Literasi Hukum – Dalam studi anti-korupsi, kemunculan rumus yang diperkenalkan oleh Robert Klitgaard, C=M+D−A, menandai sebuah perkembangan penting. Rumus ini—di mana Korupsi (C) setara dengan Monopoli (M) ditambah Diskresi (D) dikurangi Akuntabilitas (A)—bukan sekadar definisi, melainkan sebuah kerangka kerja analitis yang menggeser fokus dari kecaman moralistik semata ke arah diagnosis sistemik dan ekonomis.1 Kerangka ini menegaskan bahwa korupsi pada intinya adalah kegagalan sistem tata kelola, bukan hanya kelemahan moral individu.1 Korupsi dipandang sebagai masalah “penyesuaian kelembagaan” (institutional adjustment), di mana insentif dan alur informasi dalam institusi publik dan swasta tidak selaras.1 Perspektif ini sangat krusial karena menyiratkan bahwa korupsi dapat dikurangi secara sistematis dengan merancang ulang sistem tersebut.1
Landasan utama dari teori Klitgaard adalah pandangan bahwa korupsi merupakan “kejahatan kalkulasi, bukan hasrat” (crime of calculation, not passion).1 Seorang pejabat akan cenderung melakukan korupsi jika ekspektasi keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang diperkirakan—yaitu probabilitas tertangkap dikalikan dengan beratnya hukuman.5 Pandangan ekonomis ini menjadi dasar bahwa strategi anti-korupsi harus berupaya mengubah kalkulasi tersebut dengan meningkatkan risiko dan biaya, sekaligus mengurangi peluang yang ada.1
Klitgaard juga menekankan bahwa “korupsi adalah istilah dengan banyak makna,” dan kearifan dalam menanganinya dimulai dengan memilah dan menganalisis berbagai komponennya.1 Rumus itu sendiri adalah alat untuk dekomposisi ini, memecah masalah umum menjadi variabel-variabel spesifik (Monopoli, Diskresi, Akuntabilitas) yang dapat dianalisis dan ditangani secara terpisah. Untuk mengilustrasikan kompleksitas dan dampak korupsi, Klitgaard menggunakan analogi bahwa korupsi itu seperti AIDS.7 Analogi ini secara efektif mengomunikasikan beberapa aspek kunci: korupsi adalah masalah di setiap negara, bersifat menular, memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang mendalam, dan memerlukan respons multi-level yang lebih dari sekadar seruan moral. Hal ini mendorong pendekatan yang praktis dan berorientasi pada pemecahan masalah, bukan fatalisme.7
Dengan demikian, kekuatan sejati dari rumus Klitgaard terletak pada fungsi gandanya. Rumus ini berfungsi sebagai lensa diagnostik untuk menganalisis dan menunjukkan kerentanan sistemik spesifik yang memungkinkan terjadinya korupsi. Pada saat yang sama, ia juga menjadi kompas preskriptif yang secara langsung menunjuk pada arah reformasi kelembagaan yang diperlukan. Nilainya tidak terletak pada presisi matematisnya, tetapi pada kegunaan operasionalnya bagi para pembuat kebijakan untuk mengurangi monopoli, memperjelas diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas.1
Untuk memahami kedalaman rumus korupsi, penting untuk mengenal arsitek di baliknya. Robert Klitgaard adalah seorang University Professor di Claremont Graduate University (CGU), di mana ia sebelumnya menjabat sebagai Presiden dari tahun 2005 hingga 2009.10 Latar belakang akademisnya yang cemerlang mencakup posisi sebagai Dekan di Pardee RAND Graduate School, program doktoral terkemuka di Amerika Serikat dalam analisis kebijakan, serta memegang jabatan profesor di universitas elite seperti Yale dan Harvard.10 Ia meraih gelar A.B., M.P.P., dan Ph.D. dari Harvard University.11 Latar belakangnya yang kuat dalam ilmu ekonomi dan analisis kebijakan publik inilah yang secara langsung membentuk sifat analitis dan berbasis sistem dari rumus korupsi yang ia kembangkan.
