Ilmu HukumMateri Hukum

Pengesampingan asas Non-Retroaktif dalam Undang-Undang

Adam Ilyas
236
×

Pengesampingan asas Non-Retroaktif dalam Undang-Undang

Share this article
Pengesampingan asas Non-Retroaktif dalam Undang-Undang
Pengesampingan asas Non-Retroaktif dalam Undang-Undang

Literasi Hukum – Tulisan ini membahas mengenai pengesampingan asas non-retroaktif dalam undang-undang. Apakah memungkinkan penerapan pengesampingan asas non retroaktif dilakukan? yuk simak penjelasan artikel berikut ini.

Pengertian asas non-retroaktif

Asas non-retroaktif adalah asas hukum yang melarang pemberlakuan suatu undang-undang secara surut, yaitu berlaku untuk perbuatan yang telah dilakukan sebelum undang-undang tersebut diundangkan. Asas ini juga dikenal dengan nama asas legalitas atau asas nulla poena sine lege.

Asas non-retroaktif memiliki beberapa tujuan, yaitu:

  1. Melindungi kepastian hukum. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang harus mengetahui apa yang dilarang dan apa yang diizinkan oleh hukum. Asas non-retroaktif menjamin bahwa setiap orang tidak dapat dikenai sanksi pidana atas perbuatan yang dilakukannya sebelum undang-undang yang melarang perbuatan tersebut diundangkan.
  2. Melindungi hak asasi manusia. Asas non-retroaktif melindungi hak asasi manusia untuk tidak dikenai sanksi pidana atas perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum pada saat perbuatan tersebut dilakukan.
  3. Mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Asas non-retroaktif mencegah penguasa untuk menggunakan kekuasaannya untuk menetapkan hukum yang merugikan hak asasi manusia.

Pengesampingan asas Non-Retroaktif

Meskipun secara umum aturan baik peraturan perundang-undangan nasional maupun konvensi internasional menentukan adanya larangan untuk memberlakukan asas rekroaktif, namun sesungguhnya ada perkecualian-pengecualian di dalamnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dan ketentuan hukum internasional ternyata memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan terhadap asas-asas tersebut.

Penyimpangan pertama dapat dilihat dalam Article 28 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dan Article 28 Vienna Convention on the Law of Treaties 1986 yang berbunyi

Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to that party.

Menariknya, Article 64 Vienna Convention on the Law of Treaties  mengatur Emergence of a new peremptory norm of general international law (jus cogens) dimana hal ini mengakibatkan dimungkinkanya pemberlakuan asas retroaktif untuk kondisi tertentu. Dalam Article 64 dijelaskan

If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates.

Ketentuan lain mengenai pengesampingan asas non-retroaktif dapat dilihat dalam Article 15 paragraph (2) International Covenant on Civil and Political Rights yang berbunyi “Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.”

Lebih menariknya lagi, Article 4 justru secara tegas memperbolehkan negara peserta kovenan untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsanya kendatipun hal itu berakibat pada pelunakan kewajiban negara yang bersangkutan terhadap kovenan;

in time of public emergency which threatens the life of the nation, and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin

Demikian juga Article 29 paragraph (2) Universal Declaration of Human Rights yang memperbolehkan adanya batasan-batasan atas hak asasi manusia dengan alasan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi persyaratan moralitas yang adil, ketertiban publik, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis;

In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order, and the general welfare in democratic society.

Di dalam konstitusi Indonesia, meskipun Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengatur  tentang larangan hukum yang retroaktif, namun sinyalemen diperbolehkannya hukum secara retroaktif karena kondisi tertentu diatur dalam Pasal 28J ayat (2) yang merupakan ketentuan pembatasan atas hak asasi manusia.

Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Namun perlu menjadi catatan bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia ini masih dapat diperdebatkan.

Bahkan, menurut Mahkamah Konstitusi, ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 bukan ketentuan yang bersifat mutlak. Hal ini ditegaskan di dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 halaman 51, Mahkamah Kontitusi berpendapat bahwa:

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Meskipun rumusan harfiah demikian menimbulkan kesan seolah-olah bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut bersifat mutlak, namun sesuai dengan sejarah penyusunannya, Pasal 28I ayat (1) tidak boleh dibaca secara berdiri sendiri melainkan harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2).

