Literasi Hukum – Membedah konsep Hak Asasi Manusia (HAM) melalui perspektif Teori Kontrak Sosial. Artikel ini mengeksplorasi kritik terhadap paradigma tanggung jawab negara dan implikasinya terhadap keadilan sosial.
Isu Permasalahan
Hak Asasi Manusia (HAM) dapat dikatakan banyak mengandung sisi kontroversinya bergantung pada sudut pandang apa yang akan digunakan dan paradigma apa yang menjadi titik tolak. Isu kontroversi tersebut tidak akan habis diulas sejak mencuatnya ide konseptual mengenai HAM itu sendiri hingga dewasa ini. Penulis pun menyadari bahwa bergulat dengan isu yang telah lama diperdebatkan tersebut hanya sedikit membawa kesegaran dalam ruang diskursif. Namun di sisi lain, penulis mendapati bahwa semangat yang terkandung dalam konsepsi HAM itu sendiri harus selalu dibakar dan tidak boleh padam.
Isu-isu konseptual HAM harus selalu diperdebatkan agar esensi konseptualnya sendiri dapat menempati posisi terajegnya. Seperti halnya objek disiplin ilmu pada umumnya, konsep HAM memang harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Tujuan utamanya tidak lain adalah agar dinamika pengetahuan itu sendiri tidak mengalami stagnasi. Akan sangat mungkin ide-ide baru yang membawa kesegaran akan lahir dari gesekan perdebatan sehat dalam ruang diskursif seperti itu.
Di antara isu kontroversi tersebut adalah peletakan kewajiban hanya kepada negara. Di mata HAM, hanya negara yang diposisikan sebagai pemangku kewajiban dalam penegakan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Penulis tidak sepenuhnya menolak paradigma tersebut. Namun, konsekuensi dari paradigma tersebut berdasarkan hemat penulis memiliki celah yang dapat dimanfaatkan dan justru mencederai HAM itu sendiri.
Sebagai contoh, jika ada warga negara yang merampas hak hidup orang lain maka tidak dapat disebut pelanggaran HAM karena bukan perangkat negara yang melakukannya. Di sisi lain, warga negara yang melanggar tersebut tetap harus ditegakkan HAM-nya dan negara diharamkan merampas HAMdengan mencabut hak hidupnya. Argumen yang dibangung oleh HAM demi menjawab isu tersebut adalah bahwasanya negara terbentuk karena kehendak manusia atau warga negara demi melindungi HAM mereka. Sangatlah tidak logis jika negara sebagai eksistensi yang diciptakan melindungi HAM malah mencabut HAM tersebut.
Penulis mencoba untuk memotret hal tersebut dari sudut yang berbeda, yaitu dari sudut Teori Kontrak Sosial sebagai dasar berdirinya negara. Penulis juga mencoba mengintegrasikan perspektif Hukum Kontrak karena penulis melihat bahwa Teori Kontrak Sosial juga pada dasarnya adalah kontrak atau kesepakatan. Keduanya sama-sama melahirkan hak dan kewajiban yang lahir dari kontrak atau kesepakatan tersebut. Perbedaannya terletak, dan tidak terbatas hanya, pada ruang lingkup pihak yang terikat. Berdasarkan Teori Kontrak Sosial seluruh warga negara mengikatkan diri pada perjanjian pembentukan dan pemberian kuasa kepada negara. Namun, berdasarkan Hukum Kontrak, hanya terjadi ikatan dalam lingkup yang jauh lebih kecil dibandingkan Teori Kontrak Sosial.
Kontrak Sosial sebagai Dasar Berdirinya Negara
Dasar berdirinya suatu negara diwarnai dengan teori yang beragam coraknya, sangat bergantung kepada siapa yang merumuskan atau mencetuskan teori tersebut. Teori yang terkenal di antaranya adalah Teori Kontrak Sosial yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes. Hobbes membangun argumennya dengan gambaran manusia yang merupakan ancaman potensial dan saling memusuhi. Oleh karena saling merasa tidak aman tersebut, manusia mengadakan perjanjian untuk membentuk negara tersebut. Dengan kata lain, perjanjian tersebut murni dibentuk antarindividu bukan antara individu dengan negara karena negara merupakan eksistensi yang terbentuk dari perjanjian tersebut (Magnis-Suseno, 2023, pp. 254-255).
Berbeda dengan Hobbes, basis argumen Locke dalam membangun teori serupa adalah manusia pada dasarnya sudah mengenal baik-buruk dan hubungan-hubungan sosial. Situasi tersebut berubah pasca penciptaan uang karena sebelum penciptaan uang perbedaan kekayaan antara manusia belum terlalu mencolok. Hadirnya uang membawa pemisahan jurang kekayaan sehingga melahirkan rasa iri dan permusuhan terutama pada perebutan tanah dan modal. Keadaan alamiah sebelum diciptakannya uang berubah menjadi keadaan perang (state of war) sehingga negara dibentuk demi menjamin milik pribadi (Magnis-Suseno, 2023, p. 274).
