Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai konsep kemampuan bertanggung jawab dalam hukum pidana, meliputi alasan pembenar, pemaaf, daya paksa, pembelaan terpaksa, dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Konsep Kemampuan Bertanggung Jawab dalam Hukum Pidana
Hukum pidana sebagai salah satu instrumen rekayasa sosial mengatur bahwa terhadap siapa yang melakukan tindak pidana maka harus mempertanggungjawabkannya. Hal demikian merupakan implementasi dari aliran dualisme. Namun demikian, tetap harus dipertimbangkan apakah pelaku dapat dimintai untuk bertanggung jawab secara pidana atau yang dikenal sebagai kemampuan bertanggung jawab.
Kemampuan bertanggung jawab secara pidana merupakan kondisi batin orang yang normal dan sehat untuk mampu menentukan niat sebelum melakukan suatu perbuatan, mengetahui apakah perbuatannya baik atau tidak, dan mengetahui apakah menurut masyarakat perbuatannya patut atau tidak. Faktor untuk menentukan apakah seseorang dapat bertanggung jawab adalah akal dan kehendak. Akal berarti mampu membedakan perbuatan yang baik dan tidak, sedangkan kehendak adalah kesesuaian antara apa yang menurut akal pelaku baik dan tidak dengan tingkah lakunya.
Dalam beberapa kasus, kendatipun aspek actus reus terpenuhi, pelaku tidak dapat diminta bertanggung jawab sebab tidak mampu. Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut “KUHP”) mengatur kondisi apa saja yang tidak mampu bertanggung jawab, antara lain jiwanya cacat (retardansi mental) dan jiwanya terganggu karena penyakit. Lebih lanjut, pikun juga termasuk ruang lingkup pada Pasal 44 KUHP. Kondisi tersebut akan ditentukan hakim melalui bantuan ahli sehingga sifat putusan adalah deskriptif-normatif.
Alasan Penghapus Pidana
Ketidakmampuan bertanggung jawab secara pidana selalu berkaitan erat dengan alasan penghapus pidana yang terbagi atas alasan pembenar dan alasan pemaaf. Di lain sisi, dikena pula alasan penghapus penuntutan yang menjadi dasar bagi Penuntut Umum untuk menghentikan proses penuntutan. Alasan penghapus penuntutan berkaitan dengan asas utilitas dan dominis litis yang dimiliki kejaksaan.
Alasan pembenar atau fait justificatief merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum suatu tindak pidana, antara lain dalam Pasal 44 ayat (1), Pasal 50, dan Pasal 51 ayat (1) KUHP. Di lain sisi, alasan pemaaf atau fait d’excuse adalah alasan yang menghapuskan unsur kesalahan, misalnya dalam Pasal 44 dan Pasal 48 KUHP. Kedua alasan tersebut akan diperiksa dan menjadi dasar hakim dalam menjatuhkan putusan.
Daya Paksa
Selain alasan-alasan di atas, juga dikenal daya paksa atau overmacht yang diatur dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa merupakan setiap kekuatan, paksaan atau tekanan yang tidak ditahan. Daya paksa terbagi atas dua, yaitu vis absoluta dan vis compulsiva. Vis absoluta merupakan tekanan fisik yang tidak dapat ditahan korban, seperti seorang pegawai yang ditodong pistol untuk mengambil uang dari dalam kasir.
Di lain sisi, vis compulsiva atau daya paksa relatif merupakan tekanan fisik yang masih dapat dihindari, tetapi secara psikis tidak dapat melakukan perlawanan. Tekanan yang dimaksud dapat berupa ancaman bagi diri sendiri atau bagi orang sekitar. Berdasarka sumber paksaan, vis compulsiva dibagi menjadi dua, yaitu daya paksa relatif dalam arti sempit yang bersumber dari orang lain dan daya paksa relatif dalam arti sempit yang bersumber dari keadaan darurat.
Mengenai jenis keadaan darurat yang dimaksud di atas, masih terbagi kembali menjadi tiga, antara lain:
Perbenturan antara dua kepentingan hukum
Sebagai contoh adalah tenggelamnya suatu kapal. Kapal XYZ tenggelam di tengah laut dan badan kapal hancur. A menemukan papan kayu yang mengapung dan menggunakannya. Di lain sisi, B mencoba untuk meraih papan kayu tersebut padahal hanya dapat digunakan oleh satu orang. Dalam kondisi ini, manakala A memilih untuk merebut papan kayu tersebut demi mendahulukan kepentingan hukumnya, yaitu bertahan hidup, maka tidak dapat dipidana.
Perbenturan antara dua kewajiban hukum
Sebagai contoh adalah hadirnya seseorang sebagai saksi. A merupakan saksi dalam kasus pembunuhan B yang disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. Di lain sisi, A juga saksi dalam kasus pencurian mobil C yang disidangkan di Pengadilan Negeri Medan. Sesuai dengan Pasal 224 ayat (1) KUHP, seseorang harus hadir sebagai saksi. Dalam kondisi ini, manakala A memilih untuk hadir di salah satu pengadilan untuk memenuhi kewajiban hukumnya, maka tidak dapat dipidana.
Perbenturan antara kepentingan dan kewajiban hukum
Sebagai contoh adalah pergantian sif dalam sebuah toko. A merupakan pegawai toko yang harus berjaga pada sif pagi, sedangkan B akan berjaga pada sif malam. Suatu waktu, tatkala A akan pulang, B menghubungi A untuk menggantikan dirinya sebab B harus mengantar istrinya melahirkan. Apabila dikaitkan dengan kewajiban hukum yang ada, maka A dapat saja pulang. Akan tetapi, karena ada kepentingan hukum B maka A melanggar kewajiban hukum tersebut dan membantu B.
