Hak Asasi Manusia

Menyoal Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Yudisial dan Non-Yudisial di Indonesia

Egi Nugraha
1479
×

Menyoal Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Yudisial dan Non-Yudisial di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Menyoal Upaya Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat secara Yudisial dan Non-Yudisial di Indonesia
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi Hukum – Pasca periode kemerdekaan Indonesia, pasang surut penegakan hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat mulai terjadi dan mulai diseriusi oleh elit politik di negeri ini. Jaminan atas perlindungan hak asasi manusia yang dimasukkan dalam substansi batang tubuh UUD 1945 seperti pada pasal 28A-28J, merupakan titik awal komitmen republik ini pada pemenuhan dan pelaksanaan hak asasi warganya.

Meski telah dijamin oleh konstitusi, nyatanya proses implementasi perlindungan HAM tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai tragedi pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu seperti kasus pembantaian masyarakat sipil yang dituduh PKI pada tahun 1965, tragedi kerusuhan Mei 1998, kasus Trisakti, Semanggi 1 dan 2, serta berbagai kasus HAM lainnya mewarnai sejarah berdarah dalam perkembangan republik ini. Catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sendiri menyebut tak kurang dari 17 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang mayoritas menemui jalan buntu dalam proses pengusutan dan penyelesaiannya. Lalu apa arti dari HAM dan bagaimana proses penegakan hukum serta penuntasan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia?

Pengertian HAM

Hak asasi manusia atau HAM pada dasarnya dapat diartikan sebagai suatu hak inti atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak ia berada di dalam kandungan, yang bukan merupakan pemberian penguasa atau negara, melainkan merupakan pemberian tuhan yang maha esa yang harus dijaga dan dihormati eksistensinya. John Locke dalam bukunya yang berjudul The Second Treaties of Civil Government and a Letter Concerning Toleration (1948), mendefinisikan HAM sebagai suatu hal yang diberikan tuhan pada manusia, yang terdiri dari hak persamaan dan kebebasan serta hak mempertahankan hidup dan melindungi harta benda milik pribadinya.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia

Upaya penyelesaian kasus HAM di Indonesia dilakukan dengan 2 jalur, yaitu jalur yudisial dimana kasus HAM berat diadili di pengadilan HAM sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan jalur non-yudisial yang menitikberatkan pada upaya pemulihan korban dengan memberikan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban dan keluarganya. Semenjak era pasca reformasi, desakan dari PBB dan dunia internasional kepada Indonesia untuk mengadili para pelanggar HAM berat melahirkan diskursus di kalangan elit politik kala itu untuk segera mengeluarkan regulasi hukum yang mengatur dan mengakomodir perihal perlindungan HAM serta penyelesaian kasusnya di tingkat domestik. Hal inilah yang mempelopori dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia.

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Secara Yudisial

Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia telah diupayakan dengan dibentuknya Pengadilan HAM yang didasari oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentnag Pengadilan HAM. Hingga saat ini Indonesia tercatat telah memiliki 4 pengadilan HAM permanen yang tersebar di 4 wilayah dibawah lingkungan Pengadilan Negeri, yaitu di Jakarta Pusat, Surabaya, Makassar, dan Medan. Pemerintah Indonesia juga pernah membentuk setidaknya 2 pengadilan ad-hoc yang menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000.

Meski telah mempunyai pengadilan HAM sendiri, nyatanya penyelesaian yudisial kasus HAM di Indonesia sangat sulit dilakukan. Hal ini dikarenakan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu telah melewati masa waktu yang cukup lama sehingga sulit untuk melakukan investigasi dan pencarian alat bukti. Sejak awal berdiri hingga kini, pengadilan HAM permanen maupun ad-hoc di Indonesia baru menyelesaikan sebanyak 4 kasus, yaitu kasus Timor Timur dan Tanjung Priok yang ditangani Pengadilan HAM ad-hoc, serta kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua yang ditangani oleh Pengadilan HAM Permanen. Hasil kinerja pengadilan HAM juga dipertanyakan karena hanya memberikan vonis bersalah pada 1 pelaku dan memvonis bebas para terduga pelaku lainnya dalam keempat kasus pelanggaran HAM berat tersebut.

