Literasi Hukum – Maternal Mortality Rate (MMR) mencerminkan kualitas kesehatan perempuan dan pembangunan manusia. Artikel ini membahas tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman, kaitannya dengan kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) akibat kekerasan seksual, serta pentingnya jaminan layanan aborsi aman untuk menurunkan MMR dan melindungi korban.
Mengenal Maternal Mortality Rate (MMR)
Maternal Mortality Rate (selanjutnya disebut MMR) atau Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi salah satu indikator dalam melihat kondisi kesehatan perempuan, serta menjadi komponen indeks pembangunan sekaligus indeks kualitas hidup. Menurunkan MMR juga dimuat dalam tujuan ke-5 Millenium Development Goals (MDGs), dengan upaya peningkatan kesehatan bagi ibu.[1] Upaya menurunkan MMR sesungguhnya penting bagi pembangunan Sumber Daya Manusia, melalui pembangunan kesehatan.[2] Data Kemeskes 2022 menunjukkan tingkat MMR di Indonesia adalah 183 per 100.000 kelahiran hidup. Juli 2023 lalu angkanya meningkat menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini tentu masih jauh dari target yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) dalam Sustainable Developments Goals (SDGs) yakni 70 per 100.000 kelahiran hidup.[3]
Salah satu bentuk penyumbang tingginya MMR adalah pada kasus-kasus tindak pidana perkosaan yang menyebabkan kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan berujung pada aborsi tidak aman.[4] Cara demikian merupakan cara paling populer dalam kasus-kasus KTD. WHO menyebutkan, terdapat 3 dari 10 kehamilan berakhir karena adanya tindakan aborsi. Antara 4,7% dan 13,2% dari kematian ibu berasal dari aborsi tidak aman tersebut.[5]
Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada Maret 2024 lalu memaparkan data, bahwa pada tahun 2023 pengaduan kasus kekerasan dengan bentuk kekerasan seksual adalah yang paling tinggi pengaduannya (34,80%) dengan diikuti oleh kekerasan psikis (28,50%), kekerasan fisik (27,20%) dan sebagainya.[6] Data Kementerian Sosial pada 2022 awal, jumlah perempuan hamil akibat perkosaan berjumlah 780 orang.[7] Pada Januari hingga Maret 2024 ini, bahkan sudah bisa ditemukan 12 kasus perkosaan yang mengakibatkan korban hamil.[8] Tingginya kasus demikian tentu sangat linear dengan tingginya tindakan aborsi tidak aman yang sangat rentan dilakukan oleh korban-korban perkosaan yang mengalami KTD.
Permasalahan Aborsi Tidak Aman
Masih melihat data dari WHO, disebutkan bahwa hampir seluruh tindakan aborsi tidak aman, ternyata terjadi di Negara berkembang.[9] Di Bumi Pertiwi ini, sepertinya sejalan dengan data tersebut, dimana penyediaan layanan aborsi aman bermutu masih menjadi masalah keadilan sosial. Di tahun-tahun sebelumnya, kejadian-kejadian memilukan ini pernah terjadi. Tahun 2021 lalu, seorang anak (inisial M) mengalami kehamilan di usia 12 tahun, akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang kakek berusia 56 tahun. Kondisi ekonomi M begitu sulit sehingga mengharuskannya membuat permohonan kepada Negara agar dapat diberi layanan aborsi yang aman. Namun, permohonan ini berujung ditolak oleh Polres Jombang, melainkan hanya diberi sembako seadanya.
