PidanaMateri Hukum

Asas Retroaktif V. Asas Legalitas: Pengertian dan Larangannya

Redaksi Literasi Hukum
1420
×

Asas Retroaktif V. Asas Legalitas: Pengertian dan Larangannya

Sebarkan artikel ini
Asas Retroaktif V. Asas Legalitas Pengertian dan Larangannya
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum – Pelajari apa itu asas retroaktif, bagaimana keberlakuan asa retroaktif, dan bagaimana secara panjang pengaturan mengenai asas retroaktif dalam hukum nasional Indonesia dan hukum internasional. Baca artikel berikut untuk memahami seluruh pertanyaan di atas.

Definisi Asas Retroaktif

Secara harfiah, asas retroaktif diartikan suatu asas hukum yang mengubah konsekuensi hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau status hukum fakta-fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum tersebut diberlakukan atau diundangkan. 

Di dalam bahasa latin, asas retroaktif disebut ex post facto yang mengandung arti “dari sesuatu yang dilakukan setelahnya”.  Black’s Law Dictionary mendefinisikan retroaktif sebagai  extending in scope or effect to matters that have occurred in the past.  Selanjutnya Black’s Law Dictionary menambahkan law“that looks backward or contemplates the past, affecting acts or facts that existed before the act came into effect.” While Congress often considers legislation that would apply retroactively, the Constitution imposes some limited constraints on such laws.  Sedangkan menurut Merriam-webster Dictionary, retroaktif diartikan extending in scope or effect to a prior time or to conditions that existed or originated in the past.  

Pengertian yang sama terkait asas retroaktif juga dapat dilihat dalam Cambridge Dictionary bahwa retroactive (of a law or other agreement) having effect from the time before the law or agreement was approved.   Berdasarkan beberapa pengertian di atas tersebut, dapat ditarik pengertian sederhana dari asas retroaktif yakni asas hukum yang memperbolehkan suatu aturan hukum berlaku secara surut atau ke belakang sebelum hukum tersebut berlaku.

Asas Retroaktif V. Asas Legalitas

Asas retroaktif sering dianggap sebagai lawan dari asas legalitas yang pada umumnya merupakan asas fundamental dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Ketentuan mengenai larangan retroaktif diatur secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa (1) Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. 

Di dalam istilah latin, asas legalitas disebut Nullum delictum, nulla poena, sine praevia, legi pounali  yang berarti tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Adapun asas legalitas ini di dalam perspektif negara hukum, merupakan asas yang fundamental dalam sebuah negara hukum yang demokratis. Bahkan, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengatur secara tegas bahwa asas retroaktif merupakan salah satu dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun sebagaimana halnya dengan hak untuk hidup (non derogable rights).

Sejarah Larangan Pemberlakuan Asas Retroaktif

Secara historis, pada awalnya larangan pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) di Indonesia diatur dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 yang berbunyi “De wet verbindt aleen voor het toekomende en heeft geen terug werkende kracht” (undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidaklah berlaku surut) dan kemudian Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUHP). Selanjutnya larangan pemberlakuan hukum secara retroaktif juga diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS 1950  yang berbunyi “tiada seorang diutjapkan boleh dituntut untuk dihukum atau didjatuhi hukuman, ketjuali karena suatu aturan hukum jang sudah ada dan berlaku terhadapnja”. Ketentuan yang sama juga diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.

Pengaturan mengenai larangan hukum secara retroaktif juga diatur dalam berbagai ketentuan internasional. Roma Statute of the International Criminal Court 1998 misalnya,  di dalam Article 22 (Noellum Crimen Sine Lege) International Criminal Court secara tegas menolak pengaturan mengenai asas retroaktif, dimana “A person shall not be criminally responsible under this statute unless the conduct in question constitute, at the time it takes place, a crime within the jurisdiction of the court”. 

Ketentuan lain diatur dalam Article 23; “A person convicted by the court may be punished only in accordance with this Statute”

Article 24 (Non Retroactivity ratione personae); “No person shall be criminally responsible under this statute for conduct prior to the entry into force of the statute”. 

Article 7 of the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols juga mengatur berkaitan dengan larangan retroaktif, disebutkan No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence under national or international law at the time when it was committed. 

Article 15 International Covenant on Civil and Political Rights juga menjelaskan bahwa:

No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the offence, provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby.

Article 11 paragraph (2) United Nations Universal Declaration of Human Rights juga mengatur mengenai larangan retroaktif, dimana No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time the penal offence was committed. Bahkan, Article 9 (Freedom from Ex Post Facto Laws) American Convention on Human Rights juga mengatur hal yang sama, yakni:

No one shall be convicted of any act or omission that did not constitute a criminal offence, under the applicable law, at the time it was committed. A heavier penalty shall not be imposed than the one that was applicable at the time the criminal offence was committed. If subsequent to the commission of the offence the law provides for the imposition of a lighter punishment, the guilty person shall benefit there from.

Apabila ditelusuri sejarahnya lebih jauh, diberlakukannya asas legalitas (Principle of Legality) sebagai lawan dari asas retroaktif ini sebetulnya merupakan pengaruh dari Bill of Rights of Virginia tahun 1776 di Amerika Serikat. Di dalam Bill of Rights ini hanya ditentukan bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan oleh peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Sehingga, asas ini dipandang dapat memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan yang dilakukan secara sewenang-wenang dari penguasa terhadap seseorang. 

Menurut Moeljanto, spirit dari Bill of Rights ini dibawa oleh Jenderal Lafayette ke Perancis melalui Pasal 8 Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi: “Tidak ada orang dapat dipidana selain atas kekuatan Undang-undang yang sudah ada sebelumnya” dan dimasukkan ke dalam Pasal 4 Code Penal Perancis dibawah Pemerintahan Napoleon dan selanjutnya diadopsi oleh Belanda melalui Wetboek van Straftrecht dan kemudian masuk secara konkordansi melalui Pasal 1 ayat 1 KUHPidana lndonesia.  

Tulisan ini merupakan cupilkan dari buku:

Zaka Firma Aditya, Asas retroaktif putusan Mahkamah Konstitusi dalam teori dan praktik, (Jakarta: RajaGrafindo, 2020).

Jika Sahabat Literasi ingin membaca secara lengkap, dapat membeli buku tersebut melalui link berikut:

Link Pembelian Buku

Referensi:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Penuntutan Asas Oportunitas Asas Legalitas
Pidana

Pelajari seluk beluk penuntutan dalam hukum pidana Indonesia. Temukan definisi lengkap, ruang lingkup, dan perbedaan antara asas legalitas dan oportunitas yang menjadi landasan penuntutan. Pahami bagaimana penuntutan berkontribusi dalam sistem peradilan pidana.