Hak Asasi Manusia

Penggalian Nilai Konstitusional Freedom from Religion dan Komparasi Konsepsi Hak Asasi Manusia

Muhammad Haaziq Bujang Syarif
277
×

Penggalian Nilai Konstitusional Freedom from Religion dan Komparasi Konsepsi Hak Asasi Manusia

Sebarkan artikel ini
Penggalian Nilai Konstitusional Freedom from Religion dan Komparasi Konsepsi Hak Asasi Manusia
Ilustrasi Gambar oleh Redaksi

Literasi HukumArtikel ini menguraikan hubungan sosial, politik, dan hukum dalam pembentukan ideologi negara dan kebebasan beragama di Indonesia. Pembahasan mencakup sejarah Pancasila, konsep HAM, dan konstitusionalitas ateisme dalam konteks nilai religius, dengan penekanan pada peran hukum nasional dan HAM internasional.

Latar Belakang

Perdebatan panjang Panitia Sembilan[1] yang ditugaskan merumuskan kristalisasi ideologi negara berujung pada lahirnya kelima butir Pancasila. Pada mulanya butir pertama Pancasila sebagaimana yang tertuang dalam Jakarta Charter sangat kental dengan kontroversi mengingat tujuh kata yang terkandung di dalamnya berpotensi melahirkan disintegrasi bangsa. Terjadinya kompromi politis yang diinisiasi pemimpin Indonesia Timur mencegah terjadi disintegrasi nasional hanya karena tujuh kata tersebut.[2]

Penghapusan tujuh kata tidak serta merta menjadikan ruh sila pertama, yaitu nilai religius, menguap dan tergantikan dengan nilai non religius. Tujuh kata yang dihapus hanya berimplikasi pada perubahan pada aspek inklusivitas frasa yang digunakan, yang semula merujuk pada agama Islam kemudian digantikan dengan prinsip ketuhanan yang universal. Spirit religiusitas bangsa Indonesia yang dikristalisasikan pada sila pertama Pancasila hanya berganti kostum bukan esensinya mengingat frasa ketuhanan termaktub jelas pada sila pertama tersebut. Di samping nilai yang terkandung dalam Pancasila, konstitusi sebagai norma dasar bangsa Indonesia juga memiliki napas yang sama.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca amandemen dapat dikategorikan sebagai “Very Godly Constitution of Indonesia” karena norma yang terkandung di dalamnya sangat sarat dengan Tuhan ataupun ketuhanan.[3] Sebagai contoh pada pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Tuhan sebagai entitas yang memberikan kemerdekaan, bukan hanya perjuangan bangsa Indonesia. Sumpah jabatan kepala negara yang didasarkan pada agama dan/atau kepercayaan yang dianut juga menambah kekentalan religiusitas konstitusi bangsa Indonesia.

Religiusitas bangsa Indonesia, setidaknya pada ranah normatif dan das sollen, dapat dikatakan berdiametral dengan nilai ateisme. Bertolak dari pernyataan tersebut, posisi nilai ateisme dalam konstitusi Indonesia dipertanyakan konstitusionalitasnya karena secara sepintas lalu sangat kontradiktif dengan nilai-nilai ketuhanan yang dikandung konstitusi. Kebebasan beragama yang dijamin konstitusi juga bersinggungan erat dengan nilai ateisme karena dapat ditafsirkan sebagai kebebasan dari agama atau freedom from religion. Pertanyaan terbesarnya adalah bagaimana konstitusi Indonesia memandang hal tersebut?

Kebebasan Beragama dalam Konsep Hak Asasi Manusia

Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. HAM terbagi menjadi dua hak fundamental, yaitu persamaan dan kebebasan.[4] Sebagai suatu norma yang berangkat dari paradigma, HAM merupakan kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya yang berfokus pada kehidupan dan martabat manusia.[5] 

Puncak kristalisasi tersebut terwujud ketika dirumuskannya Universal Declaration of Human Right (UDHR) pada 10 Desember 1948 dengan 30 butir pasal. Dalam rumusan Pasal 2 ditekankan bahwa HAM yang disandang setiap individu tidak boleh didiskriminasi dengan alasan apa pun, termasuk agama.[6] Agama dalam pandangan HAM internasional tidak boleh melegitimasi perlakuan diskriminatif terhadap manusia. Lebih jauh lagi, HAM internasional tidak memposisikan agama sebagai acuan melimitasi HAM dalam keadaan tertentu.[7]

Kebebasan beragama dikategorikan sebagai hak negatif yang dirumuskan di atas kebebasan dari (freedom from) campur tangan pihak lain, terutama negara.[8] Dengan adanya tuntutan “kebebasan” tersebut, salah satu implikasinya adalah negara dilarang untuk intervensi lebih jauh terhadap kebebasan beragama warga negaranya. Di samping itu, jenis hak ini menuntut negara untuk mengambil tindakan (obligation of conduct) secara serta-merta tanpa penundaan.[9]

Implikasi lain yang dapat ditarik dari kategorisasi hak ini sebagai hak negatif adalah HAM memperbolehkan kebebasan tidak beragama. Kesimpulan ini dapat ditarik dari kategorisasi hak beragama sebagai hak negatif yang mengandung asas “freedom from”. Dengan analogi tersebut, maka definisi “freedom of religion” dapat ditafsirkan sebagai “freedom from religion. Kebebasan beragama dianggap sebagai hak yang berimplikasi pada kebebasan individu yang bersangkutan untuk menggunakan atau tidak.

