PremiumMateri HukumPerdata

Memahami Teori-Teori Pembuktian Perdata

Adam Ilyas
342
×

Memahami Teori-Teori Pembuktian Perdata

Share this article
Teori Pembuktian Perdata
Ilustrasi Gambar

Literasi HukumArtikel ini membahas mengenai Teori Pembuktian Perdata. Yuk simak apa saja sih teori-teori pembuktian perdata.

Teori Pembuktian Perdata: Negativa Non Sunt Probanda

Teori pembuktian perdata ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian “Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan pihak yang dituduh yang membuktikan. Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam dan juga Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.

Dewasa ini penganut teori “Negativa non sunt probanda” ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian. Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang sifatnya negative, adalah di luar batas kemampuan untuk di buktikan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obli gatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih dari pada kemampuannya), maka orang yang menyatakan/mengemukakan sesuatulah yang harus dibebani dengan pembuktian. Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap kasus.

Teori Pembuktian Perdata: Hak

Dasar dari Teori pembuktian perdata ini adalah bahwa “HAK”lah yang mendasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu senantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. Dengan demikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hukum secara perdata adalah semata-mata untuk mempertahankan hak.

Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani dengan pembuktian. Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama, penggugat harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat. Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser Anema Verdam yang membagi peristiwa itu ke dalam:

  1. Peristiwa umum.
  2. Peristiwa khusus.
    • Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen).
    • Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbulnya hak (rechtshindernde Tatsachen).
    • Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (rechts vernichtende Tatsachen).

Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai berikut:

  1. Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak.
  2. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan.
    • Tidak adanya peristiwa-peristiwa umum.
    • Adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbulnya hak.
    • Adanya peristiwa khusus yang bersifat mem batalkan hak.

Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus imajiner sebagai berikut:

Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si Basse dengan harga Rp 15.000.000,- dari si Baco, tetapi si Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori “hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si Baco, beban pembuktiannya dibagi:

  1. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa:
    • Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia dengan si Basse.
    • Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000
    • Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse se laku pembeli.
  2. Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa:
    • Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000,- itu kepada si Baco selaku penjual.
    • Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian kehendak.

P. A. Stein tidak menyetujui teori ini dengan alasan bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”. Bagaimana dalam gugatan perceraian? Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.

Teori Pembuktian Perdata: De Lege Lata (Menurut Hukum Positif)

Menurut Teori pembuktian perdata ini, dengan si penggugat mengajukan gugatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang berlaku terhadap peristiwa yang diajukan.

Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pembuktian untuk membuktikan kebenaran dari peristiwa yang diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu perjanjian, maka si A harus mencari dalam undang-un dang apa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya.

Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal 1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan adanya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsurunsur yang ditetapkan oleh hukum/undang-undang itu ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.

Teori Pembuktian Perdata: Ius Publicum (Hukum Publik)

Teori pembuktian perdata ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagai manapun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, kepentingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewe nang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran.

Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan kewajiban yang bersifat hukum publik, di mana kewajiban itu harus disertai dengan saksi pidana. Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.

Teori Pembuktian Perdata: Audi Et Alteram Partem

Teori pembuktian perdata ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara per data pada umumnya, yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PAR TEM”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari kedua pihak yang beperkara. Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil. Karena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya kedua-duanya.

Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat ter gugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya tergugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya perjanjian tersebut antara penggugat dan tergugat. Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli sesuatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikan bahwa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mempunyai utang pada tergugat.

Daftar Referensi

  • Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV, Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm. 64.
  • Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104.
  • Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118.
  • Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.