Opini

Noodweer (Pembelaan Terpaksa): Antara Korban dan Tersangka dalam Hukum Indonesia

Suci Rizka Fadhilla
125
×

Noodweer (Pembelaan Terpaksa): Antara Korban dan Tersangka dalam Hukum Indonesia

Sebarkan artikel ini
Noodweer
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Kasus pembelaan diri (Noodweer) kembali menjadi sorotan di Indonesia. Artikel ini mengupas tuntas kontroversi penerapan hukum terkait pembelaan terpaksa, contoh kasus, dan regulasi yang mengatur. Apakah tindakan membela diri dari begal bisa dianggap pidana? Temukan jawabannya di sini.

Kasus Pembelaan Diri yang Menjadi Sorotan

Dewasa ini, perhatian netizen lagi-lagi menjurus pada kelabakan penerapan hukum di Indonesia. Kasus ini menarik perhatian publik yang menjadi hotline di beberapa kanal berita. Singkat kronologi, yakni ada seorang yang dicegat dan dibegal saat perjalanan lantas demi menyelamatkan nyawanya, korban menghujam perut si begal dengan senjata tajam yang dibawanya, naas pelaku terbunuh di tempat. Hal ini yang membuat korban menyandang status sebagai tersangka pembunuhan.

R. Susilo juga memberikan contoh terkait dengan pembelaan terpaksa ini, seperti seorang pencuri yang mengambil barang orang lain, lalu si pencuri menyerang orang yang memiliki barang tersebut dengan pisau belati, maka orang itu bisa melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang akan dicuri itu, sebab si pencuri telah menyerang dan melawan hak dan serangan itu harus tiba-tiba atau mengancam ketika itu juga. Namun, jika pencuri telah tertangkap maka orang tidak boleh membela dengan memukul pencuri itu, karena waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri baik terhadap barang maupun orangnya.

Lebih lanjut, akhirnya korban terjerat pidana dengan alasan telah membunuh begal yang mengancam dirinya. Lantas, apakah kita hanya diam saja melihat begal tersebut menyakiti fisik, mencuri barang, bahkan mengancam nyawa? Tak bisa disangkal, ini termasuk hal yang harus diperhatikan oleh penegak hukum lebih lanjut terkait dengan pembelaan dalam keadaan darurat.

Dapatkah Noodweer Menjadi Instrumen Penghapus Pidana?

Sejatinya, orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum, sedangkan noodweer telah memiliki legitimasi yang jelas terkait dengan aturan diperbolehkan melakukan hal demikian di hadapan hukum. Sejalan dengan hal itu, Van Hamel mengamini bahwa pembelaan terpaksa tidak dapat dipidana karena pembelaan terpaksa menurut undang-undang adalah suatu hak yang dasar hukumnya telah diatur dalam KUHP sehingga dijadikan sebagai pembelaan yang sah menurut hukum.

Seorang yang melakukan perbuatan pidana harusnya akan mendapatkan sanksi pidana, namun hal ini juga bergantung pada bagaimana perbuatan yang dilakukan tersebut terdapat suatu kesalahan. Jika terbukti bahwa suatu perbuatan tersebut adalah perbuatan yang mengandung kesalahan maka dipastikan itu tindak pidana. Akan tetapi, suatu tindak pidana dapat dihapus kesalahannya dengan adanya dua alasan, yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar. Salah satu dari alasan penghapus pidana karena adanya pembelaan terpaksa dari seseorang yang merasa terancam.

Payung Hukum Terkait dengan Pembelaan Terpaksa

Adapun regulasi yang mengatur terkait dengan pembelaan terpaksa, yaitu pada Pasal 49 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan pembelaan terpaksa tidak dapat dipidana. Sebab pertanggungjawabannya tidak dibebankan kepada korban yang akhirnya melakukan pembelaan terhadap keselamatan dirinya.

Lagipula, hak untuk hidup telah dijamin eksistensi dan perlindungan hukum yang termaktub dalam Pasal 28A sampai 28J Undang-Undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang pada pokoknya menjamin bahwa negara berhak memberikan pengakuan terhadap hak hidup setiap orang dan memiliki hak untuk mempertahankan hak hidup tersebut. Jadi, dapat dipastikan mempertahankan hak asasi individu selama masih dalam batas yang diperbolehkan hukum adalah hal yang wajar dilakukan semua orang.

Jika terdapat kasus korban yang pada akhirnya menyandang status tersangka, apakah sah menurut hukum? Tentu, jika hal ini terjadi dapat menjadi contoh nyata dari lemahnya integritas dan profesionalisme para penegak hukum di Indonesia dikarenakan tidak menjalankan tugas dan kewenangan sesuai dengan amanat perundang-undangan. Terlebih hal ini sudah termaktub dalam KUHP Nasional secara jelas dan rinci. Tentu menjadi jelaslah regulasi yang menjadi payung hukum atas tindakan pembelaan terpaksa. Dalam artian, jika ada seseorang yang menyakiti orang lain demi keselamatan dan keamanan diri pribadi, tidak dapat dipidana.

Negasi Nyata dari Putusan Pengadilan

Sayangnya, berbagai teori tersebut bersifat kontradiktif dengan Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor 372.Pid.B/PN.Pdg yang menjatuhkan putusan pidana penjara kepada orang yang awalnya menjadi korban penganiayaan yang pada akhirnya melakukan pembelaan diri sehingga mengakibatkan terjadinya pembunuhan kepada pelaku. Singkat kronologis, AF (pelaku) mengeluarkan golok yang akan dia layangkan kepada ES (korban) namun dengan sigap EP menusukkan pisau ke AF dengan niat untuk menolong ES dari serangan AF. Mirisnya, perkelahian tersebut diakhiri dengan kematian AF.

Pengadilan Negeri Padang sebagai tempat mengadili perkara menetapkan ES sebagai tersangka dalam kasus tersebut dengan hukuman dua tahun enam bulan. Hal ini tentu tidak sejalan dengan konsep dari pembelaan terpaksa itu sendiri, sebab ES melakukan hal tersebut untuk menghindari serangan dari EF terlebih dahulu yang dibantu oleh EP. Nyatanya, korban dijadikan tersangka dalam kasus ini.

Hakim memberikan pertimbangan bahwa dari sudut pandang peraturan perundangan Pasal 49 ayat (1) KUHP bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan pembelaan terpaksa, sebab berdasarkan syarat Pasal 49 ayat (1) KUHP terdapat ketentuan kategori pembelaan terpaksa sebagai berikut:

  1. Terdapat serangan mendadak.
  2. Serangan mendadak tersebut melawan hukum.
  3. Pembelaan terpaksa itu sebuah keharusan.
  4. Metode pembelaan merupakan pantas.

Jadi, serangan harus muncul seketika begitupun dengan pembalasan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang awalnya korban namun menjadi tersangka, belum sepenuhnya dapat dikatakan melakukan pembelaan terpaksa sebab ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa itu merupakan pembelaan terpaksa. Jika memenuhi beberapa syarat yang ditentukan, maka seseorang dapat dihapus pidananya dengan alasan pembenar, yaitu telah melakukan pembelaan terpaksa demi melindungi diri dari ancaman bahaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.