Karya fundamentalnya, buku Controlling Corruption yang terbit pada tahun 1988, menjadi teks mani yang mempopulerkan rumus C=M+D−A dan turut meluncurkan gerakan anti-korupsi global.14 Buku ini tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk merancang kebijakan anti-korupsi, tetapi juga menyajikan studi kasus tentang bagaimana para pembuat kebijakan di berbagai negara berhasil menerapkannya dalam praktik.15 Karya-karyanya yang lain, seperti Tropical Gangsters (yang dinobatkan sebagai New York Times Book of the Century) dan Corrupt Cities, semakin mengukuhkan statusnya sebagai salah satu pakar terkemuka dunia di bidang ini.12
Pengaruh Klitgaard tidak terbatas pada dunia akademis. Perannya sebagai penasihat bagi pemerintah di lebih dari 30 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menunjukkan penerapan praktis dan jangkauan global dari gagasannya.12 Karyanya bukanlah teori murni, melainkan ditempa dari pengalaman lapangan, sebuah kualitas yang dipuji oleh rekan-rekannya seperti Dani Rodrik dari Harvard University.11
Jejak karier Klitgaard merefleksikan sebuah perjalanan dari teori akademis yang ketat menuju perangkat kebijakan yang dapat ditindaklanjuti. Rumus C=M+D−A adalah contoh klasik dari proses ini: sebuah distilasi dari prinsip-prinsip ekonomi dan tata kelola yang kompleks menjadi sebuah heuristik yang mudah diingat dan praktis. Rumus ini dirancang bukan untuk jurnal akademis, melainkan untuk para “pembuat kebijakan yang berani” (courageous policymakers) di garis depan reformasi kelembagaan.15 Otoritasnya tidak hanya berasal dari kredensial akademisnya, tetapi juga dari keterlibatannya selama puluhan tahun dalam menerapkan ide-ide ini secara global.
Variabel Monopoli (M) dalam rumus Klitgaard merujuk pada kontrol eksklusif atau “penguasaan tunggal” yang dimiliki oleh suatu organisasi atau individu atas barang, jasa, atau proses pengambilan keputusan.1 Ketiadaan kompetisi ini menciptakan situasi di mana warga negara atau pelaku usaha tidak memiliki alternatif lain. Kondisi ini memberikan kekuatan tawar yang sangat besar kepada sang monopolis untuk mengekstraksi keuntungan haram (illicit rents), seperti suap atau komisi ilegal (kickbacks).20
Di sektor publik, monopoli dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya, jika hanya satu lembaga atau pejabat yang memiliki wewenang penuh untuk memberikan kontrak, risiko korupsi meningkat drastis. Hal ini terlihat jelas dalam analisis kasus e-KTP, di mana proyek tersebut “dikuasai oleh pihak-pihak tertentu tanpa adanya persaingan yang sehat”.20 Demikian pula, seorang pejabat yang memegang monopoli atas penerbitan dokumen penting seperti izin usaha dapat dengan mudah menyalahgunakan posisinya untuk meminta suap.8 Di sektor penegakan hukum, “kekuasaan tanpa pengawasan” (unchecked power) yang dimiliki aparat, yang memonopoli penggunaan kekuatan dan paksaan hukum, dapat disalahgunakan untuk tujuan selain pemberantasan kejahatan.9
Sebagai respons strategis, rumus ini secara eksplisit menyarankan bahwa salah satu pilar utama pemberantasan korupsi adalah mengurangi atau mengatur monopoli secara ketat.1 Ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan persaingan, misalnya melalui desentralisasi atau privatisasi, atau dengan menerapkan mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang kuat di area di mana monopoli tidak dapat dihindari.20
Secara konseptual, monopoli bukan hanya salah satu dari tiga faktor, melainkan merupakan prasyarat struktural yang menciptakan peluang ekonomi untuk korupsi. Tanpa adanya monopoli, “penjual” jasa korup (pejabat) akan menghadapi tekanan pasar, dan “pembeli” (penyuap) dapat mencari alternatif yang tidak korup. Kekuatan monopoli mengubah layanan publik yang seharusnya menjadi hak warga negara menjadi komoditas pribadi yang dapat diekstraksi keuntungannya, sehingga menjadi panggung utama bagi penyalahgunaan diskresi.