Tahun 2018 silam juga terdapat kejadian serupa yang dialami oleh WA yang kala itu berusia 16 tahun. WA mulanya diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri yang berujung menyebabkan kehamilan. Akibat hal tersebut, ia harus mengalami kelahiran tidak aman, yang kemudian menjadikannya sebagai tersangka atas praktik aborsi. Melalui pengadilan negeri tingkat pertama, WA diputus 6 bulan penjara. Masih menjadi nasib baiknya, pengadilan tingkat banding WA kemudian diputus lepas karena alasan overmacht (daya paksa) sebagai korban kekerasan seksual.[10]
Segelintir kasus diatas tentu menjadi contoh, bahwa korban perkosaan masih jauh dari akses layanan aborsi aman. Terbatasnya akses tersebut, berisiko menyebabkan para wanita memutuskan untuk mengambil tindakan pada aborsi yang tidak aman. Dampaknya adalah munculnya masalah kesehatan, kematian, atau komplikasi jangka panjang yang merugikan kesejahteraan mental dan fisik, seperti infeksi, trauma pada vagina, rahim, atau organ perut, pendarahan, dan sebagainya.[11] Padahal, pelaksanaan aborsi aman penting bagi mereka yang membutuhkan terutama untuk menurunkan MMR. Untuk itu, untuk mempertegas pelaksanaannya, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana (dari UU Kesehatan) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
Mengenal Aborsi dan Aborsi
Aborsi merupakan proses pengguguran kandungan dengan mengeluarkan hasil konsepsi. Dalam dunia medis, dikenal dengan “abortus”. Pada korban perkosaan yang mengalami KTD, disebut dengan “abortus provocatus”, yang secara definisi berarti menggugurkan kandungan secara sengaja.[12] Nanda Dwinta, Direktur dari Yayasan Kesehatan Perempuan, mengemukakan bahwa dampak dari pemerkosaan sangat fatal bagi masa depan korban karena berpotensi merusak kesehatan fisik, mental, serta kehidupan sosial dan pendidikannya. Terutama pada kasus KTD, keadaan korban akan semakin diperparah. Pada akhirnya, korban yang saat itu berada pada sulit dan tidak stabil, cenderung memilih untuk melakukan tindakan aborsi yang tidak aman.[13]
Tindakan-tindakan tersebut umumnya dilakukan korban dengan cara meminum ramuan berbahaya serta melakukan pijat pada perut.[14] Kondisi demikian tentu miris sekali karena rentan menyebabkan sakit, komplikasi, bahkan meninggal dunia.[15] Pada dasarnya, keputusan untuk melanjutkan kehamilan atau melakukan aborsi merupakan hal yang sama-sama sulitnya untuk dilalui korban. Sebab, jika pun ia hendak mengeluarkan janin dari perutnya, maka yang kemudian akan dihadapi selanjutnya adalah beban moral, dan agama. Terlebih, hukum positif pada awalnya (dalam hal ini KUHP) juga siap menjerat pelaku-pelaku aborsi, tanpa terkecuali.[16] Maka dari itu, dibutuhkan kepastian hukum akan legalisasi dan layanan aborsi aman bermutu.
Jaminan Aborsi Aman Bermutu
Jaminan aborsi aman bermutu diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (PP Kespro).[17] Salah satu tujuan dari aturan ini adalah agar wanita mendapatkan hak kesehatan reproduksi melalui fasilitas dan pelayanan kesehatan yang aman bermutu. Menjamin kembali tata cara pelayanan aborsi aman bermutu, kemudian diterbitkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan. Atas aturan-aturan tersebut, selain mempertegas berkali-kali legalisasi akan aborsi bagi korban perkosaan, juga sekaligus melengkapi mekanisme-mekanisme pelayanan aborsi yang aman bermutu, berikut penjabarannya :
Pertama, aborsi hanya boleh dilakukan atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan bagi korban perkosaan dengan usia kehamilan paling lama 40 hari (Pasal 31 ayat (1) dan (2)). Kedua, tindakan aborsi harus didahului dengan konseling dan diakhiri dengan konseling pascatindakan (Pasal 37 ayat (1) dan (2)). Ketiga, konseling pratindakan dilakukan untuk tujuan menjajaki kebutuhan korban, memberikan penjelasan terkait mekanisme pratindakan, edukasi efek samping, membantu korban mengambil keputusan, serta menilai kesiapan korban (Pasal 37 ayat (3)). Keempat, konseling pascatindakan dilakukan untuk observasi keadaan korban setelah tindakan, edukasi akan keadaan fisik korban, menjelaskan perlunya kunjungan kembali, serta menjelaskan mengenai alat kontrasepsi (Pasal 37 ayat (4)). Konseling dilakukan oleh konselor, dan tindakan dilakukan oleh dokter yang berasal dari tim kelayakan aborsi yang mendapat sertifikasi pelatihan sesuai Permenkes 3/2016.
Dampak Legalisasi Aborsi Aman Bermutu
Para penyedia layanan konseling bagi KTD terbukti dapat mengeluarkan perempuan dari situasi yang enak saat memikul beban kehamilan mereka. Beberapa dari mereka bisa kembali melanjutkan pendidikan, meneruskan karir, serta berhenti dari trauma yang berkelanjutan akibat perkosaan. Dalam hal ini Rianto A. Syakur mengatakan bahwa konseling bagi korban perkosaan dapat menghantarkan kepada berbagai pilihan terbaik baginya sehingga turut mengurangi risiko pada kesehatan.[18]
Meskipun aborsi bagi korban perkosaan masih menjadi suatu hal yang sifatnya pro dan kontra, namun pada kenyataannya tindakan tersebut penting untuk dilegalkan. Yang paling penting untuk dilihat dalam peristiwa ini adalah, keselamatan mental korban penting untuk diperhatikan setelah ia mengalami kejadian buruk karena perkosaan. Komisi Nasional Perlindungan Perempuan pun mengatakan, bahwa tindakan aborsi dilakukan bertujuan untuk menghindari perlakuan tidak menyenangkan yang ditujukan pada korban yang justru akan mengakibatkan dampak psikologis bagi korban.[19] Maka dari itu, menjadi wajar apabila legalisasi aborsi dianggap dapat menjawab permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan bagi korban perkosaan, terutama dalam hal hendak menyelamatkan keadaan korban yang sedang terpuruk, agar ia dapat melanjutkan hidupnya kembali seperti sedia kala.