Berdasarkan uraian di atas, maka tekanan pada daya paksa harus berasal dari ekstern pelaku. Hal ini sesuai dengan Putusan Hoge Raad pada 26 Juni 1916 yang berbunyi:
“… suatu tekanan yang datang dari hati sendiri yang telah mendorong dirinya untuk melakukan sesuatu, yang semata-mata didasarkan pada pendapat diri sendiri mengenai nilai-nilai kepatutan dan kemasyarakatan dari lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan, menurut undang-undang, bukanlah suatu overmacht.”
Menurut Prof Moeljatno, Prof Roeslan Saleh, dan Van Hattum, daya paksa merupakan alasan pemaaf. Di lain sisi, Jonkers menilai bahwa daya paksa pada Pasal 48 KUHP adalah alasan pembenar. Simons, pada sudut pandang yang mengetengahkan keduanya, berpendapat bahwa terhadap daya paksa merupakan alasan pemaaf, sedangkan keadaan darurat merupakan alasan pembenar.
Pembelaan Terpaksa
Selain daya paksa, dikenal pula pembelaan terpaksa atau noodweer yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Terhadap seseorang yang melakukan tindakan pembelaan terpaksa karena ada serangan atau ancaman serangan bagi dirinya maupun orang lain, baik badan, kehormatan kesusilaan, atau harta benda, maka tidak dipidana. Beberapa syarat untuk dapat diklasifikasikan sebagai noodweer, antara lain:
- Terdapat serangan atau ancaman serangan yang bersifat seketika, langsung mengancam, melawan hukum, sedang berlangsung, dan terhadap badan, kehormatan kesusilaan atau harta milik diri sendiri maupun orang lain.
- Tidak ada jalan lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan, dan
- Pembelaan yang dilakukan wajib seimbang dan seperlunya.
Dengan demikian, Pasal 49 ayat (1) KUHP tidak berlaku manakala serangan belum dimulai, syarat di atas tidak terpenuhi salah satu, atau bahkan serangan telah selesai. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof Moeljatno yang menyatakan bahwa pembelaan dimulai sejak dimulainya ancaman serangan hingga serangan selesai. Adapun perbedaan pembelaan terpaksa dan keadaan darurat adalah sebagai berikut.
Keadaan Darurat | Pembelaan Terpaksa |
---|---|
Tidak diperlukan serangan lebih dahulu | Mensyaratkan adanya serangan atau ancaman serangan |
Disesuaikan dengan kepentingan atau alasan tertentu | Sudah ditentukan secara limitatif oleh undang-undang |
Yang berhadap-hadapan adalah antar kepentingan hukum, antar kewajiban hukum, dan antara kewajiban dengan kepentingan hukum | Yang berhadap-hadapan adalah pihak yang berhak dan tidak berhak (pelaku pembelaan terpaksa mempertahankan badan, kehormatan kesusilaan atau harta milik diri sendiri maupun orang lain dari pihak yang tidak berhak atasnya) |
Sebagai alasan pemaaf | Sebagai alasan pembenar |
Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas
Selain pembelaan terpaksa, dikenal pula pembelaan terpaksa yang melampaui batas atau noodweer excess yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP. Manakala pembelaan yang melampaui batas dilakukan karena kegoncangan jiwa yang hebat akibat dari serangan tersebut, tidak dipidana. Noodweer excess merupakan alasan pemaaf.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas terjadi saat serangan balasan dilanjutkan bahkan ketika serangan awal telah selesai, tidak ada perimbangan dalam pembelaan, dan tidak ada perimbangan antara kepentingan yang mula-mula dilindungi dengan kepentingan lawan yang diserang kembali. Syarat-syarat agar suatu noodweer excess tidak dipidana, yaitu pelampauan batas merupakan bentuk pembelaan yang diperlukan, akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, dan ada hubungan kausal antara serangan dengan kegoncangan jiwa yang ditimbulkan.
Selain noodweer excess, dikenal pula pembelaan terpaksa putatif, yaitu perkiraan seseorang bahwa akan ada serangan atau mengira bahwa serangan tersebut melawan hukum padahal senyatanya tidak. Mudahnya, serangan tersebut hanya ada dalam bayang-bayangnya.
Di samping jenis-jenis alasan penghapus pidana yang dimuat dalam KUHP, diketahui juga terdapat tiga alasan penghapus pidana lain di luar undang-undang, antara lain:
Tuchtrecht
Hak untuk mengawasi dan mendidik yang melekat bagi guru, orang tua atau wali. Sebagai contoh manakala ibu mencubit kaki anak usia lima belas tahun yang tidak melaksanakan ibadah tidak dianggap penganiayaan sebab masih dalam batas wajar untuk mendidik anaknya.
Beroepsrecht
Hak jabatan para dokter/tenaga medis dalam melakukan tindakan medis. Sebagai contoh ketika dokter menyuntik pasien maka tidak dianggap sebagai penganiayaan sebab bertujuan untuk menyembuhkan dan sudah ada informed consent kepada pasien.
Toestemming
Hak untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh undang-undang. Sebagai contoh ketika ada pertandingan gulat. Selain aspek saling memukul bukanlah tindak pidana, tetapi pasca pertandingan selesai, maka para petarung tidak boleh membawa luka-luka yang ada sebagai dasar penyelidikan pidana dan dasar ganti rugi dalam hukum perdata. Contoh lain adalah tidak berlakunya Pasal 406 KUHP mengenai pengrusakan barang milik orang lain dalam upaya ketok magic.