Variabel Diskresi (D) adalah kewenangan atau “wewenang” yang dimiliki seorang pejabat untuk mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri.4 Diskresi merupakan komponen yang niscaya dalam administrasi publik, karena peraturan perundang-undangan tidak akan pernah mampu mengantisipasi setiap situasi spesifik yang mungkin terjadi. Dalam hukum administrasi, konsep ini dikenal sebagai freies ermessen, yang berfungsi sebagai pelengkap bagi asas legalitas.4
Namun, bahaya muncul ketika diskresi menjadi terlalu luas, tidak jelas, atau tanpa pengawasan. Kondisi ini menciptakan peluang besar untuk penyalahgunaan wewenang (penyalahgunaan wewenang). Contohnya, seorang pejabat dapat menggunakan kewenangannya untuk menunjuk pemenang tender yang telah memberinya suap, atau memanipulasi alokasi anggaran demi keuntungan pribadi.8 Dalam konteks hukum Indonesia, penyalahgunaan wewenang ini diakui dapat berimplikasi menjadi tindak pidana korupsi.4 Perlu dibedakan antara “diskresi bebas” (diskresi bebas), di mana pejabat dapat mengambil keputusan apa pun dalam batas yang sangat luas, dan “diskresi terikat” (diskresi terikat), di mana pejabat memilih dari beberapa alternatif yang telah ditentukan.4 Korupsi cenderung subur dalam lingkungan diskresi bebas.
Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan bukanlah menghilangkan diskresi sama sekali—yang justru akan melumpuhkan roda pemerintahan—melainkan “memperjelas” dan “membatasi” ruang lingkupnya.1 Ini dapat dicapai dengan menciptakan regulasi yang jelas, Prosedur Operasional Standar (SOP) yang transparan, dan memastikan bahwa setiap keputusan didasarkan pada kriteria objektif dan untuk kepentingan umum.4
Diskresi dan kepastian hukum memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Diskresi yang tinggi tumbuh subur di lingkungan dengan kepastian hukum yang rendah, seperti peraturan yang ambigu atau kompleks. Dengan demikian, strategi anti-korupsi yang diturunkan dari rumus ini adalah meningkatkan kepastian hukum. Hal ini tidak hanya berarti membuat lebih banyak peraturan, tetapi menciptakan aturan main yang lebih jelas, transparan, dan dapat diprediksi. Dengan begitu, “ruang gerak” bagi diskresi yang sewenang-wenang dan melayani kepentingan pribadi dapat dipersempit secara signifikan.
Variabel Akuntabilitas (A), atau “pertanggungjawaban,” adalah kewajiban untuk dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang dilakukan.8 Dalam rumus Klitgaard, akuntabilitas berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang utama. Ia adalah mekanisme yang memastikan bahwa mereka yang memiliki monopoli dan diskresi bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan tersebut. Akuntabilitas yang lemah membuat para pelaku merasa “aman” untuk melakukan korupsi.8
Mekanisme akuntabilitas mencakup beberapa elemen kunci. Pertama adalah transparansi, yaitu membuat informasi mengenai keputusan, proses, dan pengeluaran pemerintah tersedia dan mudah diakses oleh publik.1 Transparansi adalah prasyarat mutlak bagi akuntabilitas. Kedua adalah pengawasan, baik melalui kontrol internal yang kuat maupun audit eksternal oleh lembaga independen.20 Ketiga adalah partisipasi publik, yaitu melibatkan warga negara dalam mendiagnosis dan memantau sistem yang korup.1 Terakhir, dan yang paling penting, adalah adanya sanksi, yaitu probabilitas tertangkap yang tinggi dan hukuman yang berat bagi pemberi maupun penerima suap.1 Strategi “menggoreng beberapa ikan kakap” (frying a few big fish), terutama yang berasal dari partai penguasa, adalah cara ampuh untuk mengirim sinyal bahwa era impunitas telah berakhir.1
Resep kebijakan yang ditawarkan rumus ini sangat jelas: tingkatkan transparansi, perkuat pengawasan, dan naikkan probabilitas serta beratnya hukuman.1 Ini memerlukan kombinasi reformasi sistemik dan keterlibatan aktif dari masyarakat.
