Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Korupsi

Rumus Korupsi: 3 Kunci Terjadinya Korupsi

Redaksi Literasi Hukum
1414
×

Rumus Korupsi: 3 Kunci Terjadinya Korupsi

Sebarkan artikel ini
Rumus Korupsi Robert Klitgaard
Ilustrasi Gambar

Literasi Hukum – Dalam studi anti-korupsi, kemunculan rumus yang diperkenalkan oleh Robert Klitgaard, C=M+D−A, menandai sebuah perkembangan penting. Rumus ini—di mana Korupsi (C) setara dengan Monopoli (M) ditambah Diskresi (D) dikurangi Akuntabilitas (A)—bukan sekadar definisi, melainkan sebuah kerangka kerja analitis yang menggeser fokus dari kecaman moralistik semata ke arah diagnosis sistemik dan ekonomis.1 Kerangka ini menegaskan bahwa korupsi pada intinya adalah kegagalan sistem tata kelola, bukan hanya kelemahan moral individu.1 Korupsi dipandang sebagai masalah “penyesuaian kelembagaan” (institutional adjustment), di mana insentif dan alur informasi dalam institusi publik dan swasta tidak selaras.1 Perspektif ini sangat krusial karena menyiratkan bahwa korupsi dapat dikurangi secara sistematis dengan merancang ulang sistem tersebut.1

Landasan utama dari teori Klitgaard adalah pandangan bahwa korupsi merupakan “kejahatan kalkulasi, bukan hasrat” (crime of calculation, not passion).1 Seorang pejabat akan cenderung melakukan korupsi jika ekspektasi keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya yang diperkirakan—yaitu probabilitas tertangkap dikalikan dengan beratnya hukuman.5 Pandangan ekonomis ini menjadi dasar bahwa strategi anti-korupsi harus berupaya mengubah kalkulasi tersebut dengan meningkatkan risiko dan biaya, sekaligus mengurangi peluang yang ada.1

Klitgaard juga menekankan bahwa “korupsi adalah istilah dengan banyak makna,” dan kearifan dalam menanganinya dimulai dengan memilah dan menganalisis berbagai komponennya.1 Rumus itu sendiri adalah alat untuk dekomposisi ini, memecah masalah umum menjadi variabel-variabel spesifik (Monopoli, Diskresi, Akuntabilitas) yang dapat dianalisis dan ditangani secara terpisah. Untuk mengilustrasikan kompleksitas dan dampak korupsi, Klitgaard menggunakan analogi bahwa korupsi itu seperti AIDS.7 Analogi ini secara efektif mengomunikasikan beberapa aspek kunci: korupsi adalah masalah di setiap negara, bersifat menular, memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi yang mendalam, dan memerlukan respons multi-level yang lebih dari sekadar seruan moral. Hal ini mendorong pendekatan yang praktis dan berorientasi pada pemecahan masalah, bukan fatalisme.7

Dengan demikian, kekuatan sejati dari rumus Klitgaard terletak pada fungsi gandanya. Rumus ini berfungsi sebagai lensa diagnostik untuk menganalisis dan menunjukkan kerentanan sistemik spesifik yang memungkinkan terjadinya korupsi. Pada saat yang sama, ia juga menjadi kompas preskriptif yang secara langsung menunjuk pada arah reformasi kelembagaan yang diperlukan. Nilainya tidak terletak pada presisi matematisnya, tetapi pada kegunaan operasionalnya bagi para pembuat kebijakan untuk mengurangi monopoli, memperjelas diskresi, dan meningkatkan akuntabilitas.1

Siapa Robert Klitgaard? Profil Arsitek di Balik Rumus Korupsi

Untuk memahami kedalaman rumus korupsi, penting untuk mengenal arsitek di baliknya. Robert Klitgaard adalah seorang University Professor di Claremont Graduate University (CGU), di mana ia sebelumnya menjabat sebagai Presiden dari tahun 2005 hingga 2009.10 Latar belakang akademisnya yang cemerlang mencakup posisi sebagai Dekan di Pardee RAND Graduate School, program doktoral terkemuka di Amerika Serikat dalam analisis kebijakan, serta memegang jabatan profesor di universitas elite seperti Yale dan Harvard.10 Ia meraih gelar A.B., M.P.P., dan Ph.D. dari Harvard University.11 Latar belakangnya yang kuat dalam ilmu ekonomi dan analisis kebijakan publik inilah yang secara langsung membentuk sifat analitis dan berbasis sistem dari rumus korupsi yang ia kembangkan.

Karya fundamentalnya, buku Controlling Corruption yang terbit pada tahun 1988, menjadi teks mani yang mempopulerkan rumus C=M+D−A dan turut meluncurkan gerakan anti-korupsi global.14 Buku ini tidak hanya menyediakan kerangka kerja untuk merancang kebijakan anti-korupsi, tetapi juga menyajikan studi kasus tentang bagaimana para pembuat kebijakan di berbagai negara berhasil menerapkannya dalam praktik.15 Karya-karyanya yang lain, seperti Tropical Gangsters (yang dinobatkan sebagai New York Times Book of the Century) dan Corrupt Cities, semakin mengukuhkan statusnya sebagai salah satu pakar terkemuka dunia di bidang ini.12

Pengaruh Klitgaard tidak terbatas pada dunia akademis. Perannya sebagai penasihat bagi pemerintah di lebih dari 30 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menunjukkan penerapan praktis dan jangkauan global dari gagasannya.12 Karyanya bukanlah teori murni, melainkan ditempa dari pengalaman lapangan, sebuah kualitas yang dipuji oleh rekan-rekannya seperti Dani Rodrik dari Harvard University.11

Jejak karier Klitgaard merefleksikan sebuah perjalanan dari teori akademis yang ketat menuju perangkat kebijakan yang dapat ditindaklanjuti. Rumus C=M+D−A adalah contoh klasik dari proses ini: sebuah distilasi dari prinsip-prinsip ekonomi dan tata kelola yang kompleks menjadi sebuah heuristik yang mudah diingat dan praktis. Rumus ini dirancang bukan untuk jurnal akademis, melainkan untuk para “pembuat kebijakan yang berani” (courageous policymakers) di garis depan reformasi kelembagaan.15 Otoritasnya tidak hanya berasal dari kredensial akademisnya, tetapi juga dari keterlibatannya selama puluhan tahun dalam menerapkan ide-ide ini secara global.