Hal ini dipertegas pada Pasal 18 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang menyatakan bahwa tidak boleh ada pemaksaan menganut suatu agama atau kepercayaan.[10] Pemaksaan dengan cara apa pun dilarang bahkan pemaksaan untuk memilih salah satu agama atau kepercayaan. Negara bahkan tidak memiliki wewenang intervensi karena negara diposisikan sebagai pemangku kewajiban yang hanya berkewajiban memastikan jaminan hak tersebut tetap terlaksa

HAM menyorot freedom of religion dengan penafsiran ekstensif, bersifat permisif dengan penafisran freedom from religion. Manusia sebagai pemangku hak bebas menentukan akan menggunakan freedom of religion atau freedom from religion. Oleh karena itu, merujuk pada HAM internasional maka paham ateisme dapat dibenarkan sebagai bentuk freedom from religion.

Kebebasan Beragama sebagai Hak Konstitusional

Hak konstitusional merupakan hak yang diatur dalam konstitusi, in casu UUD 1945 yang memuat hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan hak-hak lainnya.[11] Penataan hak konstitusional sendiri tersebar dalam beberapa pasal dan bab yang dapat dikategorikan menjadi umum dan khusus. Hak tradisional yang melekat pada masyarakat hukum adat merupakan hak yang bersifat khusus dan eksklusif. Labelisasi khusus pada hak ini dilatarbelakangi faktor bahwa hak tersebut hanya dimiliki oleh komunitas tertentu, yaitu masyarakat hukum adat.[12]

Di samping hak khusus, terdapat pula hak konstitusional umum yang ciri utamanya adalah konstitusi mendefinisikannya dengan “setiap orang” dan “setiap warga negara”. Hak konstitusional yang mengandung frasa “setiap orang” mengesampingkan kewarganegaraan, tidak membedakan warga negara asing (WNA) dan warga negara Indonesia (WNI). Rumusan serupa terdapat dalam UDHR dan berbagai konvensi utama di bidang hak asasi manusia, tidak membedakan status kewarganegaraan terhadap jaminan HAM yang disandang.[13] Sementara itu, hak konstitusional yang mengandung frasa “setiap warga negara” hanya dapat dimiliki oleh WNI sebagai previlese kewarganegaraan yang disandang.

Hak atas kebebasan beragama dikategorikan sebagai hak inklusif karena menggunakan frasa “setiap orang” pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Lebih jauh lagi, konstitusi menegaskan bahwa hak ini termasuk hak yang tidak dapat diganggu gugat (non-derogable right) dalam keadaan apa pun termasuk dalam keadaan darurat.[14] Dengan dikategorikannya hak atas kebebasan beragama sebagai non-derogable rights ini, maka secara normatif hak ini setara dengan hak hidup karena keduanya berkenaan dengan harkat dan martabat manusia (human dignity).

Atribusi yang melekat pada hak kebebasan beragama ini adalah kebebasan untuk beribadah berdasarkan agama dan keyakinannya itu.[15] Sebagai sebuah hak, kebebasan ini harus mendapatkan penghormatan dari individu lain karena statusnya yang sama sebagai pemangku hak. Adapun kewajiban pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan secara kumulatif diemban oleh negara sebagai pemangku kewajiban.[16]

Terdapat karakteristik bercorak lokalisme dalam penegakkan HAM di Indonesia. Indonesia dengan konstitusinya mendeklarasikan sebagai negara yang dibangun di atas nilai-nilai ketuhanan. Ini dapat dibuktikan dengan kandungan pasal dan ayat konstitusi yang memuat kata-kata “Agama” dan “Tuhan” terbanyak di dunia.[17] Nilai-nilai ateisme atau “anti-Tuhan” bahkan tidak ditemukan dalam setiap pasal dan ayat konstitusi yang berimplikasi pada perbedaan normatifnya.

Vakumnya konstitusi mengatur soal ateisme dapat disorot dari dua sisi yang saling berdiametral. Sisi pertama menyatakan bahwa ateisme diperbolehkan dengan dalih tidak adanya larangan konstitusional terhadap paham ateisme tersebut. Seandainya ateisme merupakan paham yang terlarang, maka akan ada pasal dan/atau ayat konstitusi yang melarangnya karena bertentangan dengan nilai-nilai religius. Di sisi lain, absennya konstitusi mengatur soal ateisme dapat dipahami sebagai tidak adanya jaminan hak atas ateisme tersebut. Negara seperti berlepas tangan dari paham ateisme karena konstitusi sendiri tidak mengaturnya.

