Recommendation
Rekomendasi Buku Hukum Pidana
Opini

Fast Track Legislation: Dampaknya terhadap Prinsip Partisipasi Bermakna dalam Pembentukan Peraturan di Indonesia

Rafi Pravidjayanto
119
×

Fast Track Legislation: Dampaknya terhadap Prinsip Partisipasi Bermakna dalam Pembentukan Peraturan di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Mengenal Fast Track Legislation dan Apakah Mendegradasi Prinsip Meaningfull Participant dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Mengenal Fast Track Legislation dan Apakah Mendegradasi Prinsip Meaningfull Participant dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Literasi HukumArtikel ini membahas mekanisme fast-track legislation dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, termasuk analisis terhadap penerapannya yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu, artikel ini mengeksplorasi pentingnya meaningful participation sebagai elemen fundamental dalam proses legislasi untuk memastikan keadilan, transparansi, dan keterlibatan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.

Pendahuluan

Nilai-nilai pragmatis yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan utama Pembangunan hukum nasional, nilai yang terkandung tersebut meliputi nilai kekeluargaan, keselarasan, keserasian, dan keseimbangan yang membentuk suatu paradigma harmoni. Perubahan UUD 1945 amandemen ke-3 dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, sehingga menjadi konsekuensi logis bahwa segala bentuk tindakan negara termasuk warga negara dan subjek-subjek hukum lainnya harus berdasarkan hukum. Hal ini mengandung arti bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[1] Prajudi Atmosudirjo mengatakan terdapat tiga asas yang harus dimiliki oleh negara hukum yakni, Asas monopoli paksa dimana Negara menggunakan alat kekuasaannya untuk membuat orang mentaati apa yang menjadi Keputusan penguasa. Asas persetujuan rakyat, dimana asas ini mengandung arti bahwa orang hanya wajib patuh kepada peraturan yang dibuat oleh lembaga negara dari representasi rakyat, yakni Dewan Perwakilan Rakyat. Asas Persekutuan hukum mengandung arti bahwa bersama-sama rakyat dan penguasa tunduk pada hukum yang sama dan setara.[2]

Hal tersebut selaras dengan pembentukan undang-undang yang harus memenuhi kebutuhan rakyat dengan pemenuhan asas kesetaraan sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945. Namun, dalam tataran lembaga negara, terdapat ketidakseimbangan presiden yang secara proaktif dalam pembentukan undang-undang. Kekuasaan ini jelas membuka celah presiden untuk mengintervensi waktu, arah, dan prioritas Pembangunan negara. Dalam konteks Indonesia kekuasaan semacam itu memang tidak ditemukan dalam konstitusi, namun secara implisit, presiden Indonesia dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam keadaan kegentingan memaksa. Akan tetapi mengikuti perkembangan waktu, penerbitan perppu dirasa digunakan tidak hanya untuk merespon keadaan mendesak suatu negara, akan tetapi digunakan untuk mempercepat pembuatan undang-undang tanpa jalur yang seharusnya (fast-track legislation).[3]

Sehingga melihat peta permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan dalam menganalisis terkait bagaimana mekanisme fast-track legislation dan penerapannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memasukkan unsur meaningfull participation dalam penerapannya. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif serta pendekatan konseptual dan perundang-undangan menghasilkan mekanisme fast-track legislation yang berbasis demokratis.

Gagasan Fast-Track Legislation dan Mekanisme Penerapannya di Indonesia

Mekanisme membentuk hukum atau undang-undang secara cepat merupakan peristilahan yang lazim digunakan dalam menamai fast-track legislation. Mekanisme ini memungkinkan menghasilkan produk hukum dalam waktu singkat. Akan tetapi tidak serta merta dibuat secara cepat, fast-track legislation harus mempertimbangkan menggunakan konsideran hukum yang jelas.[4] Memang di Indonesia sendiri belum mengatur secara khusus mengenai mekanisme fast-track legislation. Akan tetapi, terdapat beberapa kondisi yang dapat memungkinkan fast-track legislation digunakan, namun tetap, belum ada prosedur formal yang mengatur terkait mekanisme tersebut.[5]

Walaupun gagasan fast-track legislation ini masih baru. akan tetapi pembatasan dan mekanisme merujuk pada tulisan Ibnu Sina Chandranegara bahwasannya, mekanisme fast-track legislation mungkin diterapkan dengan menggunakan mekanisme:

  1. Menghapus Perppu agar tidak menimbulkan potensi kekuasaan yang diktaktoris (dictactorship constitutional),
  2. Lebih membatasi waktu pembuatan RUU, daripada mengurangi tahapan pembuatan RUU,
  3. Menetapkan Syarat Konstitusional terhadap Undang-Undang apa saja yang dapat ditempuh oleh jalur fast-track legislation,
  4. Pemuatan sunset clause atau klausul jangka waktu pemberlakuan perundang-undangan tersebut pada bagian akhir,
  5. Memuat kewajiban peninjauan kegislasi pasca disahkan RUU melalui mekanisme fast-track legislation : post-legislative review dengan jangka waktu dua tahun sejak diberlakukannya, apabila telah tenggat waktu tidak selesai, maka Undang-Undang tersbeut tidak berlaku mengikat dengan sendirinya,
  6. Mengecualikan fast-track legislation pada Undang-Undang yang ditempuh melalui metode omnibus.[6]

Pengaturan fast-track legislative sebagaimana tahapan diatas memiliki beberapa kekurangan dan hambatan, yakni salah satunya adalah meurunnya partisipasi publik dalam pembahasan Undang-Undang. Hal tersebut merupakan kritik penerapan fast-track legislation di beberapa negara lain. Oleh karena itu, dengan jalan meaningfull participation dapat menutupi kekurangan tersebut dalam pembahasan selanjutnya.