Monopoli (M): Kekuatan Tanpa Pesaing sebagai Pemicu Korupsi

Variabel Monopoli (M) dalam rumus Klitgaard merujuk pada kontrol eksklusif atau “penguasaan tunggal” yang dimiliki oleh suatu organisasi atau individu atas barang, jasa, atau proses pengambilan keputusan.1 Ketiadaan kompetisi ini menciptakan situasi di mana warga negara atau pelaku usaha tidak memiliki alternatif lain. Kondisi ini memberikan kekuatan tawar yang sangat besar kepada sang monopolis untuk mengekstraksi keuntungan haram (illicit rents), seperti suap atau komisi ilegal (kickbacks).20

Di sektor publik, monopoli dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Dalam pengadaan barang dan jasa, misalnya, jika hanya satu lembaga atau pejabat yang memiliki wewenang penuh untuk memberikan kontrak, risiko korupsi meningkat drastis. Hal ini terlihat jelas dalam analisis kasus e-KTP, di mana proyek tersebut “dikuasai oleh pihak-pihak tertentu tanpa adanya persaingan yang sehat”.20 Demikian pula, seorang pejabat yang memegang monopoli atas penerbitan dokumen penting seperti izin usaha dapat dengan mudah menyalahgunakan posisinya untuk meminta suap.8 Di sektor penegakan hukum, “kekuasaan tanpa pengawasan” (unchecked power) yang dimiliki aparat, yang memonopoli penggunaan kekuatan dan paksaan hukum, dapat disalahgunakan untuk tujuan selain pemberantasan kejahatan.9

Sebagai respons strategis, rumus ini secara eksplisit menyarankan bahwa salah satu pilar utama pemberantasan korupsi adalah mengurangi atau mengatur monopoli secara ketat.1 Ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan persaingan, misalnya melalui desentralisasi atau privatisasi, atau dengan menerapkan mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang kuat di area di mana monopoli tidak dapat dihindari.20

Secara konseptual, monopoli bukan hanya salah satu dari tiga faktor, melainkan merupakan prasyarat struktural yang menciptakan peluang ekonomi untuk korupsi. Tanpa adanya monopoli, “penjual” jasa korup (pejabat) akan menghadapi tekanan pasar, dan “pembeli” (penyuap) dapat mencari alternatif yang tidak korup. Kekuatan monopoli mengubah layanan publik yang seharusnya menjadi hak warga negara menjadi komoditas pribadi yang dapat diekstraksi keuntungannya, sehingga menjadi panggung utama bagi penyalahgunaan diskresi.

Diskresi (D): Kewenangan Pejabat yang Menjadi Celah Korupsi

Variabel Diskresi (D) adalah kewenangan atau “wewenang” yang dimiliki seorang pejabat untuk mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri.4 Diskresi merupakan komponen yang niscaya dalam administrasi publik, karena peraturan perundang-undangan tidak akan pernah mampu mengantisipasi setiap situasi spesifik yang mungkin terjadi. Dalam hukum administrasi, konsep ini dikenal sebagai freies ermessen, yang berfungsi sebagai pelengkap bagi asas legalitas.4

Namun, bahaya muncul ketika diskresi menjadi terlalu luas, tidak jelas, atau tanpa pengawasan. Kondisi ini menciptakan peluang besar untuk penyalahgunaan wewenang (penyalahgunaan wewenang). Contohnya, seorang pejabat dapat menggunakan kewenangannya untuk menunjuk pemenang tender yang telah memberinya suap, atau memanipulasi alokasi anggaran demi keuntungan pribadi.8 Dalam konteks hukum Indonesia, penyalahgunaan wewenang ini diakui dapat berimplikasi menjadi tindak pidana korupsi.4 Perlu dibedakan antara “diskresi bebas” (diskresi bebas), di mana pejabat dapat mengambil keputusan apa pun dalam batas yang sangat luas, dan “diskresi terikat” (diskresi terikat), di mana pejabat memilih dari beberapa alternatif yang telah ditentukan.4 Korupsi cenderung subur dalam lingkungan diskresi bebas.

Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan bukanlah menghilangkan diskresi sama sekali—yang justru akan melumpuhkan roda pemerintahan—melainkan “memperjelas” dan “membatasi” ruang lingkupnya.1 Ini dapat dicapai dengan menciptakan regulasi yang jelas, Prosedur Operasional Standar (SOP) yang transparan, dan memastikan bahwa setiap keputusan didasarkan pada kriteria objektif dan untuk kepentingan umum.4

Diskresi dan kepastian hukum memiliki hubungan yang berbanding terbalik. Diskresi yang tinggi tumbuh subur di lingkungan dengan kepastian hukum yang rendah, seperti peraturan yang ambigu atau kompleks. Dengan demikian, strategi anti-korupsi yang diturunkan dari rumus ini adalah meningkatkan kepastian hukum. Hal ini tidak hanya berarti membuat lebih banyak peraturan, tetapi menciptakan aturan main yang lebih jelas, transparan, dan dapat diprediksi. Dengan begitu, “ruang gerak” bagi diskresi yang sewenang-wenang dan melayani kepentingan pribadi dapat dipersempit secara signifikan.

