Literasi Hukum – Artikel ini membahas mengenai asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional yang menjadi dasar untuk melahirkan perjanjian dan dilaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan. Selain itu, artikel ini juga membahas mengenai pertanggungjawaban negara atas pelanggaran asas pacta sunt servanda, termasuk karakteristik yang timbul akibat dari pertanggungjawaban, serta pengecualian pertanggungjawaban negara dalam pelanggaran kewajiban internasional khususnya dalam perjanjian internasional.
Pengertian Asas Pacta Sunt Servanda
Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas yang paling fundamental dan universal dalam perjanjian internasional. Pengertian asas Pacta Sunt Servanda adalah perjanjian yang dibuat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat. Asas ini dikatakan fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjajian internasional dan melandasi dilaksanakannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak.
Dengan adanya asas ini juga memberikan arti bahwa pengingkaran atau pelanggaran kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau dikenal dengan wanprestasi. Penganut hukum alam, Grotius menyatakan bahwa asas pacta sunt servanda ini adalah asas-asas hukum alam yang melandasi sistem hukum internasional, menghormati janji-janji atau traktat-traktat.
Lebih lanjut dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 tentang Perjanjian Internasional di Pasal 26 tertulis jelas bahwa ”Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith” yang memiliki arti bahwa setiap kontrak atau perjanjian adalah sifatnya mengikat para pihak yang terikat di dalam kontrak atau perjanjian tersebut dan wajib dilaksanakan para pihak tersebut dengan iktikad baik. Jadi jika ada pihak yang melanggar perjanjian maka dianggap tidak melaksanakan iktikad baiknya.
Pertanggungjawaban atas Pelanggaran Asas Pacta Sunt Servanda
Menurut Pasal 1 pada Draft Articles on The Responsibility of States for Internationally Wrongful Act 2011 , menyatakan : “Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State.” Artinya setiap perbuatan atau kegiatan-kegiatan internasional yang salah oleh suatu negara maka negara tersebutlah yang harus bertanggungjawab. Jadi berdasarkan Draft Articles Wrongful Act 2011,apabila suatu negara melakukan pelanggaran maka negara tersebut harus bertanggungjawab.
Selanjutnya Malcolm N. Shawdalam dalam (Sundari, 2017), menyatakan bahwa terrdapat karakteristik yang timbul akibat dari pertanggungjawaban akan muncul yaitu :
- Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu;
- Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggung jawab negara;
- Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.
Maka berdasarkan karakteristik tersebut, apabila suatu negara melakukan tindakan baik itu yang dilakukan oleh pemerintah maupun suatu badan atau perorangan dalam suatu negara yang melanggar hukum internasional dan melanggar atau mengganggu hak, dan menimbulkan kerugian yang besar bagi negara lain dalam hukum internasional, maka negara pelaku dapat dikenakan prinsip pertanggungjawaban internasional. Jika terjadi pelanggaran perjanjian internasional, maka bentuk tanggung jawab negara adalah tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian atau disebut dengan contractual liability.
Namun ada pengecualian pertanggungjawaban negara dalam pelanggaran kewajiban internasional khusunya perjanjian Internasional dalam keadaan tertentu antara lain :
- Force Majeure (Pasal 23) Sama dengan KUHPerdata di Indonesia yang mengatur bahwa keadaan memaksa tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, maka Force Majeure dalam perjanjian internasional juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban negara. Tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada negara yang melanggar perjanjian apabila adanya kekuatan yang tidak dapat ditolak, diluar kontrol negara, serta tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban tersebut.
Persetujuan (Pasal 20). Berdasarkan pasal ini, jika telah terjadi kesepakatan atau persetujuan sebuah negara maka tidak dapat dikatakan melanggar perjanjian selama ada kesepakatan para pihak yang terikat perjanjian, misalnya : sama-sama saling sukarela setuju untuk menyepakati hal /tindakan diluar perjanjian. - Bela Diri (pasal 21 dan 22) Suatu tindakan negara tidak dianggap salah jika tidak bertentangan dengan peraturan internasional dari Piagam PBB sehingga tindakan bela diri dan balasan dalam hubungan internasional diperbolehkan.
- Distress (Pasal 24). Adalah suatu tindakan dimana negara harus menyelamatkan rakyat dan kedaulatannya sehingga ketika negara dalam keadaan sulit dan tidak dapat memenuhi perjanjian internasional karena harus bertanggungjawab pada keselamatan negaranya, hal ini tidak dianggap melanggar kewajiban internasional.
- Necesitty (Pasal 25) yakni negara mengambil tindakan untuk menyelamatkan kepentingannya dan juga menyelematkan kepentingan negara lain secara keseluruhan sehingga ketika keadaan negara mendesak, maka negara yang melanggar kewajiban internasional demi kepentingan negaranya dan negara lain tidak dianggap sebagai pelanggaran kewajiban internasional khususnya dalam hal perjanjian internasional.
Referensi
Wepi Sundari. 2017. Implementasi Prinsip International Responsibility Dalam Kasus Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia Terhadap Negara-Negara Tetangga. FH UNPAS
Purwanto,Harry (2009) KEBERADAAN ASAS PACTA SUNT SERVANDA DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL Jurnal MIMBAR HUKUM Volume 21 Nomor 1