Literasi Hukum – Artikel ini membahas legalitas fotokopi buku sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata di Indonesia. Dimulai dengan sejarah perlindungan hak cipta yang sudah diterapkan sejak masa kolonial hingga UU Hak Cipta 2014, artikel ini mengulas hak eksklusif bagi pencipta buku dan perlindungan hak cipta dari pelanggaran. Selain itu, artikel menjelaskan peran alat bukti dalam persidangan dan ketentuan hukum yang membolehkan penggunaan fotokopi buku untuk keperluan pembuktian peradilan, dengan syarat penjelasan dan kutipan yang lengkap sesuai dengan prinsip fair use.
Buku Sebagai Ciptaan yang Dilindungi
Perlindungan hak cipta dimulai sejak zaman Belanda menduduki Indonesia, yang kemudian diperbarui terkahir dengan UU Hak Cipta 2014. Hal ini diatur sebab Indonesia sebagai negara yang melindungi karya-karya dari penjiplakan dan pembajakan yang berujung pada instabilitas dan stagnansi ekonomi makro. Selain itu, konsekuensi bergabungnya Indonesia ke WTO adalah juga mengakui konvensi-konvensinya, termasuk TRIPS. Hak cipta, secara yuridis normatif, merupakan:
“hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwjudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Selanjutnya, UU Hak Cipta juga mengurai jenis-jenis Ciptaan, termasuk buku (vide Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta). Oleh karena buku merupakan Ciptaan, maka penulis buku merupakan Pencipta dan terhadapnya melekat hak eksklusif berupa hak ekonomi dan hak moral. Ketentuan mengenai hak moral diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta, sedangkan mengenai hak ekonomi tersebar dalam beberapa pasal.
Buku dilindungi oleh UU Hak Cipta dengan pemisahan, yakni penulis naskah buku sebagai Pencipta dan penerbit sebagai pemegang hak cipta.[1] Hubungan hukum demikian diatur dalam Pasal 80 UU Hak Cipta.
Tinjauan Umum Aspek Pembuktian
Pranata hukum acara di Indonesia meletakkan pembuktian sebagai aspek penting dalam rangkaian persidangan dalam keempat badan peradilan. Riduan Syahrani mengurai bahwa pembuktian merupakan penyajian alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa.[2]Di lain sisi, Subekti mengurai bahwa pembuktian adalah proses bagaimana alat bukti digunakan, diajukan, juga dipertahankan dalam hukum acara tertentu.[3]
Munir Fuady berpendapat bahwa hukum pembuktian akan menentukan kepada siapa suatu beban pembuktian diletakkan.[4] Adapun beban pembuktian merupakan penentuan oleh hukum bahwa terhadapnya harus membuktikan apa saja fakta/kebenaran yang didalilkan, yang mana melalui pembuktian tersebut akan terang, baik bagi pihak lawan atau hakim, bahwa kebenaran tersebut benar-benar terjadi serta menimbulkan konsekuensi bahwa apabila pihak tersebut gagal membuktikan maka dia harus dinyatakan kalah.
Oleh karena terdapat beban pembuktian, maka tentu diperlukan bukti untuk mendukung fakta. Andi Hamzah mendefinisikan bukti sama seperti Subekti, melainkan alat bukti yang diurai berbeda, yaitu upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil dalam perkara pidana.[5] Hari Sasangka dan Lily Rosita menguraikan bahwa alat bukti merupakan segala suatu yang berhubungan dengan suatu perbuatan, yang mana dengan alat bukti tersebut akan digunakan untuk menimbulkan keyakinan bagi hakim.[6] Bambang Waluyo berpendapat bahwa alat bukti merupakan suatu hal, baik barang maupun non-barang, yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipergunakan guna menguatkan atau menolak dakwaan, tuntutan, atau gugatan.[7]
Pada perkembangannya, pembentuk undang-undang menambah jenis alat bukti baru dalam hukum acara, yakni alat bukti elektronik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Menurut Lamintang, suatu informasi dan/atau dokumen elektronik adalah alat bukti yang sah dan dapat disimpan dalam atau diambil kembali dari penyimpanan data.[8] Beberapa hal yang dapat dihadirkan sebagai alat bukti elektronik, seperti foto, visual-audio, atau tangkapan layar. Akan tetapi, perlu diperhatikan syarat formil dan materiil agar alat bukti elektronik dapat diajukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (4), Paal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE. Oleh karena itu, dalam banyak hal biasa digunakan digital forensik untuk menguji keabsahan suatu informasi/dokumen elektronik.