Akuntabilitas (A): Kunci Melawan Korupsi dengan Transparansi dan Sanksi

Variabel Akuntabilitas (A), atau “pertanggungjawaban,” adalah kewajiban untuk dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang dilakukan.8 Dalam rumus Klitgaard, akuntabilitas berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang utama. Ia adalah mekanisme yang memastikan bahwa mereka yang memiliki monopoli dan diskresi bertanggung jawab atas penggunaan kekuasaan tersebut. Akuntabilitas yang lemah membuat para pelaku merasa “aman” untuk melakukan korupsi.8

Mekanisme akuntabilitas mencakup beberapa elemen kunci. Pertama adalah transparansi, yaitu membuat informasi mengenai keputusan, proses, dan pengeluaran pemerintah tersedia dan mudah diakses oleh publik.1 Transparansi adalah prasyarat mutlak bagi akuntabilitas. Kedua adalah pengawasan, baik melalui kontrol internal yang kuat maupun audit eksternal oleh lembaga independen.20 Ketiga adalah partisipasi publik, yaitu melibatkan warga negara dalam mendiagnosis dan memantau sistem yang korup.1 Terakhir, dan yang paling penting, adalah adanya sanksi, yaitu probabilitas tertangkap yang tinggi dan hukuman yang berat bagi pemberi maupun penerima suap.1 Strategi “menggoreng beberapa ikan kakap” (frying a few big fish), terutama yang berasal dari partai penguasa, adalah cara ampuh untuk mengirim sinyal bahwa era impunitas telah berakhir.1

Resep kebijakan yang ditawarkan rumus ini sangat jelas: tingkatkan transparansi, perkuat pengawasan, dan naikkan probabilitas serta beratnya hukuman.1 Ini memerlukan kombinasi reformasi sistemik dan keterlibatan aktif dari masyarakat.

Dalam model “kejahatan kalkulasi” Klitgaard, akuntabilitas berfungsi sebagai mekanisme pemicu risiko. Kalkulasi koruptor adalah: Keuntungan > (Probabilitas Tertangkap x Hukuman).5 Variabel Monopoli dan Diskresi menentukan besarnya potensi

Keuntungan. Sementara itu, variabel Akuntabilitas secara langsung memengaruhi Probabilitas Tertangkap dan Hukuman yang akan diterima. Tanpa akuntabilitas, probabilitas tertangkap mendekati nol. Akibatnya, sisi risiko dari persamaan tersebut menjadi tidak berarti, tidak peduli seberapa berat ancaman hukuman yang tertulis di atas kertas. Oleh karena itu, meningkatkan akuntabilitas adalah cara paling langsung untuk memanipulasi analisis untung-rugi seorang calon koruptor, membuat risiko yang dipersepsikan jauh lebih besar daripada potensi imbalannya.

Kritik Terhadap Rumus Klitgaard: Apakah C=M+D-A Terlalu Sederhana?

Meskipun sangat berpengaruh, rumus Klitgaard tidak luput dari kritik. Kritik utama, yang diartikulasikan secara tajam oleh Matthew Stephenson dari Harvard Law School, adalah bahwa membingkai hubungan ini sebagai sebuah “rumus” dapat dianggap “tidak akurat dan menyesatkan”.22 Alasannya, format rumus menyiratkan adanya sebuah hukum yang abadi dan linier, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks dan bergantung pada konteks.22

Kritik ini dapat diurai lebih lanjut untuk setiap variabel:

  • Kritik terhadap Monopoli (M): Asumsi bahwa persaingan selalu mengurangi korupsi ternyata tidak selalu benar.22 Desentralisasi atau privatisasi terkadang justru dapat menciptakan “pasar korupsi”. Misalnya, ketika kewenangan dibagi, perusahaan yang ingin menyuap dapat “berbelanja” (
    bribe shopping) untuk mencari pejabat atau yurisdiksi yang paling mudah diajak bekerja sama.22 Selain itu, persaingan antar yurisdiksi dapat memicu “perlombaan menuju dasar” (
    race to the bottom), di mana setiap daerah bersaing menawarkan peluang korupsi yang paling menarik.22 Catatan keberhasilan privatisasi dalam mengurangi korupsi pun terbukti “tidak merata” (
    spotty).22
  • Kritik terhadap Diskresi (D): Gagasan bahwa semakin sedikit diskresi semakin baik juga merupakan penyederhanaan yang berlebihan.22 Pejabat yang kewenangannya terlalu dibatasi oleh aturan yang kaku justru lebih cenderung untuk melanggar atau mengabaikan aturan yang mereka anggap tidak efisien atau tidak masuk akal.22 Pembatasan yang berlebihan dapat melumpuhkan kemampuan pejabat untuk menyesuaikan keputusan dengan situasi spesifik, yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan yang lebih buruk.22 Lebih jauh lagi, pekerjaan dengan batasan yang sangat ketat mungkin tidak menarik bagi individu-individu berbakat dan inovatif, yang dapat memperburuk masalah korupsi dalam jangka panjang melalui seleksi sumber daya manusia yang merugikan (
    adverse selection).22
  • Kritik terhadap Akuntabilitas (A): Klaim bahwa lebih banyak akuntabilitas berarti lebih sedikit korupsi bisa menjadi sebuah “tautologi dangkal” (banal tautology) jika tidak didefinisikan dengan baik. Pengawasan yang lebih ketat terkadang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.22 Tekanan yang intens untuk menunjukkan hasil jangka pendek yang terlihat dapat mendorong pejabat untuk melakukan bentuk korupsi dengan biaya jangka panjang, seperti menerima dana kampanye ilegal.22 Selain itu, pejabat yang merasa posisinya sangat rentan karena pengawasan yang berlebihan mungkin terdorong untuk “mengambil selagi bisa,” menimbun hasil korupsi sebelum mereka diberhentikan.23 Akuntabilitas kepada atasan hierarkis juga berisiko hanya memindahkan lokus korupsi ke tingkat yang lebih tinggi, terutama jika atasan tersebut adalah seorang politisi yang mungkin lebih korup.23

Pemahaman yang lebih canggih terhadap rumus Klitgaard adalah dengan melihatnya bukan sebagai algoritma matematis, melainkan sebagai heuristik yang kuat. Rumus ini secara tepat mengidentifikasi variabel-variabel paling kritis dalam sistem korupsi. Kritik-kritik yang ada tidak menyangkal pentingnya Monopoli, Diskresi, dan Akuntabilitas. Sebaliknya, kritik tersebut menambahkan lapisan kompleksitas yang krusial, menunjukkan bahwa hubungan antara variabel-variabel ini dengan korupsi bersifat non-linier dan sangat bergantung pada konteks. Rumus Klitgaard memberi tahu kita di mana harus mencari, tetapi kebijakan yang efektif memerlukan pemahaman yang bernuansa tentang bagaimana variabel-variabel ini berinteraksi dalam lingkungan kelembagaan yang spesifik.

