Kekayaan Intelektual

Orisinalitas Ciptaan menurut Pelindungan Hak Cipta di Indonesia

Ramos Perisai
264
×

Orisinalitas Ciptaan menurut Pelindungan Hak Cipta di Indonesia

Share this article
Orisinalitas Ciptaan
(Sumber: Unsplash/Kumpan Electric)

Literasi HukumHukum hak cipta di Indonesia tidak mengatur secara konkrit atas syarat orisinalitas dari suatu ciptaan. Implementasinya bergantung pada doktrin dan praktik.

Ciptaan dan Orisinalitas

Dalam teori klasik hukum hak cipta, pelindungan hak cipta baru berlaku atas suatu ciptaan jika ciptaan tersebut bersifat “orisinal”. Orisinal berarti asli sehingga ciptaan yang orisinal adalah ciptaan yang asli. Lebih lanjut, ciptaan yang orisinal menunjukkan sisi kreatifitas pencipta dalam level tertentu.

Syarat orisinal sangatlah penting. Bersama-sama dengan syarat “fiksasi”, syarat ini menekankan pada keberadaan nyata dari ciptaan sebagai syarat agar ciptaan itu mampu mendapat pelindungan hak cipta. Hanya saja, fiksasi menitikberatkan wujud, sedangkan orisinal menitikberatkan estetika.

Yang menarik, hukum hak cipta di Indonesia, terutama yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), tidak mengatur syarat orisinalitas ciptaan secara eksplisit. Ini berbeda dengan syarat fiksasi yang diatur secara gamblang dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 42 huruf a dari UU Hak Cipta.

Syarat orisinalitas ciptaan dapat kita temukan melalui definisi ciptaan pada Pasal 1 angka 3, tepatnya pada frasa berbunyi “… yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian …”. Secara kolektif, frasa tersebut dapat dianggap sebagai “kreativitas”. Alhasil, kreativitas dalam UU Hak Cipta berkaitan dengan orisinalitas ciptaan.

Mengapa orisinalitas berkaitan dengan kreativitas? Sebab, kreativitas menjadi pemantik bagi pencipta untuk membuat ciptaan yang unik dan bukan milik orang lain. Kreativitas mendorong pencipta untuk mewujudkan ciptaan agar menjadi sesuatu yang spesial. Setelah itu, barulah ciptaan memiliki sifat yang orisinal. Kita dapat mengatakan bahwa ciptaan yang orisinal lahir berdasarkan daya kreatif pencipta.

Kreativitas pencipta yang menjadi pemicu lahirnya ciptaan yang orisinal, turut menunjukkan independensi pencipta. Di sini, pencipta dianggap sebagai seseorang yang berdikari. Ia mampu untuk menggunakan akal dan perasaannya secara mandiri untuk membentuk ciptaan yang baru dan tiada dua, sehingga kelak, ia diakui sebagai pionir yang membentuk ciptaan tersebut.

Alhasil, orisinalitas ciptaan mengandung setidaknya 2 elemen, yaitu kreativitas dan independensi pencipta. Kedua elemen ini bersifat kumulatif – jika salah satu di antara keduanya tidak terpenuhi, sifat orisinal pada ciptaan juga dianggap tidak terpenuhi.

Di satu sisi, tidak mungkin suatu ciptaan bersifat orisinal jika ciptaan itu hanya mengandalkan kreativitas dan penciptanya tidak independen. Pencipta yang tidak independen berarti pencipta yang membutuhkan bantuan dari pihak lain untuk mewujudkan ciptaan. Bila ini terjadi, level kreativitas dari ciptaan itu justru dipertanyakan: seberapa jauh porsi daya kreatif antara pencipta dan pihak lain untuk mewujudkan ciptaan? Harap diingat bahwa ini merupakan persoalan yang berbeda dengan fenomena joint authorship atau jenis ciptaan yang dibentuk oleh lebih dari 1 orang pencipta.

Di sisi lain, tidak mungkin suatu ciptaan bersifat orisinal jika ciptaan itu dibuat secara independen tanpa adanya kreativitas. Betapapun mandirinya si pencipta, ciptaan yang tidak kreatif jelas tidak orisinal sama sekali sebab tidak ada elemen yang membuat ciptaan itu menjadi sesuatu yang unik. Bahkan, sejatinya, “ciptaan” tersebut tidak dapat dianggap sebagai ciptaan dan pembentuknya tidak dapat disebut sebagai pencipta.

Perlu menjadi catatan bahwa orisinalitas ciptaan tidak memiliki syarat yang begitu ketat (robust). Ciptaan yang orisinal tidak harus selalu berupa ciptaan yang benar-benar baru. Asalkan pencipta dapat membuktikan bahwa ia adalah pihak yang membentuk ciptaan tersebut, sifat orisinal ciptaan sudah dianggap ada. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana cara membuktikan orisinalitas tersebut?

