Literasi Hukum – Artikel ini membahas aspek hukum dalam perkawinan beda agama. Temukan jawaban apakah perkawinan beda agama diperbolehkan di Indonesia dalam penjelasan artikel berikut ini.
Perkawinan beda agama atau perkawinan oleh orang yang memiliki agama berbeda merupakan hal yang tidak jarang terjadi di Indonesia. Selain atas alasan demi menurunkan agamanya masing-masing kepada anaknya, namun juga demi nilai religius yang berkesinambungan antara suami dan istri. Alhasil, walaupun berbeda agama, faktor kesamaan agama antar pasangan dan/atau kesesuaian keduanya berdasarkan ketentuan agama masing-masing merupakan hal yang krusial.
Masyarakat umumnya dapat melangsungkan perkawinan beda agama melalui perkawinan di luar negeri. Namun, biaya yang diperlukan untuk prosedurnya tidaklah sedikit. Selain melaksanakan perkawinan di luar negeri, calon pasangan yang berbeda agama lazimnya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk dikabulkan perkawinannya dengan yurisprudensi sebagaimana tabel berikut.
Putusan No. 1400K/Pdt/1986 | Putusan No. 1977 K/Pdt/2017 | |
---|---|---|
Status | Dikabulkan | Ditolak |
Alasan | Masing-masing ketentuan dari mempelai memperbolehkan perkawinan beda agama | Hakim Pengadilan yang menghakimi perkawinan beda agama memberikan putusan hanya melalui pemahaman subjektifnya daripada interpretasi kontekstual dari kedua mempelai. Poin konsideran menjelaskan bahwasanya hakim cukup mengikuti dokumen perkawinan yang diserahkan instansi bersangkutan (contoh: akta perkawinan dari gereja) alih-alih memberikan argumentasi agama yang subjektif terhadap kondisi kedua mempelai |
Namun, pada 17 Juli 2023, Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2003 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dalam Pasal 2, SEMA menyebutkan bahwasanya pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan. Alhasil, masyarakat kehilangan akses untuk memberlangsungkan perkawinan di Indonesia.
Konsep Perkawinan Menurut Undang-Undang
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (yang selanjutnya disebut sebagai UU Perkawinan), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama/kepercayaan masing-masing dan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Alhasil, syarat materiil perkawinan sebagai landasan keabsahan mengacu pada ketentuan agama pasangan yang bersangkutan, sedangkan pencatatan terhadap lembaga negara, yakni KUA (khusus umat muslim) dan KCS (Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu) merupakan syarat formilnya.
Perkawinan oleh seorang/pasangan WNI yang dilakukan di luar negeri pun adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan dilangsungkan dan tidak melanggar ketentuan dalam UU Perkawinan, yakni tetap selaras dengan praktik agama masing-masing mempelai, dengan pencatatan yang wajib dilakukan di negara setempat dan dilaporkan di perwakilan Republik ndonesia (Pasal 56 UU Perkawinan).
Mengapa Pencatatan Itu Penting?
Dukcapil memiliki peranan yang krusial dalam pencatatan perkawinan untuk itu. Perkawinan yang sah wajib dilaporkan kepada Dukcapil untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum berupa hak keperdataan dan warga negara, tidak terkecuali keberlakuannya terhadap perkawinan antaragama. Pun apabila ditolak dan/atau terdapat kondisi spesifik dari perkawinan yang bersangkutan, seperti perkawinan beda agama, pasangan berhak mengajukan permohonan pencatatan kepada pengadilan, sebagai contoh adalah masalah pewarisan harta.
KHI, secara kumulatif, menyatakan bahwasanya ahli waris merupakan orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan, beragama islam, dan tidak terhalang untuk menjadi seorang ahli waris oleh hukum (contoh: percobaan pembunuhan, dsb.). Anak yang berpindah agama pun berkedudukan sama dengan hak anak lainnya yang beragama islam sehingga tetap menjadi ahli waris (Putusan Mahkamah Agung No. 368 K/AG/1995). Sebaliknya, ahli waris menurut KUH-Perdata (atau BW) merupakan orang-orang yang memiliki hubungan darah, entah secara UU maupun di luar perkawinan, dan suami/istri yang terlama hidupnya. Lebih dari itu, kewajiban seorang suami kepada istrinya pun secara hukum tidak mengikat apabila tidak dicatat.
Tanpa adanya pencatatan, penjaminan hak dan/atau kewajiban masing-masing mempelai akan sukar diberikan oleh negara.
Keengganan pengadilan dalam mengabulkan permohonan perkawinan beda agama adalah hal yang buruk sebagai berikut.
Indonesia adalah negara pancasila, bukan negara sekuler dan/atau agama.