Dalam model “kejahatan kalkulasi” Klitgaard, akuntabilitas berfungsi sebagai mekanisme pemicu risiko. Kalkulasi koruptor adalah: Keuntungan > (Probabilitas Tertangkap x Hukuman).5 Variabel Monopoli dan Diskresi menentukan besarnya potensi
Keuntungan. Sementara itu, variabel Akuntabilitas secara langsung memengaruhi Probabilitas Tertangkap dan Hukuman yang akan diterima. Tanpa akuntabilitas, probabilitas tertangkap mendekati nol. Akibatnya, sisi risiko dari persamaan tersebut menjadi tidak berarti, tidak peduli seberapa berat ancaman hukuman yang tertulis di atas kertas. Oleh karena itu, meningkatkan akuntabilitas adalah cara paling langsung untuk memanipulasi analisis untung-rugi seorang calon koruptor, membuat risiko yang dipersepsikan jauh lebih besar daripada potensi imbalannya.
Meskipun sangat berpengaruh, rumus Klitgaard tidak luput dari kritik. Kritik utama, yang diartikulasikan secara tajam oleh Matthew Stephenson dari Harvard Law School, adalah bahwa membingkai hubungan ini sebagai sebuah “rumus” dapat dianggap “tidak akurat dan menyesatkan”.22 Alasannya, format rumus menyiratkan adanya sebuah hukum yang abadi dan linier, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks dan bergantung pada konteks.22
Kritik ini dapat diurai lebih lanjut untuk setiap variabel:
Pemahaman yang lebih canggih terhadap rumus Klitgaard adalah dengan melihatnya bukan sebagai algoritma matematis, melainkan sebagai heuristik yang kuat. Rumus ini secara tepat mengidentifikasi variabel-variabel paling kritis dalam sistem korupsi. Kritik-kritik yang ada tidak menyangkal pentingnya Monopoli, Diskresi, dan Akuntabilitas. Sebaliknya, kritik tersebut menambahkan lapisan kompleksitas yang krusial, menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel ini dengan korupsi bersifat non-linier dan sangat bergantung pada konteks. Rumus Klitgaard memberi tahu kita di mana harus mencari, tetapi kebijakan yang efektif memerlukan pemahaman yang bernuansa tentang bagaimana variabel-variabel ini berinteraksi dalam lingkungan kelembagaan yang spesifik.
Untuk memperkaya analisis, penting untuk membandingkan kerangka Klitgaard dengan teori berpengaruh lainnya, yaitu Teori GONE yang dikembangkan oleh Jack Bologna. Teori ini menyatakan bahwa korupsi terjadi sebagai fungsi dari Greed (Keserakahan), Opportunity (Peluang), Needs (Kebutuhan), dan Exposure (Pengungkapan).24
Komponen-komponen Teori GONE dapat diuraikan sebagai berikut:
Perbandingan antara kedua kerangka kerja ini menyoroti perbedaan fokus dan titik intervensi. Teori Klitgaard (C=M+D−A) berfokus pada level sistemik dan struktural, menganalisis karakteristik lingkungan tata kelola. Sebaliknya, Teori GONE berfokus pada level individu dan psikologis, menganalisis motivasi dan situasi yang dihadapi pelaku. Akibatnya, model Klitgaard mengarah pada solusi berupa reformasi kelembagaan (mengubah aturan dan sistem), sementara Teori GONE menunjuk pada intervensi di tingkat individu (pelatihan etika) dan organisasi (memperkuat kontrol untuk mengurangi peluang dan memperberat sanksi untuk meningkatkan pengungkapan).