Perbandingan Teori Korupsi: Klitgaard (C=M+D-A) vs. Jack Bologna (GONE)

Untuk memperkaya analisis, penting untuk membandingkan kerangka Klitgaard dengan teori berpengaruh lainnya, yaitu Teori GONE yang dikembangkan oleh Jack Bologna. Teori ini menyatakan bahwa korupsi terjadi sebagai fungsi dari Greed (Keserakahan), Opportunity (Peluang), Needs (Kebutuhan), dan Exposure (Pengungkapan).24

Komponen-komponen Teori GONE dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Greed (Keserakahan): Merupakan sifat internal individu yang serakah, materialistis, dan tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki.25 Ini adalah pendorong dari dalam diri pelaku.
  • Opportunity (Peluang): Faktor eksternal dan situasional yang memungkinkan terjadinya penyelewengan. Peluang ini sering kali muncul dari lemahnya sistem pengendalian internal, pengawasan yang buruk, atau prosedur yang rumit.25
  • Needs (Kebutuhan): Tekanan yang dirasakan individu, seperti kesulitan finansial atau gaya hidup konsumtif, yang memotivasi mereka untuk mencari dana ilegal.25
  • Exposure (Pengungkapan): Merupakan risiko tertangkap dan konsekuensi yang akan dihadapi. Ini adalah faktor penyeimbang dalam model GONE.24

Perbandingan antara kedua kerangka kerja ini menyoroti perbedaan fokus dan titik intervensi. Teori Klitgaard (C=M+D−A) berfokus pada level sistemik dan struktural, menganalisis karakteristik lingkungan tata kelola. Sebaliknya, Teori GONE berfokus pada level individu dan psikologis, menganalisis motivasi dan situasi yang dihadapi pelaku. Akibatnya, model Klitgaard mengarah pada solusi berupa reformasi kelembagaan (mengubah aturan dan sistem), sementara Teori GONE menunjuk pada intervensi di tingkat individu (pelatihan etika) dan organisasi (memperkuat kontrol untuk mengurangi peluang dan memperberat sanksi untuk meningkatkan pengungkapan).

Tabel 1: Analisis Perbandingan Teori Korupsi (Klitgaard vs. Bologna)

FiturRobert Klitgaard (C=M+D-A)Jack Bologna (GONE)
Fokus UtamaSistemik / StrukturalIndividual / Psikologis
Pendorong UtamaMonopoli, DiskresiKeserakahan, Kebutuhan
Faktor Pemungkin(Tersirat dalam M+D)Peluang (Opportunity)
Faktor MitigasiAkuntabilitas (Accountability)Pengungkapan (Exposure)
Akar PenyebabDesain kelembagaan yang cacat; kejahatan kalkulasi rasional.Kegagalan moral, tekanan situasional, kontrol yang lemah.
Solusi UtamaReformasi kelembagaan: kurangi M, perjelas D, tingkatkan A.Pendekatan ganda: perkuat kontrol (kurangi O), tingkatkan sanksi (tingkatkan E), pelatihan etika (atasi G).

Kedua teori ini tidak hanya saling melengkapi, tetapi juga memiliki keterkaitan yang mendalam. Teori Klitgaard memberikan penjelasan struktural untuk variabel-variabel dalam Teori GONE. Kondisi sistemik dari Monopoli (M) dan Diskresi (D) yang tinggi secara langsung menciptakan Peluang (Opportunity, O) bagi individu. Pada saat yang sama, ketiadaan Akuntabilitas (A) secara efektif menghilangkan risiko Pengungkapan (Exposure, E). Dengan demikian, untuk memberantas faktor-faktor pendorong di tingkat individu yang diidentifikasi oleh Bologna, langkah fundamental yang harus diambil adalah memperbaiki kelemahan sistemik yang diidentifikasi oleh Klitgaard.

Studi Kasus 1: Analisis Korupsi E-KTP dengan Rumus Klitgaard

Proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), yang dimulai pada tahun 2011 dengan anggaran sebesar Rp 5.9 triliun, berubah menjadi salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2.3 triliun, dan kasus ini menyeret banyak pejabat tinggi, anggota legislatif, serta pengusaha.27 Kasus ini menjadi contoh sempurna untuk dianalisis menggunakan kerangka kerja Klitgaard.

Penerapan rumus C=M+D−A pada kasus e-KTP menunjukkan:

  • Monopoli (M): Proses tender proyek ini sama sekali tidak kompetitif. Sejak awal, proyek ini telah “dikuasai” dan diatur untuk dimenangkan oleh konsorsium perusahaan tertentu, sehingga menghilangkan persaingan yang sehat.20 Monopoli de facto ini memungkinkan terjadinya penggelembungan anggaran (
    mark-up) secara masif dan kolusi yang erat antara pejabat dan pemenang tender.
  • Diskresi (D): Pejabat-pejabat kunci di Kementerian Dalam Negeri dan anggota legislatif yang berpengaruh memiliki diskresi yang sangat besar dan tanpa pengawasan. Mereka memiliki kekuasaan untuk membentuk anggaran, menentukan spesifikasi teknis proyek, dan pada akhirnya memilih pemenang tender, semuanya tanpa prosedur yang memadai.20 Diskresi ini disalahgunakan untuk mengalirkan dana proyek kepada diri mereka sendiri dan kroni-kroni mereka.
  • Minimnya Akuntabilitas (-A): Akuntabilitas dalam proyek ini secara sistemik tidak ada. Pengendalian internal di kementerian sangat lemah, sementara pengawasan eksternal dari parlemen telah terkompromikan karena banyak anggotanya sendiri yang terlibat dalam skema korupsi.29 Kurangnya transparansi dalam penganggaran dan pelaporan kemajuan proyek membuat berbagai “penyimpangan” tidak terdeteksi sejak dini.20 Hal ini menciptakan lingkungan berisiko rendah yang membuat para pelaku merasa aman untuk melakukan korupsi.

