Literasi Hukum – Dibandingkan dengan bidang kajian hukum yang lain, hukum kesehatan tidak terlalu familiar bagi masyarakat Indonesia. Bisa jadi hal ini dikarenakan eklusifitas hukum kesehatan yang lebih akrab di kalangan akademisi dan praktisi kesehatan. Hukum kesehatan wajib dipelajari oleh mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia dalam mata kuliah Medikolegal, sebaliknya, hukum kesehatan tidak wajib dipelajari oleh mahasiswa hukum.
Pesatnya perkembangan sistem jaminan kesehatan nasional mewajibkan setiap warga negara Indonesia terdaftar dalam kepesertaan Badan Penjamin Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini dimaksudkan agar praktik jaminan kesehatan itu selaras dengan bunyi Pasal 28 H UUD 1945 “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya.”
Dalam menjalankan amanat konstitusi tersebut, setiap warga negara perlu memahami hak-hak yang berkaitan dengan kesehatan beserta kewajiban negara dalam memenuhinya. Olehkarenanya pengetahuan hukum kesehatan sudah seharusnya dimiliki oleh semua orang.
Pengertian Hukum Kesehatan
Prof. H.J.J. Leenen merumuskan hukum kesehatan meliputi semua ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan dan penerapan dari hukum perdata, hukum piana, dan hukum administratif dalam hubungan tersebut. Pula pedoman internasional, hukum kebiasaan, dan jurisprudensi yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, hukum otonom, ilmu dan literatur, menjadi sumber hukum kesehatan (Fred Ameln,1991,14).
Rumusan pengertian di atas memberikan gambaran bahwa hukum kesehatan berfokus pada segala ketentuan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (health care), baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan hukum yang berhubungan secara langsung dengan pemeliharaan kesehatan misalnya ketentuan mengenai tata cara imuninasi dan ketentuan pemberantasan penyakit menular. Sedangkan ketentuan tidak langsung didasarkan pada aturan-aturan yang berdimensi hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administratif yang diterapkan berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
Dimensi Hukum Perdata dalam Hukum Kesehatan
Di dalam pemeliharaan kesehatan ada dua pihak yang perlu dibedakan:
- Health Receivers, yaitu penerima layanan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah pasien yaitu orang yang sakit, dan orang yang ingin memelihara atau meningkatkan kesehatan.
- Health Providers, yaitu pemberi pelayanan kesehatan, yaitu dokter dan tenaga bidang kesehatan lain seperti perawat, apoteker, bidan, laboran, ahli gizi, dan lainnya.
Penerapan hukum perdata dalam pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari relasi antara Health Receivers dan Health Providers. Hubungan antara dokter dengan pasien misalnya, tidak hanya hubungan medis, melainkan juga hubungan hukum yang terdapat dalam perjanjian medis atau apabila berkaitan dengan penyembuhan/kuratif disebut sebagai Perjanjian Terapeutik.
Perjanjian antara dokter dengan pasien dalam pemeliharaan kesehatan tidak selalu bersifat kuratif, tetapi juga preventif (pencegahan penyakit), rehabilitatif (pemulihan kesehatan), dan promotif (peningkatan kualitas kesehatan). Perjanjian itu sendiri diatur dalam KUH Perdata di dalam hukum perikatan. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat sahnya perjanjian dan apabila ada pihak yang dirugikan -menurut Pasal 1365 KUH Perdata, pihak yang menimbulkan kerugian tersebut wajib membayar ganti rugi.
Dimensi Hukum Pidana dalam Hukum Kesehatan
Merujuk pada KUHP, ketentuan pidana yang sekiranya dapat diterapkan pada lingkup hukum kesehatan antara lain adalah:
- Pasal 359 KUHP: Barangsiapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun penjara.
- Pasal 360 KUHP: Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun.
Kedua pasal tersebut dapat dikenakan pada dokter atau pemberi layanan kesehatan yang lain apabila dalam bertugas ia lalai dan menyebabkan pasien meninggal atau mengakibatkan luka berat. Hal demikian pernah terjadi pada dr. Setianingrum seorang dokter di Kabupaten Pati pada tahun 1980-an, yang dituntut menggunakan Pasal 395 KUHP dan terbukti bersalah di tingkat pertama dan banding. Walaupun pada akhirnya ia bebas di tingkat kasasi, hingga kini ancaman pidana tetap berlaku bagi dokter atau pemberi layanan kesehatan lain yang lalai dalam menjalankan pekerjaannya terhadap pasien.
Dimensi Hukum Administratsi dalam Hukum Kesehatan
Perizinan merupakan instrumen administrasi yang paling krusial di dalam hukum kesehatan. Sebab, pelayanan kesehatan tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya izin dari pihak yang berwenang. Pendirian rumah sakit, klinik, apotek (SIA), praktik dokter (SIP), perawat (SIPP), apoteker (SIPA), dan profesi kesehatan yang lain memerlukan serangkaian prosedur yang diatur oleh peraturan perundang-undangan untuk dapat beroperasi atau menjalankan profesinya. Secara umum perizinan ini dimaksudkan untuk pengedalian aktivitas tertentu, pencegahan bahaya bagi lingkungan, dan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas (Ridwan HR, 2016, 209).
Pedoman Lain dalam Hukum Kesehatan
Selain bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada, dalam praktiknya hukum kesehatan juga berpedoman pada hukum internasional, hukum kebiasaan, dan yurisprudensi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Adanya hukum otonom di dalam lingkup organisasi profesi kesehatan juga menjadi pedoman dalam praktik pelayanan kesehatan. Misalnya dalam lingkup profesi dokter dikenal Kode Etik Kedokteran (Kodeki) dan Mahkamah Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang berperan layaknya badan peradilan intern.
Berlakunya Suatu Undang-Undang Kesehatan
Sebelumnya, ketiga dimensi hukum dalam hukum kesehatan tersebut di atas secara parsial juga diatur oleh suatu undang-undang yang bersifat khusus, antara lain:
- UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan
- UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
- UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
- UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
- UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
- UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran
- UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
- UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
- UU No. 419 Tahun 1949 tentang Ordonansi Obat Keras
Akan tetapi sejak tanggal 8 Agustus 2023, pemerintah telah melakukan harmonisasi undang-undang di bidang kesehatan melalui UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Hal ini dilakukan dalam rangka peningkatkan kapasitas dan ketahanan kesehatan yang memerlukan penyesuaian berbagai kebijakan untuk penguatan sistem kesehatan secara integratif dan holistik dalam satu undang-undang. Dalam Pasal 454 Undang-Undang Kesehatan terbaru menyatakan undang-undang yang telah disebutkan di atas sebelumnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Berlakunya UU No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan sebagai satu undang-undang kesehatan yang bersifat komprehensif sedikit banyak telah mengubah lanskap sistem kesehatan yang sebelumnya sudah ada. Hal ini juga berpengaruh pada perkembangan hukum kesehatan Indonesia di masa yang akan datang.
Referensi:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan
- Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991
- Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2016