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Secara Non-Yudisial

Tidak efektifnya penyelesaian kasus HAM berat masa lalu melalui jalur pengadilan membuat hadirnya usaha-usaha yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan kasus HAM berat melalui pemulihan para korban serta keluarganya. Tekanan mental dan trauma psikologis yang dirasakan oleh para penyintas kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban merealisasikan amanah perlindungan HAM yang sejalan dengan konstitusi republik ini. Oleh karena itu upaya non-yudisial mulai diinisiasi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004 lalu dengan mengeluarkan UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).

Meski pembentukan undang-undang ini ditujukan untuk mewujudkan rasa keadilan dan rasa aman bagi para korban dan keluarga korban kasus HAM, namun substansi dari undang-undang ini nyatanya bertentangan dengan harapan positif para pemangku kepentingan. Hal ini dapat terlihat misalnya dari pasal 27 UU KKR yang menyebutkan bahwa pemberian kompensasi dan rehabilitasi korban pelanggaran HAM berat baru bisa diberikan setelah pelaku HAM berat mendapatkan amnesti presiden, sehingga pemberian ganti rugi yang seharusnya menjadi hak penuh bagi korban, digantungkan pada diberikan atau tidaknya amnesti pada pelaku oleh presiden.

Pasal tersebut serta beberapa pasal lainnya dalam UU KKR membuat berbagai LSM di bidang HAM seperti KontraS dan Imparsial mengajukan gugatan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi. MK kemudian memutuskan membatalkan secara keseluruhan UU KKR lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2006.

Setelah putusan MK yang membatalkan keberlakuan UU KKR, penyelesaian kasus HAM berat masa lalu melalui mekanisme non-yudisial sempat terseok-seok dan mengalami fase ketidakjelasan. Upaya non-yudisial kembali muncul pada tahun 2022 lalu ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM). Meski begitu Tim PPHAM yang dibentuk Jokowi mendapat kritik dari berbagai pihak karena masa kerjanya yang terbilang singkat, dan adanya ketidaksinkronan data korban yang ditemukan tim PPHAM dengan data Komnas HAM, sehingga kinerja tim PPHAM dianggap tidak optimal.

Kesimpulan

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang ada sejak manusia dalam kandungan, dan perlu untuk dihormati serta dilindungi keberadaannya. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi tertinggi telah menjamin perlindungan HAM bagi setiap manusia, terkhusus masyarakat Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di republik ini harus segera dituntaskan, sebagai perwujudan pelaksanaan nilai-nilai konstitusi negara. Belum optimalnya penegakan HAM secara yudisial lewat pengadilan HAM maupun secara non-yudisial melalui pemulihan korban dan keluarganya perlu menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera berbenah dalam menata proses implementasi berbagai regulasi yang dibentuk untuk melindungi HAM, yang menjadi jaminan harkat dan martabat setiap manusia yang hidup di republik ini.

Sumber Referensi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Pemilihan Pemimpin Terlibat Pelanggaran HAM
Opini

Temukan Dampak Pemilihan Pemimpin Terlibat Pelanggaran HAM terhadap Negara. Pelajari tentang sanksi diplomatik dan isolasi internasional yang dapat diterapkan oleh negara lain, serta faktor-faktor yang mempengaruhi dampaknya. Dilengkapi dengan contoh kasus aktual dan catatan penting. Kunjungi untuk informasi lebih lanjut.

Hak Penyandang Disabilitas: Tanggung Jawab PEMDA ?
Opini

Literasi Hukum – Artikel ini membahas komitmen Indonesia terutama pemerintah daerah terhadap Hak penyandang disabilitas yang diatur juga di dalam Convention of Right for People with Disabilites (CRPD). Oleh: Dedon Dianta …