Orisinalitas dalam Doktrin dan Praktik

Sayangnya, UU Hak Cipta tidak mengatur ketentuan eksplisit dari orisinalitas ciptaan. Dampaknya, bukan saja kita tidak mampu menentukan ruang lingkup orisinal ciptaan, kita juga tidak memiliki parameter untuk mengukur sifat orisinal itu sendiri. Sebagai solusi, kita dapat mengetahui sifat orisinal ciptaan dengan merujuk pada ragam doktrin serta praktik yang ada.

Segelintir pendapat menawarkan upaya mengukur orisinalitas ciptaan melalui mekanisme yang disebut sebagai metode komparasi. Di sini, untuk mengukur keaslian suatu ciptaan, ciptaan tersebut diperbandingkan dengan ciptaan lain yang pernah ada dan berada dalam 1 klasifikasi.

Pada metode komparasi, mudah untuk menentukan orisinalitas di antara 2 ciptaan atau lebih. Tidak jelas aspek yang menjadi perbandingan dalam metode komparasi. Beberapa praktik menunjukkan bahwa metode komparasi hanya memanfaatkan perbandingan antarciptaan dari segi estetika dan, barangkali ada, segi teknis. Jika ada perbedaan di antara setiap ciptaan, bahkan perbedaan sedikit saja, masing-masing ciptaan akan dianggap orisinal.

Kita dapat melihat bagaimana metode komparasi ini digunakan melalui perkara yang diputus Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan No. 6 K/Pdt.Sus/2012. Putusan ini berawal dari klaim Penggugat yang menyatakan bahwa Tergugat telah menjiplak alat peraga pendidikan miliknya. Dalam amar putusan, majelis hakim menolak klaim Penggugat dengan pertimbangan bahwa alat peraga pendidikan masing-masing pihak memiliki perbedaan yang jelas baik dari segi tampilan maupun cara kerjanya.

Metode komparasi digunakan pula dalam kasus plagiarisme lukisan yang diadili melalui Putusan No. 855 K/Pdt.Sus-HKI/2016. Dalam putusan, majelis hakim memperkuat putusan tingkat pertama yang menyatakan bahwa Tergugat telah memplagiat lukisan milik Penggugat. Setelah lukisan milik kedua pihak diperbandingkan, plagiasi itu benar terjadi sebab unsur yang ada dalam lukisan Tergugat persis dengan unsur dalam lukisan Penggugat.

Tantangan dari metode komparasi adalah ciptaan yang menjadi tolok ukur. Harus ada ciptaan pendahulu (prior creation) yang dapat dibandingkan terhadap ciptaan terbaru (latter creation). Jika ciptaan terbaru diklaim sebagai ciptaan yang tidak orisinal, pihak yang mengajukan klaim wajib membuktikan sejauh apa ciptaan terbaru menjiplak ciptaan pendahulu.

Bagaimana jika kita tidak memiliki ciptaan pendahulu untuk menjadi batu uji orisinalitas ciptaan terbaru? Dalam kasus ini, metode komparasi tidak relevan sebab sudah jelas bahwa ciptaan yang terbaru akan menjadi ciptaan yang orisinal dan justru menjadi batu uji orisinalitas ciptaan lain yang akan eksis di masa mendatang. 

Ketimbang mempermasalahkan keberadaan ciptaan pendahulu, kita sebaiknya fokus pada persoalan yang lebih penting berkaitan dengan metode komparasi. Misalnya, apakah metode komparasi mampu menyelesaikan kasus plagiasi ciptaan yang melibatkan 2 ciptaan atau lebih dalam klasifikasi yang berbeda, tetapi memiliki elemen fundamental yang sama?

Sebagai contoh, dalam sebuah film bertema science fiction yang menceritakan teknologi pesawat luar angkasa, terdapat narasi yang mencatut temuan dalam artikel akademis yang dirilis oleh seorang ahli di bidang teknologi pesawat terbang. Setidaknya, berdasarkan ketentuan UU Hak Cipta, “film” dan “artikel akademis” adalah 2 ciptaan dengan klasifikasi yang berbeda. Maka dari itu, apakah dengan metode komparasi, kita dapat menyatakan bahwa film tersebut tidaklah orisinal terhadap temuan artikel?

Ada gagasan yang menawarkan upaya mengukur orisinalitas ciptaan dengan menggunakan metode komparasi esensialis. Di sini, kita masih menggunakan metode komparasi, tetapi kita berfokus pada perbandingan elemen-elemen yang unik atau tidak biasa di antara setiap ciptaan. Khusus dalam pembuktian pelanggaran hak cipta, elemen unik dari ciptaan harus melekat pada ciptaan milik pihak yang mengklaim adanya pelanggaran.