Patut disadari bahwasanya hukum patut dibuat dengan pertimbangan logis dan moralitas yang inklusif. Natur agama yang ekslusif berlaku dan mengikat terhadap umat tertentu mengakibatkan implementasi syariat islam terbatas kepada pengikutnya sendiri disebabkan oleh nilai-nilainya yang tidak universal dan tertolak oleh UUD 1945. Artinya, landasan konseptual hukum syariat tidak dapat dijadikan landasan dalam kerangka berpikir pembuatan hukum di Indonesia sebagaimana telah disepakati bentuk negara Indonesia yang berbentuk republik yang dipimpin oleh presiden. Hukum positif Islam, seperti UU Haji, merupakan sebuah pengecualian. Selain berlaku ekslusif terhadap umat muslim, namun juga telah dibahas dan dikaji untuk dimasukkan dalam sistem hukum nasional melalui proses legislasi yang demokratis.
Walaupun berlaku ekslusif terhadap kehakiman, dukcapil sebagai instansi pencatatan perkawinan akan tetap mengikuti perintah dari persidangan yang mengikuti kaidah kehakiman berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Produk hukum ini buruk karena:
- perumusannya yang menggunakan logika hukum islam yang kiranya privat di sebuah negara plural;
- masyarakat akan mempertaruhkan keimanannya hanya untuk melangsungkan sebuah perkawinan yang berbeda agama; dan
- perkawinan antaragama kelak merupakan sebuah kemewahan bagi masyarakat yang mampu mengadakan perkawinan di luar negeri.
SEMA No. 2 Tahun 2003, Apa Masalahnya?
Pada dasarnya, surat edaran merupakan pseudo-wetgeving atau peraturan kebijakan. Alhasil, sifat keberlakuannya berada di tengah-tengah. Bukan sebagai peraturan (regelling) karena bukan termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, namun bersifat mengatur. Bukan pula termasuk penetapan (beschikking) disebabkan muatannya yang tidak bersifat konkrit, individual, dan final. Tidak seperti surat edaran, entah peraturan atau penetapan, dapat dipertanggungjawabkan melalui pengujian formil dan materiil terkait aspek-aspek pembentukannya apakah sudah memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB), keselarasannya dengan UUD 1945, dan lainnya. Sebaliknya, surat edaran tidak dapat diuji disebabkan naturnya yang setengah-setengah.
Lebih dari itu, SEMA tidak sama dengan surat edaran pada umumnya. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 23 P/HUM/2009, mahkamah menerima uji materiil terhadap surat edaran Dirjen Minerba disebabkan substansi yang memang mengatur terkait pemberian izin. Sebaliknya, sebagaimana dalam asas “Nemo Judex Idoneus in Propria Causa”, yakni hakim tidak seharusnya memeriksa perkara yang menyangkut dirinya sendiri. Hal ini menyebabkan akuntabilitas dari kehakiman patut dipertanyakan.
Pun apabila dalil atas diterbitkannya SEMA tersebut untuk harmonisasi peraturan yang tumpang-tindih dalam urusan kehakiman di Indonesia, itu bukanlah alasan yang tepat. Harmonisasi hanya berlaku untuk peraturan (regelling) meanwhile putusan pengadilan tidak bisa diseragamkan putusan dan pertimbangannya disebabkan adanya kondisi unik dari masing-masing kasus. Hakim kiranya secara independen menggunakan legal reasoning terhadap isu hukum yang spesifik dan khusus dalam setiap perkara yang tertuang dalam putusan. Pengadilan tidak lagi merdeka dalam hal membuat keputusan yang adil dan bebas dari intervensi pihak lain.
Berdasarkan Pasal 79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, SEMA dapat mengisi kekosongan hukum dengan menerbitkan peraturan pelengkap. Sayangnya, perkawinan beda agama selalu ada di Hukum Indonesia. Nyatanya Pasal 7 ayat (2) GHR menyatakan bahwasanya perbedaan identitas bukanlah penghalang untuk memberlangsungkan perkawinan.
Bahkan, sadari bahwasanya UU Adminduk hanya menekankan fungsinya dalam hal validasi perkawinan yang sudah terjadi melalui pencatatan sehingga disharmoni antara UU Perkawinan dengan UU Adminduk tidak pernah terjadi.
Lantas, Apakah Perkawinan Beda Agama Tetap Diperbolehkan?
Benar, seharusnya bisa dengan asumsi dukcapil sadar bahwasanya SEMA tidak pernah mengikat instansi mereka selaku pencatat perkawinan disebabkan lingkup surat edaran terbatas pada ruang lingkup pengadilan di Indonesia. Dengan begini:
- Pasangan yang melaksanakan perkawinan beda agama di luar negeri tetap bisa melangsungkan perkawinan sebagaimana sebelumnya; dan/atau
- Pasangan tunduk pada salah satu hukum agama mempelai yang membuat akta perkawinan.
Terkait Poin b di atas, terkait penundukan mempelai, hal yang patut dicatat adalah yang bersangkutan bersedia menundukkan diri dan kedua hukum agama mempelai memperbolehkan prakteknya. Hal yang patut diperhatikan di sini adalah tidak semua agama memperbolehkan prakteknya, namun apabila instansi perkawinan agama yang bersangkutan memberikan persetujuannya dengan diterbitkannya akta perkawinan/buku nikah, lantas dukcapil akan memvalidasi status perkawinan tersebut dalam sistem administrasi Indonesia.