Tabel 2: Penerapan Rumus Klitgaard pada Kasus Korupsi E-KTP

Variabel KlitgaardManifestasi dalam Kasus E-KTPBukti Pendukung
Monopoli (M)Tender proyek dikendalikan oleh konsorsium tertentu, menghilangkan persaingan yang sehat. Pemenang tender telah ditentukan sebelumnya.20
Diskresi (D)Pejabat tinggi memiliki kewenangan luas tanpa pengawasan untuk menentukan anggaran, spesifikasi teknis, dan pemenang proyek tanpa prosedur transparan.20
Kurangnya Akuntabilitas (-A)Kegagalan sistemik pengawasan internal dan eksternal (parlemen dan audit keuangan). Penganggaran dan kemajuan proyek tidak transparan, menghambat deteksi dini penipuan.20

Studi Kasus 2: Korupsi Bansos COVID-19 dalam Kerangka C=M+D-A

Selama puncak pandemi COVID-19, Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara, terbukti menerima suap sebagai imbalan atas penunjukan perusahaan tertentu sebagai penyedia paket bantuan sosial (bansos). Ia terbukti menerima fee sebesar Rp 32.48 miliar dari para vendor.34 Kasus ini menyoroti kegagalan moral yang ekstrem di tengah krisis nasional dan merusak kepercayaan publik secara mendalam.36

Analisis dengan kerangka Klitgaard menunjukkan:

  • Monopoli (M) & Diskresi (D): Status keadaan darurat nasional dijadikan pembenaran untuk mengabaikan prosedur pengadaan barang dan jasa yang normal dan kompetitif. Hal ini memberikan Menteri dan bawahannya kekuasaan monopoli untuk menunjuk langsung para vendor.34 Situasi ini menciptakan diskresi yang ekstrem, di mana pemilihan penyedia jasa tidak didasarkan pada kualitas atau harga, melainkan pada kesediaan mereka untuk membayar
    kickback (dikenal sebagai “fee” sebesar Rp 10,000 per paket).34
  • Minimnya Akuntabilitas (-A): Terjadi “krisis transparansi” yang parah.37 Proses pemilihan vendor sepenuhnya tertutup, tidak ada mekanisme yang efektif bagi publik untuk memantau distribusi bantuan, dan pengawasan internal gagal total.34 Ketiadaan akuntabilitas ini menciptakan lingkungan yang sempurna bagi para pejabat untuk menuntut dan menerima suap dengan persepsi risiko tertangkap yang sangat rendah.

Perbandingan antara kasus e-KTP dan bansos menyingkapkan sebuah pola penting. Jika kasus e-KTP menunjukkan bagaimana rumus Klitgaard bekerja dalam kondisi birokrasi yang “normal,” kasus bansos menunjukkan bagaimana krisis nasional dapat menjadi penguat (amplifier) yang dahsyat bagi variabel-variabel korupsi. Urgensi pandemi memberikan pembenaran politik untuk memusatkan kekuasaan (meningkatkan M), memperluas wewenang eksekutif (meningkatkan D), dan menangguhkan prosedur pengawasan normal (mengurangi A). Hal ini menunjukkan bahwa rumus Klitgaard tidaklah statis; nilai variabel-variabelnya dapat berubah secara drastis dan cepat akibat guncangan eksternal, menjadikan periode krisis sebagai momen yang sangat rentan terhadap korupsi sistemik.

Solusi Anti-Korupsi: Strategi Efektif Mengurangi Monopoli (M) dan Diskresi (D)

Berdasarkan diagnosis yang ditawarkan oleh rumus Klitgaard, langkah-langkah kebijakan untuk memberantas korupsi harus menargetkan pengurangan Monopoli dan pembatasan Diskresi.

Untuk Melawan Monopoli (M), beberapa strategi dapat diterapkan:

  • Memperkuat Hukum Persaingan Usaha: Menerapkan secara aktif Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus diberdayakan untuk menyelidiki dan memberikan sanksi tegas terhadap persekongkolan tender dan praktik anti-kompetitif lainnya dalam pengadaan publik.39
  • Mendorong Pengadaan yang Transparan: Mewajibkan penggunaan sistem pengadaan elektronik (e-procurement) dan lelang elektronik (e-tendering) untuk meningkatkan persaingan dan mengurangi kolusi. Seluruh dokumen dan hasil tender harus dapat diakses oleh publik secara real-time.20
  • Deregulasi dan Unbundling: Sejauh memungkinkan, memecah layanan pemerintah yang besar menjadi komponen-komponen yang lebih kecil dan kompetitif (unbundling), serta menghapus regulasi yang tidak perlu yang menciptakan monopoli artifisial.39

Untuk Memperjelas dan Membatasi Diskresi (D), intervensi berikut sangat penting:

  • Mengodifikasi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB): Menanamkan AUPB ke dalam hukum dan praktik administrasi untuk memastikan setiap keputusan pejabat bersifat objektif, tidak diskriminatif, dan melayani kepentingan umum.4
  • Mengembangkan SOP yang Jelas: Menyusun dan menegakkan Prosedur Operasional Standar (SOP) yang jelas, terperinci, dan dapat diakses publik untuk semua layanan pemerintah, terutama yang rentan korupsi seperti perizinan.42
  • Memperkuat Pengawasan Yudisial dan Ombudsman: Memastikan warga negara dan pelaku usaha memiliki jalur yang efektif melalui pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan Ombudsman untuk menggugat keputusan diskresioner yang sewenang-wenang atau melanggar hukum. Batasan diskresi harus didefinisikan secara hukum dan ditegakkan dengan tegas.43

Meningkatkan Akuntabilitas (A): Resep Kebijakan untuk Pemerintahan Transparan

Meningkatkan Akuntabilitas (A) adalah pilar ketiga dari strategi anti-korupsi yang komprehensif. Ini dapat dicapai melalui penguatan akuntabilitas institusional dan sosial.

