedalam peraturan perundang-undangan perlu diadakannya dekonstruksi, apakah sesuai dengan semangat filosofisnya dan tidak bergeser dari cita-cita serta visi awalnya. Sehingga, dekonstruksi merupakan perkakas yang tepat dalam menjalankan prinsip desentralisasi serta teks yang tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945 sebelum dan setelah perubahan.

Melalui wacana yang sempat diusung oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada akhir tahun 2022 lalu, mengembalikan UUD 1945 kepada naskah asli atau sebelum perubahan adalah salah satu cara untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana amanat Pancasila. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, keadilan sosial terasa sulit untuk diwujudkan karena oligarki mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan Negara. Tepat pada perubahan atau amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2022 telah membuka keran penguasaan dan dominasi oleh segelintir orang terhadap penguasaan kekayaan Negara. Persoalan mengenai sumber daya alam daerah yang terkuras, hingga kemiskinan struktural dan indeks kemandirian fiskal yang cenderung sukar untuk diingkari bahwa selama ini sangat jauh dari pelaksanaan terhadap kemandirian itu sendiri. Sehingga hal tersebut memberikan dampak yang sangat berarti dalam perjalanan pelaksanaan otonomi daerah hingga saat ini.

Kendati sudah bertahun-tahun pelaksanaan terhadap Otonomi Daerah, namun masih terdapat banyaknya kesenjangan dan perdebatan politik. Dikarenakan produk hukum terhadap Otonomi Daerah masih menyimpan berbagai permasaahan dan juga dipengaruhi oleh politik praktis, belum sepenuhnya terdapat telaah yang bersifat kritis lagi mendalam terhadap peran pusat dalam pemenuhan hak-hak daerah; seperti kemandirian terhadap penguasaan hasil kekayaan bumi dan daerah, menempatkan dan memerhatikan kekhasan masing-masing daerah sebagai salah satu ‘roh’ dalam pembahasan perubahan Pasal 18 misalnya. Yang kemudian bahkan dalam UUD 1945 pun tidak menyebutkan daerah-daerah mana saja yang khas dan diberikan status khusus atau istimewa tersebut, jika memandang konteks dan muatan yang terdapat dalam konstitusi.

*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.