Referensi
[1] Sali Susiana, “ANGKA KEMATIAN IBU: FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENANGANANNYA,” n.d.
[2] Sekretariat Jenderal MPR RI, “Catatan Ketua MPR RI : Kematian Ibu-Bayi, Stunting Dan PPHN Pembangunan SDM,” mpr.go.id, accessed April 9, 2024, https://www.mpr.go.id/berita/Catatan-Ketua-MPR-RI-:-Kematian-Ibu-Bayi,-Stunting-dan-PPHN-Pembangunan-SDM.
[3] Liputan6.com, “Angka Kematian Ibu Masih Tinggi, Kenali Penyebab dan Faktor Risikonya,” liputan6.com, December 29, 2023, https://www.liputan6.com/health/read/5492994/angka-kematian-ibu-masih-tinggi-kenali-penyebab-dan-faktor-risikonya.
[4] “Siaran Pers,” Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, accessed April 19, 2024, https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-memperingati-hari-aborsi-aman-internasional-28-september-jakarta-29-september-2021.
[5] Kompas Cyber Media, “Dampak Aborsi yang Tidak Aman untuk Kesehatan,” KOMPAS.com, October 21, 2021, https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/21/121000323/dampak-aborsi-yang-tidak-aman-untuk-kesehatan.
[6] “Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2023” (KOMNAS PEREMPUAN, March 7, 2024).
[7] “Pasal pemerkosaan dan aborsi dihapus di RUU TPKS, muncul ancaman ‘kriminalisasi hingga kematian’ korban kekerasan seksual,” BBC News Indonesia, accessed April 19, 2024, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-60875819.
[8] Maidina Rahmawati, Girlie Ginting, and Maidina Rahmawati and Girlie Ginting, “Hari Menghapus Stigma Aborsi: Pentingnya Sediakan Layanan Aborsi Aman,” Magdalene.Co (blog), March 28, 2024, https://magdalene.co/story/hari-menghapus-stigma-aborsi/.
[9] Media, “Dampak Aborsi yang Tidak Aman untuk Kesehatan.”
[10] Maidina Rahmawati/Girlie L. A. Ginting, “Menyediakan Aborsi Aman di Indonesia,” hukumonline.com, accessed April 9, 2024, https://www.hukumonline.com/berita/a/menyediakan-aborsi-aman-di-indonesia-lt6604dd978b396/.
[11] Media, “Dampak Aborsi yang Tidak Aman untuk Kesehatan.”
[12] Cintyahapsari Lanthikartika, “DEKRIMINALISASI ABORSI (ABORTUS PROVOCATUS) OLEH KORBAN PERKOSAAN” 10, no. 2 (2022).
[13] Aditya Widya Putri, “Sangat Penting Mendapatkan Layanan Aborsi Aman,” tirto.id, March 2, 2019, https://tirto.id/sangat-penting-mendapatkan-layanan-aborsi-aman-dhMT.
[14] Ibnu Fadli, “Legalitas Aborsi Bagi Korban Perkosaan (Tinjauan Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam),” Jurnal Lex Renaissance 7, no. 3 (July 1, 2022): 559–70, https://doi.org/10.20885/JLR.vol7.iss3.art8.
[15] “Pasal pemerkosaan dan aborsi dihapus di RUU TPKS, muncul ancaman ‘kriminalisasi hingga kematian’ korban kekerasan seksual.”
[16] Yenny Fitri Z, “PROBLEMATIKA PELAKSANAAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN,” JCH (Jurnal Cendekia Hukum) 5, no. 1 (September 30, 2019): 160, https://doi.org/10.33760/jch.v5i1.205.
[17] Lanthikartika, “DEKRIMINALISASI ABORSI (ABORTUS PROVOCATUS) OLEH KORBAN PERKOSAAN.”
[18] Putri, “Sangat Penting Mendapatkan Layanan Aborsi Aman.”
[19] Fadli, Ibnu. “Legalitas Aborsi Bagi Korban Perkosaan (Tinjauan Menurut Hukum Positif Dan Hukum Islam).” Jurnal Lex Renaissance 7, no. 3 (2022): 559–570.