PerdataMateri Hukum

Urgensi Pengaturan Pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan: Melindungi Hak Pekerja dan Meningkatkan Kesejahteraan

Dedon Dianta
1603
×

Urgensi Pengaturan Pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan: Melindungi Hak Pekerja dan Meningkatkan Kesejahteraan

Sebarkan artikel ini
Urgensi Pengaturan Pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan: Melindungi Hak Pekerja dan Meningkatkan Kesejahteraan
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi / Sumber: DALLE

Literasi Hukum – Upah merupakan hak fundamental bagi pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Artikel ini membahas urgensi pengaturan pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan, mulai dari definisi upah, sistem pemberian upah, hingga perhitungan upah lembur.

Urgensi Pengaturan Pengupahan dalam UU 13/2003

Policy system (sistem kebijakan) suatu negara, tentu pemerintah memiliki peranan penting dalam menentukan upah minimum berdasarkan indikator Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebelum adanya UU Cipta Kerja. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat memiliki hubungan timbal balik di antara 3 unsur kebijakan, yakni lingkungan, pelaku, dan publik. Pengaturan upah memiliki urgensi dalam membangun sinergitas antara pekerja dan pemberi kerja, di lain sisi juga upah merupakan hal dasar dalam suatu kontrak kerja yang tentu bersangkutan dengan kesejahteraan pekerja.

UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan tertuang pengaturan mengenai upah yang merupakan komponen penting dalam perlindungan pekerja. Pasal 88 tertuliskan bahwa upah merupakan hak yang diperoleh pekerja agar memenuhi penghidupan yang layak. Pengertian dari penghidupan layak ialah nominal upah dari suatu pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar dalam hal pendidikan, tempat tinggal, sandang, pangan, kesehatan, liburan, dan jaminan untuk hari tua. Sekedar informasi bahwa UU 13/2003 telah diganti dengan UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

 Secara yuridis kehadiran “upah” terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang tertulis bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Tertulis juga dalam Pasal 28D ayat (2).

Tertuang juga dalam Pasal 33 ayat (1) yakni “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Hadirnya upah yang diatur dalam perundang-undangan merupakan sebuah perlindungan hukum bagi pekerja. Sebenarnya dari awal sudah diatur secara jelas dalam Pancasila yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila tersebut berarti secara filosofis menekankan dalam menciptakan suatu keadilan dalam segala lini kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ketenagakerjaan, yakni upah. Pancasila sebagai staatfundamentalnorm sudah sepatutnya diterapkan baik itu oleh masyarakat maupun pemerintah. “Norms in people’s lives should interact with developments and patterns of social change

Urgensi Pengaturan Pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan: Melindungi Hak Pekerja dan Meningkatkan Kesejahteraan
Ilustrasi Gambar oleh Penulis

Pemerintah sepatutnya memberikan atensinya terhadap upah pekerja sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan. Adapun wujud kebijakan terkait upah pekerja/buruh tersebut tertuang dalam Pasal 88 ayat (3) UU 13/2003, yakni:

  1. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
  2. Upah untuk membayar pesangon
  3. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional
  4. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
  5. Bentuk dan cara pembayaran upah
  6. Denda dan potongan upah
  7. Upah minimum
  8. Upah kerja lembur
  9. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
  10. Upah tidak masuk kerja karena mengikuti kegiatan lain di luar pekerjaannya
  11. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya

Seiring berjalannya waktu, pembaruan hukum ketenagakerjaan yang terdapat dalam UU 6/2023 menghapuskan beberapa ketentuan tentang kebijakan pengupahan pada Pasal 88 menjadi:

  1. Upah minimum
  2. struktur dan skala upah
  3. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
  4. bentuk dan cara pembayaran upah
  5. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah; dan
  6. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Berbicara tentang upah, tentu harus ada terkait dengan perlindungan hukumnya. Pemerintah dalam melakukan upaya perlindungan upah, didasarkan atas upah minimum sebagaimana yang ada dalam Pasal 89, yakni:

  1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi (kabupaten/kota)
  2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi (kabupaten/kota)

Saat ini, apabila melihat tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) tiap daerah jika dikaitkan dengan tuntutan kebutuhan hidup pekerja, tentu sangatlah tidak memadai (bisa dilihat bahwa UMP tertinggi terdapat di DKI Jakarta yang hanya Rp5.067.381 dan UMP terendah yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah yakni sebesar Rp2.036.947). Upah minimum menurut Kepmenaker 01/1999 adalah upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap.