Untuk Akuntabilitas Institusional, langkah-langkah yang diperlukan meliputi:

  • Memberdayakan Lembaga Audit: Menjamin independensi dan meningkatkan kapasitas auditor eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan auditor internal pemerintah (APIP). Temuan mereka harus dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.46
  • Menerapkan E-Government: Memanfaatkan teknologi untuk menciptakan sistem manajemen keuangan terintegrasi yang memungkinkan pelacakan anggaran dan belanja secara real-time. Ini akan meningkatkan transparansi dan mempermudah deteksi penyimpangan.20
  • Pembangunan Kapasitas SDM: Berinvestasi dalam pelatihan bagi aparatur sipil negara mengenai manajemen keuangan, etika, dan prinsip-prinsip anti-korupsi untuk meningkatkan kompetensi dan integritas.42

Untuk Akuntabilitas Publik dan Sosial, fokusnya adalah:

  • Mendorong Partisipasi Publik: Menciptakan mekanisme formal bagi masyarakat sipil dan publik untuk berpartisipasi dalam perencanaan anggaran dan pengawasan proyek-proyek publik.1
  • Mendukung Masyarakat Sipil: Mengakui dan mendukung peran organisasi pengawas seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam melakukan pemantauan independen, advokasi kebijakan, dan pendidikan publik.51
  • Melindungi Pelapor (Whistleblower) dan Kebebasan Pers: Memberlakukan dan menegakkan perlindungan hukum yang kuat bagi para pelapor pelanggaran serta menjamin kebebasan pers untuk menyelidiki dan melaporkan kasus korupsi tanpa takut akan tindakan balasan. Langkah ini secara langsung meningkatkan “probabilitas tertangkap”.1

Tabel 3: Matriks Kebijakan untuk Melawan Korupsi Berdasarkan Rumus Klitgaard

Variabel KlitgaardTujuan KebijakanIntervensi Spesifik (dengan contoh)Referensi Pendukung
Monopoli (M)Meningkatkan Persaingan & PengawasanWajibkan e-procurement; perkuat wewenang KPPU; lakukan unbundling layanan publik.20
Diskresi (D)Meningkatkan Kepastian & Membatasi Kesewenang-wenanganKodifikasi AUPB dalam hukum; kembangkan dan publikasikan SOP yang jelas; perkuat Ombudsman dan PTUN.4
Akuntabilitas (A)Meningkatkan Transparansi & Risiko PengungkapanBerdayakan BPK dan APIP; implementasikan sistem e-government terintegrasi; lindungi whistleblower; dukung CSO seperti ICW.1

Kesimpulan: Menuju Strategi Anti-Korupsi yang Terintegrasi di Indonesia

Analisis ini menegaskan bahwa rumus korupsi Robert Klitgaard, C=M+D−A, adalah perangkat yang sangat diperlukan untuk mendiagnosis akar sistemik korupsi. Penerapannya pada kasus-kasus besar di Indonesia, seperti skandal e-KTP dan korupsi bansos, secara gamblang menunjukkan bagaimana kombinasi dari monopoli yang tidak terkendali dan diskresi yang luas, yang dimungkinkan oleh kegagalan akuntabilitas yang katastrofik, menciptakan lahan subur bagi korupsi skala besar.

Namun, penting untuk mengakui bahwa rumus ini bukanlah solusi tunggal. Kritik yang diajukan oleh para ahli seperti Matthew Stephenson, serta perspektif komplementer dari Teori GONE Jack Bologna, menunjukkan bahwa strategi yang benar-benar holistik harus melampaui reformasi struktural semata. Ia juga harus menyentuh faktor-faktor di tingkat individu dan organisasi.

Oleh karena itu, pesan akhir dari laporan ini adalah seruan untuk sebuah strategi anti-korupsi yang terintegrasi. Strategi ini harus menggabungkan reformasi sistemik ala Klitgaard—yaitu merancang ulang institusi untuk mengubah kalkulasi untung-rugi para pelaku—dengan fokus pada budaya individu dan organisasi ala Bologna, yaitu memperkuat etika, mempromosikan integritas, serta mengurangi tekanan dan rasionalisasi yang mendorong individu untuk berbuat korup.53 Pada akhirnya, memerangi korupsi adalah sebuah proyek “penyesuaian kelembagaan” jangka panjang yang membutuhkan baik sistem yang lebih baik maupun orang-orang yang lebih baik untuk menjalankannya.1