Agar menjadi makin jelas, elemen yang unik pada ciptaan yang orisinal sepatutnya memiliki konsep. Pencipta perlu membuktikan bahwa ciptaan miliknya mengandung elemen yang unik dengan dasar filosofi tertentu, seperti alasan personal atau tradisi kebudayaan. Tentu saja konsep narasi filosofi dan elemen unik ini harus telah memiliki wujud nyata yang melekat pada ciptaan demi menghindari kelemahan pelindungan hak cipta yang tidak berlaku atas ide semata.

Aplikasi metode komparasi esensial dapat kita temukan dalam kasus plagiasi logo huruf yang diadili melalui Putusan No. 298 K/Pdt.Sus-HKI/2013. Dalam kasus ini, Termohon Kasasi (dahulu Penggugat) memiliki logo yang mengandung seni kaligrafi dengan huruf Arab, dan selanjutnya mengajukan gugatan plagiasi logo oleh terhadap Pemohon Kasasi (dahulu Tergugat) kepada pengadilan niaga. Singkat cerita, amar putusan menyatakan bahwa permohonan dari Pemohon Kasasi ditolak dan ia tetap dinyatakan terbukti telah melakukan plagiasi logo.

Putusan di atas memuat pertimbangan majelis hakim yang menggunakan metode komparasi esensialis untuk menilai orisinalitas dari logo milik kedua belah pihak. Logo milik Termohon Kasasi begitu unik dengan elemen khas berupa kaligrafi dalam huruf Arab. Nyatanya, elemen yang sama terdapat dalam logo milik Pemohon Kasasi. Dengan diperkuat bukti bahwa logo milik Termohon Kasasi telah dicatatkan terlebih dahulu, Pemohon Kasasi secara nyata menjiplak logo Termohon Kasasi. Hal tersebut tetap berlaku bahkan ketika Pemohon Kasasi beralasan bahwa logo miliknya termasuk ke dalam “seni logo”, sedangkan logo milik Termohon Kasasi termasuk ke dalam “seni kaligrafi”.

Orisinalitas atas Ciptaan Kolektif

Ciptaan kolektif dapat diartikan sebagai suatu ciptaan yang dibentuk berdasarkan segelintir objek. Contoh ciptaan kolektif adalah kolase dan basis data (database). Dalam UU Hak Cipta, ciptaan kolektif ini diakui dan mendapat pelindungan hak cipta.

Elemen penyusun ciptaan kolektif dapat berupa objek yang menjadi milik umum (public domain). Misalnya, dalam database, objeknya adalah informasi berupa fakta yang tidak dilindungi hak cipta. Oleh karena sifat substansinya yang demikian, logis untuk menyatakan bahwa database sepatutnya tidak mendapat pelindungan hak cipta. Namun, UU Hak Cipta mengatur sebaliknya. Dengan demikian, UU Hak Cipta mengakui bahwa ciptaan kolektif semacam database memiliki orisinalitas.

Pertanyaan yang timbul adalah apa ukuran dari orisinalitas ciptaan kolektif? Suatu pendapat menyatakan bahwa sifat orisinal ciptaan kolektif muncul melalui metode yang digunakan pencipta untuk memanipulasi informasi yang menjadi penyusun ciptaan. Orisinalitas ini tidak terletak pada substansi, melainkan pada usaha yang dikerahkan oleh pencipta untuk mewujudkan ciptaan kolektif dengan mekanisme yang unik.

Beberapa objek memiliki bentuk yang sama seperti ciptaan kolektif, tetapi objek tersebut tidak dapat dianggap sebagai ciptaan. Misalnya, buku telepon yang berisi daftar nomor telepon masyarakat. Buku telepon hanya sekadar menunjukkan data dan mengindikasikan usaha minimal dari penyusun buku. Oleh karena itu, buku telepon bukan merupakan ciptaan kolektif.

Berbeda halnya dengan database yang dianggap sebagai ciptaan kolektif. Dalam membuat database, penyusun data tidak sekadar mengkurasi data. Penyusun data turut memanfaatkan daya kreatif miliknya, meskipun kapasitasnya relatif rendah, untuk mengkurasi data dalam database yang kelak akan bermanfaat bagi kelompok tertentu. Proses kurasi data ini umumnya menggunakan metode seleksi, koordinasi, dan aransemen yang dapat menunjukkan ciri khas dari penyusun data. Untuk itulah database mendapat pelindungan hak cipta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Diperbolehkan Merekam Artis Saat Konser? Bagaimana Hak Ciptanya?
Opini

Literasi Hukum – Beberapa konser musik sekarang sudah memperbolehkan para penontonya untuk merekam pertunjukan. Perekaman ini umumnya disertai dengan catatan-catatan khusus seperti tidak boleh merekam menggunakan kamera professional ataupun tidak…

Tracing Art
Opini

Literasi Hukum – Artikel ini membahas polemik mengenai maskot Nindy dari DJPb yang dianggap sebagai hasil “tracing art” atau menjiplak oleh sebagian netizen Indonesia. Polemik ini akhirnya ditutup dengan permintaan…