Meaningfull Participation dan Penerapannya pada Fast Track Legislation

Dalam konsep negara hukum yang berbasis demokrasi, penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan keinginan rakyat merupakan hal yang substansial. Frasa meaningfull participation mulai digagas pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Sebelum itu, partisipasi masyarakat telah diatur dan dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan pasal 27 ayat (1), dan pasal 28C ayat (2) UUD 1945, yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara.[7] Apabila suatu proses pembentukan perundang-undangan menyalahi prinsip tersebut, maka dapat dikatakan UU tersebut menyalahi prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).

Meaningfull participation setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yakni, pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard) dalam hal ini masyarakat berhak untuk menuntut pemenuhan hak dalam upaya mewujudkan keadilan. Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) merupakan kewajiban pemerintah untuk mempertimbangkan segala masukan yang diberikan oleh masyarakat. Ketiga, (hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan (right to be explained) merupakan kewajiban pemerintah dalam memberikan jawaban atas segala aspirasi yang telah diberikan.[8] Meaningfull participation harus dilaksanakan paling tidak pada tahapan pengajuan rancangan undang-undang, pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan presiden, serta pembahasan bersama DPR, Presiden, dan DPD sepanjang persetujuan DPR dan Presiden sesuai dengan amanat Pasal 22D ayat (1) da (2) UUD 1945.[9]

Lalu, dalam mewujudkan Pembangunan hukum yang responsif berbasis demokrasi, maka periu kiranya memasukkan unsur meaningfull participation kedalam gagasan fast-track legislation. Adapun sebagai basis analisis adalah rekomendasi penerapan fast-track legislation dalam model yang digagas oleh Ibnu Sina Candranegara bahwasannya pada tahapan sunset clause yakni adanya klausul jangka waktu maka dapat di adopsi pemenuhan akses publik dalam sarana aspirasi masyarakat dalam pembuatan Undang-Undang. Juga unsur meaningfull participation juga dapat masuk dalam tahapan post-legislative review, dalam hal ini masyarakat aktif dalam memberikan aspirasi dalam jangka waktu dua tahun. Hal ini diperlukan agar mekanisme fast-track legislation tidak keluar pada koridor nya dan tetap pada jalan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi.

Kesimpulan

Fast-track legislation merupakan mekanisme khusus pembuatan produk hukum secara singkat. Waktu yang terbatas dalam pembuatan undang-undang maka dikhawatirkan akan terjadi penurunan terhadap partisipasi publik. Dengan demikian terdapat model yang telah ditawarkan oleh penelitian sebelumnya, yakni dengan tahapan penghapusan perppu, pembatasan waktu pembahasan, pembatasan pokok materi yang dapat di tempuh melalui jalur fast-track legislation, penerapan klausul jangka waktu (sunset clause). Penerapan post-legislative review, dan pengecualian penggunaan fast-track legislation dalam Undang-Undang yang dibentuk melalui metode omnibus.

Terkait dengan meaningfull participation, bahwasannya telah diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020. Prasyarat dalam meaningfull participation adalah hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan jawaban atas pendapatnya. Apabila konsep ini diinternalisasi kedalam mekanisme fast-track legislation maka akan dapat mewujudkan responsibilitas yang lebih baik. Adapun tahapan yang dapat dilakukan partisipasi masyarakat yang bermakna adalah pada tahapan sunset clause, yakni menggunakan jangka waktu, dan post-legislative Review, yakni pengesahan sementara pada undang-undang, oleh karena pengesahan sementara, maka dimungkinkan konsep partisipasi masyarakat dapat masuk dalam memberikan aspirasi sesuai dengan amanat konstitusi.

Daftar Pustaka

[1] P.M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia: sebuah studi tentang prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi negara (Bina Ilmu, 1987). 83

[2] Prajudi. Atmosudirdjo, Hukum administrasi negara (Ghalia Indonesia, 1981). 20

[3] Ibnu Sina Chandranegara, “Pengadopsian Mekanisme Fast-Track Legislation dalam Pengusulan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden,” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (22 Februari 2021). 127-128

[4] Agnes Fitryantica dan Regy Hermawan, “Fast-Track Legislation Mechanism as an Alternative to the Formation of Legislation in Indonesia,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 16, no. 3 (30 November 2022): 423–32.

[5] Bayu Aryanto, Susi Dwi Harijanti, dan Mei Susanto, “Menggagas Model Fast-Track Legislation dalam Sistem Pembentukan Undang-Undang di Indonesia,” Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional 10, no. 2 (27 Agustus 2021): 197.

[6] Chandranegara, “Pengadopsian Mekanisme Fast-Track Legislation dalam Pengusulan Rancangan Undang-Undang oleh Presiden.” 137

[7] “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020”.

[8] Angga Prastyo, “Limitation of Meaningfull Participation Requirements in the Indonesian Law-Making Process,” Jurnal Hukum dan Peradilan 11, no. 3 (1 Desember 2022): 390.

[9] Unes Journal of Swara Justisia, “Partisipasi Bermakna Sebagai Wujud Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Undang-Undang | Unes Journal of Swara Justisia,” 6 Juli 2023, https://swarajustisia.unespadang.ac.id/index.php/UJSJ/article/view/337.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.