Tabel 1: Analisis Perbandingan Teori Korupsi (Klitgaard vs. Bologna)
| Fitur | Robert Klitgaard (C=M+D-A) | Jack Bologna (GONE) |
| Fokus Utama | Sistemik / Struktural | Individual / Psikologis |
| Pendorong Utama | Monopoli, Diskresi | Keserakahan, Kebutuhan |
| Faktor Pemungkin | (Tersirat dalam M+D) | Peluang (Opportunity) |
| Faktor Mitigasi | Akuntabilitas (Accountability) | Pengungkapan (Exposure) |
| Akar Penyebab | Desain kelembagaan yang cacat; kejahatan kalkulasi rasional. | Kegagalan moral, tekanan situasional, kontrol yang lemah. |
| Solusi Utama | Reformasi kelembagaan: kurangi M, perjelas D, tingkatkan A. | Pendekatan ganda: perkuat kontrol (kurangi O), tingkatkan sanksi (tingkatkan E), pelatihan etika (atasi G). |
Kedua teori ini tidak hanya saling melengkapi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang mendalam. Teori Klitgaard memberikan penjelasan struktural untuk variabel-variabel dalam Teori GONE. Kondisi sistemik dari Monopoli (M) dan Diskresi (D) yang tinggi secara langsung menciptakan Peluang (Opportunity, O) bagi individu. Pada saat yang sama, ketiadaan Akuntabilitas (A) secara efektif menghilangkan risiko Pengungkapan (Exposure, E). Dengan demikian, untuk memberantas faktor-faktor pendorong di tingkat individu yang diidentifikasi oleh Bologna, langkah fundamental yang harus diambil adalah memperbaiki kelemahan sistemik yang diidentifikasi oleh Klitgaard.
Proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), yang dimulai pada tahun 2011 dengan anggaran sebesar Rp 5.9 triliun, berubah menjadi salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2.3 triliun, dan kasus ini menyeret banyak pejabat tinggi, anggota legislatif, serta pengusaha.27 Kasus ini menjadi contoh sempurna untuk dianalisis menggunakan kerangka kerja Klitgaard.
Penerapan rumus C=M+D−A pada kasus e-KTP menunjukkan:
Tabel 2: Penerapan Rumus Klitgaard pada Kasus Korupsi E-KTP
| Variabel Klitgaard | Manifestasi dalam Kasus E-KTP | Bukti Pendukung |
| Monopoli (M) | Tender proyek dikendalikan oleh konsorsium tertentu, menghilangkan persaingan yang sehat. Pemenang tender telah ditentukan sebelumnya. | 20 |
| Diskresi (D) | Pejabat tinggi memiliki kewenangan luas tanpa pengawasan untuk menentukan anggaran, spesifikasi teknis, dan pemenang proyek tanpa prosedur transparan. | 20 |
| Kurangnya Akuntabilitas (-A) | Kegagalan sistemik pengawasan internal dan eksternal (parlemen dan audit keuangan). Penganggaran dan kemajuan proyek tidak transparan, menghambat deteksi dini penipuan. | 20 |
Selama puncak pandemi COVID-19, Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara, terbukti menerima suap sebagai imbalan atas penunjukan perusahaan tertentu sebagai penyedia paket bantuan sosial (bansos). Ia terbukti menerima fee sebesar Rp 32.48 miliar dari para vendor.34 Kasus ini menyoroti kegagalan moral yang ekstrem di tengah krisis nasional dan merusak kepercayaan publik secara mendalam.36
Analisis dengan kerangka Klitgaard menunjukkan:
Perbandingan antara kasus e-KTP dan bansos menyingkapkan sebuah pola penting. Jika kasus e-KTP menunjukkan bagaimana rumus Klitgaard bekerja dalam kondisi birokrasi yang “normal,” kasus bansos menunjukkan bagaimana krisis nasional dapat menjadi penguat (amplifier) yang dahsyat bagi variabel-variabel korupsi. Urgensi pandemi memberikan pembenaran politik untuk memusatkan kekuasaan (meningkatkan M), memperluas wewenang eksekutif (meningkatkan D), dan menangguhkan prosedur pengawasan normal (mengurangi A). Hal ini menunjukkan bahwa rumus Klitgaard tidaklah statis; nilai variabel-variabelnya dapat berubah secara drastis dan cepat akibat guncangan eksternal, menjadikan periode krisis sebagai momen yang sangat rentan terhadap korupsi sistemik.