Argumen dasar bahwa negara dibentuk untuk melindungi hak pribadi warga negara berkembang sehingga mencakup kehidupan dan hak-hak kebebasan. Demi menjamin hal tersebut, negara diberikan kekuasaan dan wewenang oleh warga negaranya sekaligus dibatasi. Pembatasan kekuasaan negara tersebut dikonstruksikan ke dalam sebuah konstitusi yang menjadi prasyarat keabsahan negara modern. Dengan kata lain, kekuasaan dan wewenang negara sejatinya hanya sebatas yang didelegasikan atau diserahkan oleh warga negara. (Magnis-Suseno, 2023, pp. 275-277).
Teori Kontrak Sosial yang terkenal lainnya adalah yang dicetuskan oleh Jean Jacques Rousseau. Rousseau membangun argumennya dengan pandangan bahwa dalam kehendak atau kepentingan pribadi suatu individu terdapat kepentingan yang bersifat umum. Kepentingan umum seperti keadilan dan perdamaian inilah yang menjadi “pengikat” terbentuknya negara. Oleh karena negara lahir dari kepentingan umum atau kepentingan bersama tersebut, maka negara tidak lain adalah rakyat itu sendiri (Magnis-Suseno, 2023, pp. 300-303)
Konsep negara yang dibangun oleh Rousseau tidak memerlukan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak asasi tidak diberikan kepada rakyat. Rakyat diandaikan sudah meleburkan diri ke dalam negara sehingga setiap perbuatan negara merupakan kehendak dari rakyat itu sendiri. Jika terdapat kehendak minoritas, maka kehendak tersebut seharusnya tidak ada dan harus dinyatakan salah. Ini karena menurut Rousseau hanya boleh ada satu kehendak sebagai representasi dari rakyat atau negara itu sendiri (Magnis-Suseno, 2023) (Magnis-Suseno, 2023, pp. 306-309).
Konsep Hak Asasi Manusia dan Sisi Kritisnya
Hak Asasi Manusia atau HAM terbentuk dari kristalisasi berbagai sitem nilai dan filsafat manusia. Konsep HAM sendiri merupakan gagasan yang lahir dari teori hak kodrati, teori yang dikembangkan di antaranya oleh John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Dalam teori tersebut, HAM tidak lahir dari pengakuan negara melainkan melekat secara alamiah bagi setiap individu. Teori ini erat kaitannya dengan Teori Kontrak Sosial karena dalam kontrak sosial setiap individu menyerahkan haknya kepada negara (Riyadi, 2020, pp. 1-2).
Manusia merupakan eksistensi sentral dalam konsepsi HAM sehingga perlakuan yang merendahkan martabat dan kehidupan manusia tidak dapat dibenarkan. Negara sebagai eksistensi yang menerima penyerahan hak dari rakyatnya dibebankan kewajiban untuk melindungi, memenuhi dan menghormati hak asasi rakyatnya. Yang dimaksud negara dalam konteks ini adalah setiap orang yang diberi atribusi kewenangan untuk melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu atas nama negara. Sementara itu, warga negara diposisikan sebagai pemangku hak dan tidak dibebankan kewajiban kecuali kewajiban menghormati HAM orang lain (Riyadi, 2020, pp. 66-67).
Paradigma ini sebagaimana yang disinggung sebelumnya membawa implikasi serius terhadap pembedaan pembebanan tanggung jawab. Jika suatu pelanggaran HAM dilakukan oleh alat negara seperti tantara maka pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Namun jika dilakukan oleh individu lain sebagai warga negara biasa, maka hanya dikategorikan sebagai pelanggaran biasa atau pelanggaran pidana. Pelanggaran yang dilakukan warga negara tersebut tidak menjadi dasar yang melegitimasi negara untuk merampas HAM warga negara tersebut.
Dalam paradigma HAM, tanggung jawab atas kesalahan pelanggaran tidak sepenuhnya dibebankan kepada warga negara yang melannggar. Negara dalam hal ini turut serta mengemban tanggung jawab karena dianggap gagal mencegah terjadinya pelanggaran tersebut. Kewajiban melindungi sebagai tanggung jawab yang dibebankan kepada negara berimplikasi pada kewajiban mencegah terjadinya pelanggaran HAM termasuk yang dilakukan oleh warga negaranya. Oleh karena itu, negara tidak diperkenankan semena-mena menghukum pelanggar karena negara sendiri sejatinya juga sudah melanggar.