Karya yang dikutip

  1. International Cooperation Against Corruption – Finance & Development – March 1998 – Robert Klitgaard, diakses Juni 13, 2025, https://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1998/03/pdf/klitgaar.pdf
  2. pola perilaku korupsi para koruptor di indonesia dan pola penanganan kasus-kasus korupsi oleh komisi pemberantasan korupsi (kpk) – Pustaka Ilmiah Universitas Padjadjaran, diakses Juni 13, 2025, https://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/04/Laporan-Akhir-Pola-Perilaku-Korupsi-Para-Koruptor.pdf
  3. The Anti-corruption Formula | United Nations Development Programme, diakses Juni 13, 2025, https://www.undp.org/latin-america/blog/anti-corruption-formula
  4. penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara – e-journal ipdn, diakses Juni 13, 2025, https://ejournal.ipdn.ac.id/JMP/article/view/435/261
  5. A Holistic Approach to the Fight against Corruption. – CGU Scholar, diakses Juni 13, 2025, https://scholar.cgu.edu/robert-klitgaard/wp-content/uploads/sites/22/2017/02/Holistic_Approach_1-08.pdf
  6. Tindak Pidana Korupsi di Masa Pandemi Covid- 19 dan Dampaknya Terhadap Pemenuhan Hak Asasi Manusia, diakses Juni 13, 2025, https://proceeding.unnes.ac.id/snh/article/download/717/631/1834
  7. Address by Robert Klitgaard: Carter Center Conference on Transparency for Growth in the Americas, diakses Juni 13, 2025, https://www.cartercenter.org/news/documents/doc1193.html
  8. Rumus Korupsi: 3 Kunci Terjadinya Korupsi – Literasi Hukum Indonesia, diakses Juni 13, 2025, https://literasihukum.com/rumus-korupsi-robert-klitgaard/
  9. Memberantas Korupsi Melalui Reformasi KUHAP – Kompas.id, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompas.id/artikel/memberantas-korupsi-melalui-reformasi-kuhap/amp
  10. www.cgu.edu, diakses Juni 13, 2025, https://www.cgu.edu/people/robert-klitgaard/#:~:text=Robert%20Klitgaard%20is%20a%20University,PhD%20program%20in%20policy%20analysis.
  11. Robert Klitgaard – CGU Scholar – Claremont Graduate University, diakses Juni 13, 2025, https://scholar.cgu.edu/robert-klitgaard/
  12. Best of Robert Klitgaard_NEW.indd – International Ombudsman Institute, diakses Juni 13, 2025, https://www.theioi.org/downloads/58l04/Best_of_Robert_Klitgaard%5B1%5D.pdf
  13. Robert E. Klitgaard: books, biography, latest update – Amazon.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.amazon.com/Robert-E.-Klitgaard/e/B001K8E3OU%3Fref=dbs_a_mng_rwt_scns_share
  14. Robert Klitgaard – Wikipedia, diakses Juni 13, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Robert_Klitgaard
  15. Controlling Corruption by Robert Klitgaard – Paper – University of California Press, diakses Juni 13, 2025, https://www.ucpress.edu/flyer/books/controlling-corruption/paper
  16. Controlling Corruption: Klitgaard, Robert: 9780520074088 – Amazon.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.amazon.com/Controlling-Corruption-Robert-Klitgaard/dp/0520074084
  17. Controlling Corruption by Robert Klitgaard – Paper – University of …, diakses Juni 13, 2025, https://www.ucpress.edu/books/controlling-corruption
  18. Controlling Corruption / Edition 1 by Robert Klitgaard | 9780520074088 | Paperback | Barnes & Noble®, diakses Juni 13, 2025, https://www.barnesandnoble.com/w/controlling-corruption-robert-klitgaard/1101610038
  19. Robert Klitgaard Books & Audiobooks: Read Free for 30 Days – Everand, diakses Juni 13, 2025, https://www.everand.com/author/589147667/Robert-Klitgaard
  20. Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/albert911/6661c262ed641574741ce743/penerapan-penyebab-kasus-korupsi-di-indonesia-pendekatan-robert-klitgaard-dan-jack-bologna?page=all&page_images=1
  21. Penerapan Penyebab Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Kiltgard – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/nurpatimah4345/673787e634777c131629b723/penerapan-penyebab-korupsi-di-indonesia-pendekatan-robert-kiltgard?page=all&page_images=1
  22. Klitgaard’s Misleading “Corruption Formula” | GAB | The Global Anticorruption Blog, diakses Juni 13, 2025, https://globalanticorruptionblog.com/2014/05/27/klitgaards-misleading-corruption-formula/
  23. Metafora Klitgaard Misleading? | Indonesia Reform, diakses Juni 13, 2025, https://www.indonesiareform.com/teori-korupsi-klitgaard-misleading/
  24. Teori-Teori Penyebab Korupsi – Program Studi Magister Ilmu Hukum Terbaik di Sumut, diakses Juni 13, 2025, https://mh.uma.ac.id/teori-teori-penyebab-korupsi/
  25. HAKORDIA 2024 : Mengenal Perspektif GONE (Greed, Opportunity, Needs dan Exposure) Dalam Tindakan Kecurangan/Korupsi, diakses Juni 13, 2025, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-tegal/baca-artikel/17410/HAKORDIA-2024-Mengenal-Perspektif-GONE-Greed-Opportunity-Needs-dan-Exposure-Dalam-Tindakan-KecuranganKorupsi.html
  26. KMS:: Teori-Teori Anti Korupsi, diakses Juni 13, 2025, https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/teori-teori-anti-korupsi-0ab04f7a/detail/
  27. ANALISIS KASUS KORUPSI E-KTP DENGAN TERSANGKA IRMAN DAN SUGIHARTO (Putusan Nomor 33, diakses Juni 13, 2025, https://journal.unsika.ac.id/djd/article/download/7917/4774/34257
  28. Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia, Pendekatan Teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna pada Kasus Korupsi E-KTP – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/zaidanakramr/673f2b16c925c46c9902b563/penerapan-penyebab-kasus-korupsi-di-indonesia-pendekatan-teori-robert-klitgaard-dan-jack-bologna-pada-kasus-korupsi-e-ktp?page=all&page_images=2
