Literasi Hukum – Artikel ini menjelaskan hukum dan prosedur restitusi di Indonesia serta kasus-kasus yang menjadi referensi dalam pengambilan keputusan.
Oleh: Elisabeth Simanjuntak, S.H.
Kasus Mario Dandy
Selasa, 15 Agustus 2023 Majelis hakim dipengadilan jakarta selatan, membaca putusan terhadap Mario dandy dengan Nomor perkara 297/Pid.B/2023/PN.Jkt.Sel. Pada intinya terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan juga terdakwa dibebani untuk membayar restitusi kepada korban sebesar 25 Milyar rupiah.
Dimana Penuntut Umum saat itu, menuntut terdakwa Mario Pasal 355 ayat 1 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Subsidair pasal 353 ayat (2) KUHP jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau tuntutan kedua pasal 76 C pasal 80 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain tuntutan diatas, terdakwa Mario Dandy juga dituntut untuk membayar restitusi sebesar 120 Milyar rupiah.
Apakah restitusi dapat diganti dengan pidana penjara?
Pengertian Restitusi
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Restitusi sendiri diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 Pelaksanaan Restitusi bagi Anak bagi Menjadi Korban Tindak Pidana, dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta diatur juga dalam Perma Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Pihak yang Berhak Mengajukan Restitusi
Dalam hal ini yang berhak mengajukan, dan melakukan perhitungan restitusi adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas persetujuan dan permohonan dari keluarga korban tindak pidana. Bunyi pasal 8 ayat (9) Perma No.1/2012 “Dalam hal restitusi akan dibayarkan oleh pihak ketiga, pihak ketiga wajib dihadirkan dalam sidang untuk diminta pertujuannya”.
Berdasarkan bunyi tersebut sangat jelas menyebutkan pihak ketiga yang dihadirkan dalam persidangan diminta untuk persetujuan untuk pembayaran restitusi. Lain hal terhadap anak atau belum cakap secara hukum, maka pihak ketiga lah yang bertanggungjawab untuk membayar restitusi.
Peraturan Mahkamah Agung Tentang Restitusi
Pengaturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberina Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana. Pasal 8 ayat 13 :
Dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dan terorisme, putusan memuat pula lamanya pidana penjara atau kurungan pengganti sesuai dengan ketentuan Undang-Undang, yakni dalam hal harta kekayaan terdakwa dan/atau pihak ketiga tidak mencukupi, yang dihitung secara proporsional berdasarkan jumlah restitusi yang telah dibayarkan oleh terdakwa dan/atau pihak ketiga.
Dalam bunyi pasai di atas, menjelaskan penggantian restitusi menjadi pidana kurungan atau pidana penjara, hanya terhadap tindak pidana perdanganan orang dan tindak pidana terorisme.
Lebih lanjut Pasal 36 A ayat 6 Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Terorisme, pelaku dikenai pidana penjara penganti paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun.
kemudian, Pasal 50 ayat 4 Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Tindak Pidana Perdagangan orang (TPPO), Pelaku dikenai pidana penjara pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Putusan mengenai Restitusi
Ada beberapa Putusan yang dapat kita cermati dan menjadi pembanding yakni:
- Putusan Nomor 246 tahun 2015 PN Bekasi dengan Restitusi 3 juta dan kurungan 7 bulan.
- Putusan Nomor 55 tahun 2014 PN Jakarta Timur dengan restitusi 120 juta subsidair 3 bulan
- Putusan Nomor 244 tahun 2014 PN Jakarta Barat dengan restitusi 1,1 milyar subsidair 5 bulan
- Putusan Nomor 63/pid.b/2022/pn, dimana putusan ini memilki posisi dan penerapan pasal yang sama dengan kasus Mario, faktor pembanding adalah korban penganiayaan putusan nomor 63 ini meninggal dunia. Sementara biaya restitusi yang diminta dan yang harus di bayar pelaku sebesar 100 juta rupiah.
Kesimpulan
Putusan di atas dapat dijadikan sebagai acuan, karena belum ada Undang-undang yang mengatur secara khusus ganti kerugian atau restitusi atas tindakan penganiayaan diganti dengan pidana penjara.
Restitusi ini diberikan untuk memulihkan atau membantu dan memperbaiki korban agar dapat pulih kembali kedalam keadaan semula, atau biaya ganti kerugian yang diberikan pelaku kepada keluarga korban.
Menyangkut tentang ganti rugi yang dialami korban, tentu pembuktiannya adalah pembuktian formil, dimana harus ada dokumen-dokumen pendukung terkait dengan kerugian yang dialami korban.
Pehitungan yang dilakukan oleh LPSK juga harus masuk akal dan baiknya melihat kedua sisi, baik korban dan pelaku. Dengan cara yang demikian maka diharapkan dapat mencapai atau menemukan keadilan yang seimbang dan setara.
*Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Literasi Hukum Indonesia.