Opini Kritis Terhadap Isu HAM
Penulis agaknya kurang setuju dengan paradigma yang telah disinggung tersebut. Menurut hemat penulis ketika seorang warga negara melanggar HAM warga negara lain sejatinya warga negara tersebut melanggar kontrak sosial yang disepakati bersama. Orang tersebut jelas melanggar salah satu isi kontrak sosial yaitu perlindungan terhadap HAM. Jika melihat dari paradigma hukum kontrak, maka warga negara tersebut harus “membayar” hak yang telah dia langgar secara setimpal. Menurut hemat penulis, konsep pembalasan setimpal ini sudah tepat jika diberlakukan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Perbuatan wanprestasi tersebut jika dalam paradigma hukum kontrak melahirkan kewajiban memulihkan keadaan seperti semula dengan melakukan prestasi yang setimpal. Dengan paradigma tersebut, seseorang yang merugikan orang lain diwajibkan mengganti kerugian tersebut sehingga orang yang dirugikan tersebut kembali pada posisi semula. Tidak dibenarkan dalam paradigma ini orang yang melanggar tersebut tidak memenuhi atau mengembalikan kondisi seperti semula.
Hal ini seharusnya juga diberlakukan dalam lingkup yang lebih luas yaitu kontrak sosial karena terdapat titik ekuilibrium atau titik temu antara keduanya yaitu perjanjian. Perjanjian yang mengikat antara dua orang atau lebih sebagaimana yang telah dipaparkan di atas melahirkan implikasi kewajiban memenuhinya bagi setiap pihak yang mengikatkan diri. Pemahaman ini berbuntut pada kewajiban pemulihan yang dilakukan oleh pelanggar kepada seseorang yang dilanggar haknya.
Pemulihan kerugian ini dilakukan bergantung pada jenis kerugian yang ditimbulkan dan pihak yang terkait. Sebagai contoh jika seseorang melukai fisik orang lain maka dia diwajibka memulihkan luka tersebut agar terciptanya keadaan sebelum adanya perbuatan tersebut. Penulis melihat bahwa peran negara dalam hal ini seharusnya hanya sebatas pada pengawasan terhadap proses pemulihan tersebut. Penjatuhan pidana kepada pelaku tidak diperlukan lagi dilakukan negara karena negara sudah dinilai “gagal” mencegah pelanggaran tersebut terjadi. Oleh karenanya sebagai bentuk tanggung jawab negara, penulis berpendapat bahwa penekanan tanggung jawab negara sebatas pada pemulihan tersebut.
Berpijak pada pernyataan tersebut akan lahir pertanyaan lainnya, terutama mengenai perampasan hak hidup seseorang. Hak hidup seseorang pada asalnya memang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Namun jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, akan diketahui fakta bahwa setiap individu tidak dapat terlepas dari konstruksi sosial. Konstruksi sosial seperti hubungan kekeluargaan bahkan hingga hubungan kesukuan membawa sebuah perekat antarindividu. Hal ini berimbas pada tidak terpisahkannya seorang individu dengan lingkungan sosialnya.
Dengan pemahaman tersebut, maka pemenuhan hak hidup seseorang bergantung pada konstruksi sosial yang melekat pada suatu individu. Dirampasnya hak hidup seseorang tetap melahirkan kewajiban pemulihan yang harus ditunaikan oleh orang yang melanggar. Kewajiban pemulihan tersebut tidak dapat hanya sebatas penjatuhan sanksi pidana, melainkan dengan memulihkan lingkungan sosial yang ditinggalkan oleh individu yang dilanggar hak hidupnya tersebut.
Kondisinya akan sangat berbeda jika individu yang dirampas hak hidupnya tersebut hidup sebatang kara tanpa diketahui lingkungan sosialnya. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa negara dapat merampas balik hak hidup orang yang melanggar tersebut. Kewajiban pemulihan tidak dapat dilakukan lagi karena tidak ada lingkungan sosial yang merasa dirugikan dari kematian individu tersebut. Oleh karenanya, orang yang melanggar tersebut harus dirampas hak hidupnya demi terciptanya keadilan. Dalam hal ini, negara diposisikan sebagai eksekutor dan bukan hanya sebatas pengawas seperti sebelumnya.
Konklusi
Dari pembahasan di atas, penulis sebenarnya ingin menyampaikan sisi kritis yang sangat rentan dalam konsepsi HAM itu sendiri terutama pada apsek konsep pertanggungjawaban negara. Konsepsi HAM itu sendiri menurut penulis seakan mengabaikan adanya lingkungan sosial yang meliputi setiap individu sebagai konstruksi sosial. Konsep pertanggungjawaban negara sering kali dipisahkan dari konstruksi sosial sehingga mengabaikan hak-hak sosial yang melekat pada suatu individu. Dengan diintegralisasikan konstruksi sosial dalam konsepsi HAM, penulis rasa sisi rentan tersebut akan dapat ditutupi.
Daftar Pustaka
- Magnis-Suseno, F. (2023). Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Riyadi, E. (2020). Hukum Hak Asasi Manusa: Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional. Depok: Rajawali Pers.