Berdasarkan diagnosis yang ditawarkan oleh rumus Klitgaard, langkah-langkah kebijakan untuk memberantas korupsi harus menargetkan pengurangan Monopoli dan pembatasan Diskresi.
Untuk Melawan Monopoli (M), beberapa strategi dapat diterapkan:
Untuk Memperjelas dan Membatasi Diskresi (D), intervensi berikut sangat penting:
Meningkatkan Akuntabilitas (A) adalah pilar ketiga dari strategi anti-korupsi yang komprehensif. Ini dapat dicapai melalui penguatan akuntabilitas institusional dan sosial.
Untuk Akuntabilitas Institusional, langkah-langkah yang diperlukan meliputi:
Untuk Akuntabilitas Publik dan Sosial, fokusnya adalah:
Tabel 3: Matriks Kebijakan untuk Melawan Korupsi Berdasarkan Rumus Klitgaard
| Variabel Klitgaard | Tujuan Kebijakan | Intervensi Spesifik (dengan contoh) | Referensi Pendukung |
| Monopoli (M) | Meningkatkan Persaingan & Pengawasan | Wajibkan e-procurement; perkuat wewenang KPPU; lakukan unbundling layanan publik. | 20 |
| Diskresi (D) | Meningkatkan Kepastian & Membatasi Kesewenang-wenangan | Kodifikasi AUPB dalam hukum; kembangkan dan publikasikan SOP yang jelas; perkuat Ombudsman dan PTUN. | 4 |
| Akuntabilitas (A) | Meningkatkan Transparansi & Risiko Pengungkapan | Berdayakan BPK dan APIP; implementasikan sistem e-government terintegrasi; lindungi whistleblower; dukung CSO seperti ICW. | 1 |
Analisis ini menegaskan bahwa rumus korupsi Robert Klitgaard, C=M+D−A, adalah perangkat yang sangat diperlukan untuk mendiagnosis akar sistemik korupsi. Penerapannya pada kasus-kasus besar di Indonesia, seperti skandal e-KTP dan korupsi bansos, secara gamblang menunjukkan bagaimana kombinasi dari monopoli yang tidak terkendali dan diskresi yang luas, yang dimungkinkan oleh kegagalan akuntabilitas yang katastrofik, menciptakan lahan subur bagi korupsi skala besar.
Namun, penting untuk mengakui bahwa rumus ini bukanlah solusi tunggal. Kritik yang diajukan oleh para ahli seperti Matthew Stephenson, serta perspektif komplementer dari Teori GONE Jack Bologna, menunjukkan bahwa strategi yang benar-benar holistik harus melampaui reformasi struktural semata. Ia juga harus menyentuh faktor-faktor di tingkat individu dan organisasi.
Oleh karena itu, pesan akhir dari laporan ini adalah seruan untuk sebuah strategi anti-korupsi yang terintegrasi. Strategi ini harus menggabungkan reformasi sistemik ala Klitgaard—yaitu merancang ulang institusi untuk mengubah kalkulasi untung-rugi para pelaku—dengan fokus pada budaya individu dan organisasi ala Bologna, yaitu memperkuat etika, mempromosikan integritas, serta mengurangi tekanan dan rasionalisasi yang mendorong individu untuk berbuat korup.53 Pada akhirnya, memerangi korupsi adalah sebuah proyek “penyesuaian kelembagaan” jangka panjang yang membutuhkan baik sistem yang lebih baik maupun orang-orang yang lebih baik untuk menjalankannya.1
memahami strategi pemberantasan korupsi di indonesia, diakses Juni 13, 2025, https://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/download/364/337
Platform kami menyediakan ruang bagi pandangan yang mendalam dan analisis konstruktif. Kirimkan naskah Anda dan berikan dampak melalui tulisan yang mencerahkan.
Tutup
Kirim Naskah Opini