Urgensi Alat Bukti Tertulis dalam Sidang Pembuktian Perdata
Menurut Yahya Harahap, alat bukti harus diajukan dalam persidangan guna membuktikan kebenaran suatu dalil.[9] Oleh karenanya, seluruh jenis alat bukti sedapat mungkin diajukan di muka persidangan. Menurut ketentuan hukum acara perdata, alat bukti yang dikenal adalah bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBG.[10] Terhadap kelima jenis alat bukti tersebut, yang lazim diutamakan adalah bukti tulisan.
Adapun yang dimaksud dengan bukti tulisan, dalam Pasal 165 HIR, diartikan sebagai akta otentik/akta bawah tangan. Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa akta adalah surat yang ditandatangani, berisikan peristiwa-peristiwa dan sengaja dibuat untuk menjadi dasar terhadap suatu hal.[11] Surat, menurut Paton, merupakan bukti yang bersifat dokumenter.[12] Hal ini dapat dipahami sebab fungsi surat adalah untuk menangkap suatu hubungan hukum antara para pihak yang dituangkan dalam kata-kata guna membuktikan keadaan tersebut di kemudian hari. Sesuai dengan prinsip dalam Pasal 163 HIR/Pasal 283 RBG, actori incumbit probatio, maka pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengungkapkan buktinya, termasuk bukti tulisan. Meski demikian, mengenai prinsip tersebut, adalah sulit untuk ditentukan siapa yang harus memberikan bukti-buktinya.[13]
Penggunaan Fotokopi Buku Sebagai Alat Bukti
Merujuk pada ketentuan UU Hak Cipta, sejatinya sangat melindungi Pencipta dari potensi pelanggaran hak cipta. Pelanggaran terjadi sebab adanya tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh Pencipta, tetapi dilakukan oleh pihak lain yang tidak mendapat izin dari Pencipta.[14] Contoh pelanggaran hak cipta adalah mengutip sebagian atau seluruh Ciptaan orang lain untuk dimasukkan ke dalam Ciptaannya sendiri sehingga timbul kesan seolah dialah Penciptanya. Selain itu, ada pula mengambil Ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan untuk kepentingan komersial.[15]
Akan tetapi, tidak selamanya penggunaan tanpa izin disebut sebagai pelanggaran hak cipta. UU Hak Cipta telah menerima doktrin fair use ke dalam Pasal 43 hingga Pasal 45. Terkait dengan penggunaan buku sebagai alat bukti, sejatinya hal ini diizinkan oleh Pasal 44 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta. Meskipun penjelasan pasal tidak mengurai apa yang dimaksud kepentingan peradilan, tetapi dengan penalaran yang wajar, aspek pembuktian juga termasuk ke dalam kepentingan peradilan, yakni menyajikan bukti kepada hakim mengenai dalil yang disampaikan.
Namun demikian, norma pada pasal a quo cukup ketat, yakni fair use tetap harus mencantumkan secara lengkap. Dengan demikian, apabila memang para pihak mengutip buku dalam jawab-jinawab dan hendak melampirkan fotokopi sebagai bukti, maka wajib mencantumkan secara jelas kutipan buku tersebut.
Kesimpulan
Menurut Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta, buku merupakan Ciptaan yang dilindungi sehingga penggunaan buku harus memperhatikan hak-hak eksklusif Pencipta. Di sisi lain, tak jarang para pihak, dalam upaya membuktikan dalilnya di agenda pembuktian, melampirkan fotokopi buku untuk menguatkan bahwa kutipan buku di berkas jawab-jinawab benar adanya. Terhadap fenomena tersebut, sejatinya diizinkan oleh hukum melalui Pasal 44 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta dengan syarat, yakni wajib mencantumkan secara jelas kutipan buku tersebut.
Daftar Bacaan
[1] Tri Aktrayani, “Implementasi Pembayaran Royalti dalam Perjanjian Lisensi pada Penerbitan Buku”, Jurnal Supremasi Hukum, Volume 5, Nomor 5, 2016, h. 73.
[2] Riduan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, h. 55.
[3] Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakara, 1991, h. 7.
[4] Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 45.
[5] Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1999, h. 199.
[6] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, h. 11.
[7] Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h. 3.
[8] P A F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 409.
[9] M Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, h. 539-540.
[10] Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Jakarta, 1992, h. 22.
[11] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, h. 149.
[12] Ibid., h. 141.
[13] Retnowukan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawniata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1995, h. 55.
[14] Agus Sardjono, Hak Cipta dalam Desain Grafis, Yellow Dot Publishing, Jakarta, 2008, h. 51.
[15] Muhammad Abdulkadir, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, h. 240.