Dengan cara demikian maka akan tampak bahwa, secara sistematik, hak asasi manusia – termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut — tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2).

Dengan membaca Pasal 28I ayat (1) bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2), tampaklah bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroaktif) tidaklah bersifat mutlak, sehingga dalam rangka “memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban”, dapat dikesampingkan;

Apabila ditelusuri lagi sejarahnya, pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia juga pernah memberlakukan aturan retroaktif dengan menerbitkan aturan yang dinamakan sebagai Brisbane Ordonnantie 1945 yakni aturan mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara yang memiliki tujuan untuk melakukan pemidanaan terhadap pihak yang secara politis mengalami kekalahan perang, yaitu bala tentara Jepang beserta para kolaboratornya.

Pemberlakuan asas retroaktif saat itu bertujuan untuk melakukan suatu dominasi politis secara luas terhadap pihak-pihak lain yang dianggap sebagai opposannya.

Adapun penerapan asas retroaktif saat itu merupakan pengakuan terhadap eksistensi dari asas Lex Talionis (pembalasan). Sifat pembalasan politis sebagai sikap dari Lex Talionis ini tercermin dari pertimbangan putusan peradilan militer yang menyatakan antara lain: “karena kekuatan (angkatan perang) Sekutu akan mengejarnya sampai ke ujung langit untuk pada akhirnya akan diserahkan kepada instansi penuntut karena hukum akan ditegakkan“.

Pasca kemerdekaan, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) ternyata juga mengakui adanya penerapan aturan hukum secara retroaktif. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan peralihan Pasal 197 ayat (2) Konstitusi RIS yang berbunyi

jikalau dan sekadar sebelum saat jang tersebut dalam ajat (1), sudah dilakukan tindakan2 untuk membentuk alat-alat perlengkapan Republik Indonesia Serikat dan untuk menjiapkan penerimaan kedaulatan, sekaliannja atas dasar ketentuan-ketentuan Konstitusi ini, maka ketentuan-ketentuan itu berlaku surut sampai pada hari tindakan-tindakan bersangkutan dilakukan.

Masalah pemberlakuan asas retroaktif kembali diperdebatkan saat dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 4 UU 39/1999 menyatakan diperbolehkannya penerapan asas retroaktif ini, dijelaskan bahwa

….Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Menariknya, Penjelasan Pasal 4 UU 39/1999 sebenarnya kontradiktif dengan bunyi Pasal 4 UU 39/1999 yang menyatakan bahwa “….hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”

Ketentuan lainnya yakni Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM berbunyi  “Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkanya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.”

Apabila diperhatikan, ketentuan Pasal 43 UU Pengadilan HAM ini secara redaksional tidak menyatakan tegas jelas bahwa ketentuan ini dapat diberlakukan surut. Akan tetapi, secara substansi, ketentuan Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi terhadap segala perbuatan (pelanggaran HAM Berat) yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, maka ketentuan ini secara substansial dapat diberlakukan surut setelah DPR menentukan suatu peristiwa tertentu itu.

Apa yang diputuskan oleh DPR tentang “peristiwa tertentu” dalam kaitannya ayat (1) dalam pemikiran yang logis dapat dipastikan adalah segala peristiwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, yakni pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum tanggal 23 Nopember 2000.

Ketentuan lain tentang berlakunya asas retroaktif dapat dilihat juga dalam Pasal 46 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme  pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Di dalam ketentuan Pasal 46 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 ini ditekankan bahwa “Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.”

Apabila diperhatikan secara gramatikal, kalimat “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini, …” mengandung sinyalemen bahwa ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.

Tulisan ini merupakan cupilkan dari buku:

Zaka Firma Aditya, Asas retroaktif putusan Mahkamah Konstitusi dalam teori dan praktik, (Jakarta: RajaGrafindo, 2020).

Jika Sahabat Literasi ingin membaca secara lengkap, dapat membeli buku tersebut melalui link berikut:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.