Tunjangan tetap merupakan tunjangan terhadap pekerja yang tidak ada kaitannya dengan prestasi dan kehadiran kerja. Maka dari itu, perlindungan hukum terhadap pekerja harus dilaksanakan seefektif mungkin sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Namun, Pasal 89 dan Pasal 90 telah dihapus keberlakuannya pada UU 6/2023. Jadi, UU Cipta Kerja menghapuskan penangguhan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum. UU Cipta Kerja juga membuat KHL yang merupakan salah satu komponen perhitungan UMP dihilangkan.

Meskipun demikian, UU Cipta Kerja memberikan pengecualian tentang upah minimum bagi usaha mikro dan kecil yang upahnya ditentukan sesuai dengan perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha dengan ketentuan sekurang-kurangnya 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di Tingkat provinsi dan nilai upah disepakati minmal 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi sesuai dengan data dari lembaga yang berwenang untuk membuat statistik.

Sistem Pemberian Upah di Indonesia

Pemberian upah berdasarkan waktu

Pemberian upah berdasarkan atas lamanya seorang pekerja melakukan pekerjaannya. Waktu yang dimaksud ialah perhitungan secara tiap jam, harian, mingguan atau bulanan. Contohnya ialah, pengupahan pekerja bangunan secara harian/mingguan. Dalam PP 35/2021, tertuang secara spesifik bahwa waktu kerja yakni:

  • Untuk 6 hari kerja, ketentuannya ialah 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam 1 minggu
  • Untuk 5 hari kerja, ketentuannya ialah 8 jam dalam sehari dan 40 jam dalam 1 minggu
  • Pemberian upah berdasarkan satuan hasil

Pemberian upah dalam hal ini berdasarkan atas kuantitas barang yang dihasilkan seseorang. Satuan hasil tiap barang dapat diukur tiap potong, tiap satuan panjang, atau tiap satuan berat. Contohnya ialah upah pemetik buah yang perhitungannya tiap kilogram.

Upah Borongan:

Dalam sistem ini, perhitungan pembayaran upah didasarkan terhadap suatu perjanjian bersama antara penerima dan pemberi kerja. Contohnya ialah upah untuk memperbaiki motor.

Sistem Bonus:

Perhitungan dalam sistem bonus ini, ialah pengupahan tambahan di luar upah pokok yang tujuannya memancing semangat dan motivasi pekerja agar terlaksananya suatu pekerjaan secara efektif dengan penuh tanggung jawab. Diharapkan pemberian bonus pengupahan ini dapat memberikan keuntungan lebih tinggi dengan kinerja pekerja yang maksimal. Semakin tinggi laba yang didapatkan, semakin banyak juga pemberian bonus kepada pekerja.

Sistem mitra usaha:

Sistem ini melakukan pengupahan sebagian dalam wujud saham perusahaan. Dalam hal ini, saham tersebut tidak diberikan secara perorangan, melainkan diberikan kepada organisasi pekerja di perusahaan tersebut. Sistem ini ditujukan agar hubungan antar pekerja dan perusahaan dapat meningkat menjadi hubungan antar mitra kerja dan perusahaan.

Sebagai informasi, dalam Pasal 88B UU 06/2023 mengubah ketentuan sistem pengupahan, yang hanya bersistem satuan waktu dan satuan hasil saja.

Ketentuan dan Perhitungan Upah Lembur dalam Hukum Ketenagakerjaan

Lembur dapat diartikan sebagai pengupahan terhadap pekerja yang melaksanakan pekerjaan di luar jam kerja yang telah diatur dalam kontrak kerja. Tidak semua pemberi kerja dapat memberlakukan sistem kerja lembur terhadap pekerja/buruh. Hal tersebut karena pemberlakuan sistem kerja lembur suatu perusahaan harus memperoleh izin yang diberikan oleh Depnaker terlebih dahulu. Depnaker dalam memberikan izin pemberlakuan sistem kerja lembur suatu perusahaan harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat utama, yakni:

  • Ketidakbolehan pemberi kerja dalam memaksa pekerja untuk melakukan lembur. Maksud dalam hal ini ialah pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja (lembur) harus ada persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
  • Pekerja yang melakukan lembur, harus memperhatikan kesehatan dirinya
  • Waktu lembur paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu

Lebih lanjut dalam PP 35/2021, pekerja dalam melakukan lembur harus ada perintah dari pemberi kerja dan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital. Perintah dan persetujuan dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja dan pengusaha. Kemudian, pengusaha juga harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.

Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh untuk lembur, maka wajib memperhatikan pembayaran upah kerja lembur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, memberikan kesempatan pekerja/buruh untuk istirahat secukupnya, serta memberikan makanan dan minuman paling sedikit 1.400 (seribu empat ratus) kilo kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 (empat) jam atau lebih, ketentuan pemberian makanan dan minuman ini tidak bisa digantikan dalam wujud uang.

Perhitungan upah lembur tertuang dalam Pasal 31 PP 35/2021 yang tertuliskan bahwa ketentuan upah bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja secara lembur yakni:

  1. jam kerja lembur pertama sebesar 1,5 (satu koma lima) kali upah sejam
  2. jam kerja lembur berikutnya sebesar 2 (dua) kali upah sejam

Ketentuan upah lembur yang dilakukan saat hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi memiliki perhitungan yang berbeda, yakni:

  1. apabila kontrak kerja dilakukan dalam 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu:
  2. Perhitungan upah lembur dilaksanakan sebagai berikut:
    • Jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayarkan dua kali upah sejam
    • Jam kedelapan dibayarkan tiga kali upah sejam
    • Jam kesembilan hingga kesebelas dibayarkan empat kali upah sejam
  3. Apabila hari libur resmi dilaksanakan pada hari dengan jam kerja terpendek, maka ketentuan upahnya antara lain:
    • Jam pertama sampai dengan jam kelima, dibayarkan dua kali upah sejam
    • Jam keenam, dibayarkan tiga kali upah sejam
    • Jam ketujuh hingga kesembilan dibayarkan empat kali upah sejam
  4. Apabila kontrak kerja dilakukan dalam 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu:
    • Jam pertama sampai dengan jam kedelapan dibayarkan dua kali upah sejam
    • Jam kesembilan dibayarkan tiga kali upah sejam
    • Jam kesepuluh hingga jam kesebelas, dibayarkan empat kali upah sejam

Perhitungan upah kerja lembur, pada dasarnya dihitung atas upah bulanan pekerja. Upah sejam dihitung 1/173 (satu per seratus tujuh puluh tiga) kali upah sebulan. Apabila komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, maka perhitungan upah kerja lembur tetap 100% dari upah. Sedangkan, komponen upah terdiri atas upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok ditambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% keseluruhan upah, maka perhitungan upah kerja lembur yakni 75% dari keseluruhan upah.

Apabila pekerja/buruh dibayar upahnya secara harian, maka perhitungan besaran upah sebulan dilakukan dengan ketentuan:

  1. Upah sehari dikalikan dua puluh lima, bagi pekerja/buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
  2. Upah sehari dikalikan dua puluh satu, bagi pekerja/buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

Apabila pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, maka upah dalam sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam dua belas bulan terakhir. Apabila upah sebulan ternyata lebih rendah dari upah minimum, maka upah sebulan yang digunakan untuk menghitung upah lembur ialah upah minimum yang berlaku di wilayah tempat pekerja/buruh bekerja.

Sanksi Pelanggaran Waktu Kerja Lembur

Sebelumnya telah ada Kepmenaker 1989, tetapi aturan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam hal adanya penyimpangan pejabat Dinas Ketenagakerjaan yang memberikan perizinan waktu kerja lembur terhadap perusahaan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku, maka yang bersangkutan berdasarkan undang-undang dinyatakan bertindak melampaui wewenang dan dikenakan sanksi sebagaimana tertuang dalam PP 94/2021.

Terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana tertuang dalam UU Ketenagakerjaan, dapat dikenakan sanksi pidana denda minimal Rp5 juta dan maksimal Rp50 juta sebagaimana Pasal 188 ayat (1). Meski demikian, sanksi denda yang dikenakan terhadap pengusaha tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada pekerja itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.