  29. Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/khairunnisanursafitri7777/673b594c34777c40107fad12/penerapan-penyebab-kasus-korupsi-di-indonesia-pendekatan-robert-klitgaard-dan-jack-bologna?page=all&page_images=1
  30. Aidil Ferdi | PDF – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/540572305/Aidil-Ferdi
  31. Kelompok 2 – Anti Korupsi – Makalah Analisis Kasus Korupsi e-KTP Tes | PDF – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/482197541/Kelompok-2-Anti-Korupsi-Makalah-Analisis-Kasus-Korupsi-e-KTP-tes
  32. Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna Halaman all – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/bungadeaa9010/673db473c925c409ae312ef4/penerapan-penyebab-kasus-korupsi-di-indonesia-pendekatan-robert-klitgaard-dan-jack-bologna?page=all&page_images=1
  33. Ringkasan Audit Forensik Periode Ke-2 | PDF | Politik | Ilmu Sosial – Scribd, diakses Juni 13, 2025, https://id.scribd.com/document/446272469/RINGKASAN-AUDIT-FORENSIK-PERIODE-KE-2-docx
  34. Norma Hukum Internasional Dalam Penanggulangan Kasus … – Kolibi, diakses Juni 13, 2025, https://jurnal.kolibi.org/index.php/kultura/article/download/2036/1976/7958
  35. KASUS KORUPSI BANSOS COVID-19 YANG MENJERAT JULIARI – Jurnal Internasional, diakses Juni 13, 2025, https://ejournal.penerbitjurnal.com/index.php/multilingual/article/download/609/534/967
  36. Analisis Kasus Korupsi Bantuan Sosial Pada Pandemi Covid-19 dari Perspektif Etika dan Profesionalisme Hukum, diakses Juni 13, 2025, https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/MHI/article/download/1401/1526
  37. MENYOROTI KRISIS TRANSPARANSI … – WARUNAYAMA, diakses Juni 13, 2025, https://ejournal.warunayama.org/index.php/triwikrama/article/download/7237/6672/22088
  38. Analisis Mendalam Kasus Korupsi Bansos Juliari: Perspektif Hukum dan Respon Masyarakat Nirma Shalwa1, Shinta Mariam2 Fakultas Hu – Portal Jurnal Peneliti. net, diakses Juni 13, 2025, https://jurnal.peneliti.net/index.php/JIWP/article/download/9543/7691/
  39. (PDF) KEBIJAKAN ANTI MONOPOLI DALAM PEREKONOMIAN …, diakses Juni 13, 2025, https://www.researchgate.net/publication/277743245_KEBIJAKAN_ANTI_MONOPOLI_DALAM_PEREKONOMIAN_INDONESIA
  40. Strategi Pencegahan Korupsi Sistemik – Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, diakses Juni 13, 2025, https://setkab.go.id/strategi-pencegahan-korupsi-sistemik/
  41. Pertentangan Antara Diskresi Kebijakan Dengan Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi – Journal UII, diakses Juni 13, 2025, https://journal.uii.ac.id/IUSTUM/article/download/11360/9898/35307
  42. Strategi Peningkatan Akuntabilitas dalam Keuangan Daerah – Diklat LPKN, diakses Juni 13, 2025, https://diklatlpkn.id/2025/03/31/strategi-peningkatan-akuntabilitas-dalam-keuangan-daerah/
  43. PURIFIKASI KONSEP DISKRESI DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA – Artikel Hukum, diakses Juni 13, 2025, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/1606/350
  44. DISKRESI DAN TANGGUNG JAWAB PEJABAT PUBLIK PADA PELAKSANAAN TUGAS DALAM SITUASI DARURAT, diakses Juni 13, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1402678&val=1277&title=DISKRESI%20DAN%20TANGGUNG%20JAWAB%20PEJABAT%20PUBLIK%20PADA%20PELAKSANAAN%20TUGAS%20DALAM%20SITUASI%20DARURAT
  45. Diskresi Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik – Berita – Ombudsman RI, diakses Juni 13, 2025, https://ombudsman.go.id/artikel/r/artikel–diskresi-dalam-penyelenggaraan-pelayanan-publik
  46. STrATegi Menuju AKunTABiliTAS PuBliK – BPK RI, diakses Juni 13, 2025, https://www.bpk.go.id/assets/files/magazine/_selengkapnya_1406187565.pdf
  47. INDONESIAN TREASURY REVIEW, diakses Juni 13, 2025, https://itrev.kemenkeu.go.id/index.php/ITRev/article/download/410/175/4883
  48. Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja untuk Meningkatkan Efisiensi Pengelolaan Keuangan Publik di Pemerintah Daerah – Seputar Birokrasi, diakses Juni 13, 2025, https://seputarbirokrasi.com/penerapan-sistem-akuntabilitas-kinerja-untuk-meningkatkan-efisiensi-pengelolaan-keuangan-publik-di-pemerintah-daerah/
  49. Akuntabilitas – BPSDM Aceh, diakses Juni 13, 2025, https://bpsdm.acehprov.go.id/media/2020.01/Akuntabilitas-Gol-III5.pdf
  50. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta Masyarakat – Jurnal USK, diakses Juni 13, 2025, https://jurnal.usk.ac.id/kanun/article/download/6037/4975
  51. Laporan akhir tahun – ICW, diakses Juni 13, 2025, https://antikorupsi.org/sites/default/files/dokumen/LAT%202021%20Indonesia.pdf
  52. Tata Kelola dan Anti Korupsi – ICW, diakses Juni 13, 2025, https://www.antikorupsi.org/index.php/id/article/tata-kelola-dan-anti-korupsi
  53. Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard, dan Jack Bologna Halaman all – Kompasiana.com, diakses Juni 13, 2025, https://www.kompasiana.com/indieradwirani2415/673dc9b3c925c4312372fc02/penerapan-penyebab-kasus-korupsi-di-indonesia-pendekatan-robert-klitgaard-dan-jack-bologna?page=all&page_images=1
  54. Mengenal Pengertian Korupsi dan Antikorupsi – ACLC KPK, diakses Juni 13, 2025, https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220411-mengenal-pengertian-korupsi-dan-antikorupsi

memahami strategi pemberantasan korupsi di indonesia, diakses Juni 13, 2025, https://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/download/364/337

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses