Opini

Komparasi Regulasi Abortus Provocatus Medicinalis pada Negara Common Law dan Civil Law

Dini Wininta Sari, S.H.
1067
×

Komparasi Regulasi Abortus Provocatus Medicinalis pada Negara Common Law dan Civil Law

Sebarkan artikel ini
Abortus Provocatus Medicinalis
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Literasi Hukum – Aborsi dalam kondisi medis tertentu diatur dalam undang-undang di Indonesia dan di beberapa negara di dunia. Artikel ini membahas tentang abortus provocatus medicinalis kedaruratan dan bagaimana tindakan pengguguran kandungan diizinkan dalam kondisi medis yang mengancam nyawa ibu atau janin yang cacat. Selain itu, artikel ini juga membandingkan perbedaan peraturan antara negara Common Law dan negara Civil Law terkait aborsi dalam kondisi medis tertentu. Pelajari lebih lanjut tentang abortus provocatus medicinalis kedaruratan di Indonesia dan di negara-negara lain di dunia.

Apa Itu Abortus Provocatus Medicinalis Kedaruratan?

Dalam hukum positif di Indonesia, tindakan pengguguran kandungan (aborsi) pada sejumlah kasus tertentu dibenarkan apabila merupakan Abortus Provocatus Medicinalis/Therapeuticus, yang mana pelaku aborsi melakukannya atas dasar pertimbangan medis.

Abortus provocatus kedaruratan medis dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang telah diatur di dalam undang-undang, yaitu Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Undang-Undang Kesehatan) dengan alasan adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang lahir cacat sehingga sulit hidup di luar kandungan. 

Berbeda dengan isi Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan mengatur mengenai aborsi provokatus, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 KUHP melarang aborsi provokatus tanpa kecuali, termasuk abortus provocatus medicinalis atau abortus provocatus therapeutics. KUHP melarang aborsi dan sanksi hukumnya cukup berat.

Abortus Provocatus Medicinalis Kedaruratan di Negara Common Law

Pada tanggal 22 Januari 1973 Mahkamah Agung Amerika Serikat menjatuhkan putusan yang melegalkan aborsi dalam Roe v. Wade dan Doe v. Bolton. Putusan ini didasarkan pada amandemen ke-14 Konstitusi Amerika Serikat yang menjamin hak hidup, hak kebebasan, dan hak memperoleh harta milik bagi semua orang, namun tidak dapat diperluas sampai pada perlindungan terhadap janin. Pada masa pemerintahan Barack Obama tahun 2009, aborsi dilegalkan dengan syarat, yaitu kandungan yang digugurkan berusia kurang dari 12 minggu atau 3 bulan pertama masa kehamilan, praktik aborsi dilakukan oleh dokter dan klinik-klinik yang telah mendapat izin dari pemerintah.

Aborsi di Afrika merupakan fenomena yang sangat pelik, sebab terdapat dalam persimpangan antara ketidakadilan akibat hegemoni patriarki dengan norma sosial, agama, dan kebudayaan. Undang-undang mengharuskan perempuan yang ingin melakukan aborsi karena alasan kesehatan, setidaknya harus mendapatkan persetujuan dari dua dokter. Pada 2015, parlemen di Sierra Leone memilih mendukung undang-undang aborsi baru yang akan membuat aborsi menjadi aman dan legal. Pada tahun 2016, Komisi Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat mengumumkan kampanye untuk melegalkan aborsi di Afrika untuk melindungi kehidupan perempuan dan anak perempuan dengan melakukan dekriminalisasi aborsi.

Kanada melegalkan aborsi di semua tahap kehamilan dan didanai publik sebagai prosedur medis.  Pada tahun 1969, Undang-Undang Amandemen Hukum Pidana Kanada, mengesahkan beberapa aturan mengenai aborsi yakni selama komite dokter menyatakan bahwa melanjutkan kehamilan kemungkinan besar akan membahayakan nyawa atau kesehatan perempuan.  Namun tahun 1988, Mahkamah Agung Kanada menyatakan bahwa keseluruhan undang-undang aborsi di negara tersebut tidak konstitusional. Pengadilan menyatakan bahwa tidak ada legalitas pada bagian 251 KUHP karena melanggar bagian 7 dari Piagam Kanada Hak dan Kebebasan.

Abortus Provocatus Medicinalis Kedaruratan di Negara Civil Law

Pengaturan aborsi di Thailand diatur dalam Thai Criminal Code, yang menegaskan aborsi adalah perbuatan yang ilegal, kecuali dalam keadaan tertentu. Keadaan tertentu yang dimaksud adalah undang-undang memperbolehkan aborsi dilakukan oleh dokter jika diperlukan demi kesehatan dan keselamatan ibu atau kehamilan disebabkan oleh perkosaan. Mahkamah Konstitusi memerintahkan amandemen pada Pasal 301 dan Pasal 305 agar sesuai dengan realitas di Thailand saat ini, sehingga pada tanggal 17 November 2020, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh Senat pada 25 Januari 2021 dan mendapat persetujuan kerajaan pada 5 Februari 2021. Setelah dilakukan amandemen tersebut, maka ada pelonggaran regulasi tentang aborsi di Thailand.

Apa Itu Abortus Provocatus Medicinalis Perkosaan?

Pasal 31 Ayat (2) PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menegaskan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Lebih lanjut diatur dalam Pasal  34 Ayat (1) Kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Dari banyaknya kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki khususnya korban pemerkosaan membawa akibat buruk psikis dan mental, masyarakat berpandangan tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum sebab dianggap sebagai tindakan kejahatan, pelanggaran norma agama, susila, dan sosial.

Perlindungan hukum terhadap perempuan korban pemerkosaan yang melakukan aborsi ditegaskan dalam Pasal 75 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan yaitu adanya indikasi kedaruratan medis yang sudah terdeteksi sejak awal kehamilan yang dapat mengancam nyawa ibu atau janin, adanya penyakit genetik berat atau cacat bawaan yang dapat menyulitkan bayi tersebut, dan kehamilan diakibatkan perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban. 

Pasal 37 PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menjelaskan bahwa tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan hanya dapat dilakukan melalui konseling, yakni pra konseling dan pasca konseling. Apabila yang akan diaborsi dalam keadaan darurat maka dokter diperbolehkan melakukan tanpa seizin ibu atau keluarga untuk menyelamatkan jiwanya. 

Abortus Provocatus Medicinalis Perkosaan di Negara Common Law

Hukum aborsi di Inggris (Abortion Act of 1967) membolehkan aborsi apabila dua dokter dengan itikad baik menerangkan bahwa kehamilan akan mengakibatkan risiko terhadap kehidupan ibu atau kerusakan terhadap kesehatan fisik atau mental ibu atau anak, dan risiko atau kerusakan itu akan lebih besar jika dibandingkan dengan aborsi itu sendiri.

Selain itu, aborsi juga dilegalkan di Kanada dan Selandia Baru. Perempuan diperbolehkan menggugurkan kandungannya jika usia kehamilannya di bawah 6 bulan. Pandangan atas diperbolehkannya aborsi dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok aborsi etik yang mendukung dilakukannya aborsi atas alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik moral dan kelompok aborsi radikal yang mendukung kebebasan mutlak atas penggunaan tubuh manusia oleh pemilik tubuh. 

Dalam ketentuan aborsi di Selandia Baru tahun 2020, Parlemen mengadopsi Undang-Undang Legislasi Aborsi, yang mendekriminalisasi aborsi dan mengizinkan prosedur atas permintaan dengan batas kehamilan 20 minggu. Selain itu, aborsi dianggap sebagai tindak pidana di Selandia Baru hingga akhir tahun 2020.

Negara Rusia mengatur aborsi dalam Amandemen Kode Keluarga, yang mana berusaha untuk membatasi hak perempuan untuk aborsi dengan mengakui janin sebagai manusia. Hal ini memberikan mereka hak yang dipegang oleh anak setelah lahir dan mengurangi jumlah alasan non medis yang memungkinkan perempuan melakukan aborsi selama trisemester kedua kehamilannya.

Abortus Provocatus Medicinalis Perkosaan di Negara Civil Law

Pelaksanaan aborsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Kesehatan yang dipertegas lagi dalam ketentuan-ketentuan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Terkendalanya pelaksanaan tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan disebabkan oleh persepsi aparat penegak hukum berbeda dengan para dokter serta lembaga atau instansi terkait dalam hal mendefinisikan perkosaan. Pihak penegak hukum masih menggunakan definisi umum tentang perkosaan berdasarkan KUHP, Undang-Undang Tentang Kesehatan dan PP Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi yang belum mengatur jelas tentang definisi aborsi akibat perkosaan. Selain itu, perihal waktu untuk melakukan aborsi masih kurang jelas, sehingga dianggap menghambat tindakan aborsi berdasarkan kehamilan akibat perkosaan.

Referensi

  • Anna Maria Salamor, “Tinjauan Yuridis Pelayanan Kesehatan Terhadap Korban Abortus Provocatus Karena Pemerkosaan,” Jurnal Belo V, no. 1 (Januari 2019).
  • Sonya Airini Batubara, dkk., “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Abortus Provocatus Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,” Jurnal Darma Agung 28, no. 3 (Desember 2020).
  • Hendrik. Etika & Hukum Kesehatan (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2015)
  • Bundang, Clement Horatio, Setyasih Harini, Halifa Haqqi, Analisa Kebijakan Aborsi di Amerika Serikat di Masa Pemerintahan Barack Obama Pada Tahun 2009-2013, Jurnal Transformasi, Vol. 1, No.30, 2016
  • Paulina Makinwa-Adebuyose, et.al. 1997. “Nigerian Health Professionals Perceptions About Abortion Practice”.
  • Oppenhiem, L.1995. International Law; A Treatise, Vo. 1̶ Peace. Edisi Ke-8, H. Lauterpacht, New York: Longmas, Green and Co.
  • Emil Schroder, Abortion policy reform in New Zealand, Uppsala University, Spring 2020.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.