Administrasi Negara

Telaah Normatif Bentrokan Hak Asasi Manusia dengan Netralitas ASN dalam Kebebasan Hak Berbicara

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
207
×

Telaah Normatif Bentrokan Hak Asasi Manusia dengan Netralitas ASN dalam Kebebasan Hak Berbicara

Sebarkan artikel ini
Telaah Normatif Bentrokan Hak Asasi Manusia dengan Netralitas ASN dalam Kebebasan Hak Berbicara
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini membahas pentingnya netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Ditegaskan bahwa netralitas ASN adalah kunci dalam pelaksanaan pemilu yang adil dan tanpa intervensi, meski bertentangan dengan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Artikel ini mengeksplorasi benturan antara netralitas dan kebebasan bersuara ASN serta urgensi mempertahankan stabilitas demokrasi.

Rusaknya Demokrasi Tanpa Netralitas ASN

Demokrasi merupakan sistem yang dapat dikatakan sebagai sistem terburuk tetapi tidak ada sistem yang lebih baik darinya. Sistem yang ditawarkan demokrasi membuka peluang setiap orang untuk berpartisipasi, baik secara langsung maupun representatif. Penerapan demokrasi representatif dipengaruhi faktor bahwa penerapan demokrasi langsung tidak dapat dan tidak etis direalisasikan.[1] Oleh karena itu, diterapkanlah pemilu dan pilkada sebagai bentuk partisipasi sekaligus kontrol dari rakyat.

Sebagai pesta demokrasi, pelaksanaan pemilu dan pilkada menuntut adanya kesiapan negara sebagai penyelenggara pesta demokrasi tersebut. Lembaga negara independen seperti Komisi Pengawas Pemilu (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dikerahkan agar pesta demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu bentuk nyata persiapan negara adalah ketidakberpihakan negara yang dapat memengaruhi proses hingga hasil dalam pesta demokrasi tersebut. Tinta kelam intervensi negara pernah terjadi pada masa Orde Baru (Orba) yang kemudian mereduksi makna dari demokrasi itu sendiri.

Salah satu kaki tangan Orba dalam memengaruhi pesta demokrasi adalah keberpihakan ASN sesuai dengan arahan Pemerintah. ASN sebagai salah satu alat negara dikerahkan demi melanggengkan penguasa bersama dengan alat negara lainnya, seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tumbangnya Orba yang ditandai dengan masuknya era reformasi melahirkan perubahan secara masif terutama yang menyangkut netralitas alat negara tersebut. Negara mulai membenahi ASN agar ASN tidak lagi digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan keterlibatan ASN pada saat pesta demokrasi.

Benturan Netralitas ASN dengan Hak Asasi

Di antara indikator yang dapat menjadi tolak ukur ketidakterlibatan atau netralitas ASN adalah tidak terlibat politik praktis dan tidak memanfaatkan jabatan dan kewenangannya untuk memfasilitasi peserta pemilu maupun pilkada dengan fasilitas negara.[2] ASN sebagai alat negara wajib mengedepankan asas netralitas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) huruf d. Penerapan asas ini secara eksplisit bertentangan dengan kebebasan bersuara (freedom of speech) sebagai salah satu hak asasi manusia (HAM) karena membatasi ruang gerak ASN dalam berekspresi.

Jan Materson dari Komisi HAM PBB mendefinisikan HAM sebagai hak-hak yang melekat pada manusia yang diperlukan demi terjaminnya hidup sebagai manusia seutuhnya.[3] Salah satu hak yang dikandung dalam HAM adalah kebebasan berbicara (freedom of speech). Kebebasan ini lahir dari Hak Sosial Politik (Sipol) sebagaimana yang dinormakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Hak Sipol menghendaki adanya tindakan negatif dari negara karena terpenuhinya hak ini justru dari ketiadaan intervensi negara.[4]

Konstitusi Indonesia pada Pasal 28E ayat (3) juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Frasa “setiap orang” menandakan bahwa norma konstitusional ini mencakup setiap individu, bahkan ASN yang notabane penyelenggara negara. Perlu diketahui bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 mengenal konsep limitasi, yaitu kewenangan negara membatasi HAM dalam kondisi dan syarat tertentu.[5] Pembatasan HAM tersebut hanya dapat dilakukan dengan hukum nasional.

Menurut Soewoto kebebasan berkumpul dan berpendapat memang bersifat universal, tetapi implementasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tidak bersifat universal.[6] Sangat mungkin terdapat perbedaan, seperti adanya pembatasan hak-hak dasar tersebut. Pembatasan hak-hak dasar (hak asasi) dilakukan dengan menggunakan instrumen undang-undang sebagai bentuk penerapan dari asas legalitas sempit, yaitu wetmatigheid van bestuur.[7]

Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang, dalam kali ini adalah hak asasi, dapat dibenarkan. Hal ini juga diperkuat dengan kerelaan pegawai negeri menandatangai “Contract Suigeneris”. Dengan ditandatanganinya “Contract Suigeneris”, pegawai negeri yang memangku hubungan dinas publik tidak dapat melaksanakan hak-hak asasinya secara utuh. Ini merupakan implikasi dari diterapkannya teori “kontrak istimewa” yang menuntut adanya monoloyalitas.[8]

Harmonisasi HAM dengan Netralitas ASN

Jika dikomparasikan antara netralitas dengan kebebasan bersuara, maka urgensi netralitas ASN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mengedepankan kebebasan tersebut. Stabilitas negara akan terancam karena tanpa adanya netralitas ASN, penyelenggaraan pesta demokrasi akan terganggu karena akan dipengaruhi konflik kepentingan. Jika penyelenggaraan pesta demokrasi terganggu, maka suksesi kepemimpinan akan terdampak. Di samping itu, kebebasan bersuara juga sah secara hukum dilimitasi melalui undang-undang. Dengan memandang beberapa sisi tersebut, dapat ditarik benang konklusif bahwa mengedepankan netralitas dibandingkan kebebasan bersuara memiliki tingkat urgensi yang lebih tinggi.

 Sumber: 

[1]            Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2023), hlm. 370

 

[2]            Dairani & Fadlail (2023), “Konsep Pengaturan Netralitas ASN dalam Pemilu dan Pilkada Serentak Tahun 2024” dalam Lisan Al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, Vol. XVII, No. 2/2023, hlm. 253

[3]            Aswanto & W. Silahi, Perlindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Domestik dan Internasional (Depok: Rajawali Pers, 2021), hlm. 3.

[4]            Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional (Depok: Rajawali Pers, 2020, hlm. 163

[5]            Ibid, hlm. 58

[6]            Tedi Sudrajat & Agus Mulya Karsona (2016), “Menyoal Makna Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara” dalam Jurnal Media Hukum, Vol. XXIII, No. 1/2016, hlm. 89

[7]            Aditya et al., Hukum Administrasi Negara Kontemporer: Konsep, Teori, dan Penerapannya di Indonesia (Depok: Rajawali Pers, 2023), hlm. 34

[8]            Marbun & Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Admnistrasi Negara (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.