Jika melihat pada taraf Undang-Undang (UU), maka akan ditemukan norma hukum bahwa paham ateisme tidak diatur dalam delik kecuali delik penyebaran paham ateisme itu sendiri. Pasal 156a KUHP juncto Pasal 302 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan tegas melarang penyebaran paham ini dalam bentuk hasutan (persuasif) atau bahkan kekerasan (represif). Dengan demikian, paham ateisme itu sendiri tidak dapat dikenakan delik jika tidak disebarkan berdasarkan argumentum a contrario dari rumusan delik tersebut.

Negara Indonesia dalam kasus ini tampak seperti mengambil langkah diplomatis, mengetengahkan kubu yang membolehkan paham ateisme secara liberal dan kubu yang melarangnya secara represif. Paham ateisme mendapatkan tempat yang setara dan perlakuan adil oleh negara karena posisinya sebagai pemegang hak, sama seperti warga negara lainnya yang berpaham teisme. Namun dalam keadaan tertentu, yaitu menyebarkan paham ateisme, hak tersebut dibatasi bahkan diancam dengan delik pidana. Sikap diplomatis yang diambil Indonesia ini sudah sesuai dengan amanat ICCPR pada Pasal 18 ayat (3) yang menyatakan bahwa limitasi hak kebebasan beragama dapat dilakukan demi menjaga ketertiban umum (public order).[18]

Kesimpulan

Kebebasan beragama dengan dua pengertian diametralnya sama-sama diakui dan mendapatkan kesetaraan baik dalam lingkup HAM internasional maupun HAM yang dituangkan dalam konstitusi nasional. Perbedaan mencolok hanya dapat ditemukan pada ranah undang-undang yang notabane berada di bawah konstitusi. Corak hukum Indonesia yang mengambil sikap tidak selurus dengan corak yang dikonsepkan HAM internasional tidak dapat dicela karena dunia internasional juga mengakui lokalisme dalam penerapan HAM.

Sebagai negara yang dibangun di atas nilai religius yang kental, hukum nasional Indonesia tetap harus menjamin hak-hak yang disandang oleh para penganut ateisme. Seperti halnya hukum nasional dilarang mendiskriminasi agama selain Islam dengan dalih Islam adalah agama mayoritas, maka paham ateisme sebagai paham minoritas juga harus mendapatkan perlakuan yang sama. Untuk mengatasi hal tersebut, maka hukum itu sendiri harus kuat dan mampu mengaturnya secara tegas. Bagaimana mungkin jaminan HAM akan tegak jika hukum yang mengatur soal HAM juga tidak dapat berdiri di atas kaki sendiri?

Daftar Pustaka

  • Asshiddiqie, J. (2022). Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme. Depok: LPE3S.
  • Aswanto, & Silalahi, W. (2021). Perlindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Domestik dan Internasional. Depok: Rajawali Pers.
  • Isra, S. (2014). Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Konstitusi, 409-427.
  • Riyadi, E. (2020). Hukum Hak Asasi Manusa: Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional. Depok: Rajawali Pers.
  • RIyadi, E. (2023). Institusionalisasi Norma dan Standar Hak Asasi Manusia di Indonesia. In A. Tomte, M. W. Saul, J. Fraser, W. D. Putro, E. Riyadi, H. P. Wiratraman, S.W. Eddyono, Shidarta, Metodologi Hukum Hak Asasi Manusia: Nalar, Praktik, dan Tantangannya dalam Sistem Peradilan Indonesia (149-211). Depok: Rajawali Pers.

 Sumber Online

  • Hukumonline. (2018, Oktober 23). Hidayat Nur Wahid: Belajarlah Kepemimpinan dari Anggota Panitia Sembilan. Diambil dari Hukumonline: www.hukumonline.com
  • Hukumonline. (2021, Oktober 9). HNW Ingatkan Pancasila Hadir karena Kenegarawanan Pendiri Bangsa. Diambil dari Hukumonline: www.hukumonline.com
  • International Covenant on Civil and Political Rights. Diambil dari United Nations: https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights
  • Universal Declaration of Human Rights. Diambil dari United Nations: https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
  • Willa Wahyuni. (2023, Maret 9). Hak Konstitusional Warga Negara. Diambil dari Hukumonline:  https://www.hukumonline.com/

 Peraturan Perundang-Undangan

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diakses dari https://jdih.mahkamahagung.go.id
  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diakses dari https://www.dpr.go.id
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id

 [1]            Panitia yang beranggotakan Ir. Soekarno (ketua), Drs. Mohammad Hatta, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, KH, Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, Mr. Alexander Adries Maramis. Lihat Wahid, H. N. (2018, Oktober 23). Belajarlah Kepemimpinan dari Anggota Panitia Sembilan. Hukumonline.com. Diakses pada 26 September 2024, dari https://www.hukumonline.com

[2]            Hukumonline, “HNW Ingatkan Pancasila Hadir Karena Kenegarawanan Pendiri Bangsa,” diakses pada 26 September 2024, dari https://www.hukumonline.com/

[3]            Jimly Asshiddiqie, Teokrasi, Sekularisme, dan Khilafahisme (Depok: Pustaka LP3ES, 2022), hlm. 74.

[4]            Aswanto & W. Silahi, Perlindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Domestik dan Internasional (Depok: Rajawali Pers, 2021), hlm. 3.

[5]Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional, Regional, dan Nasional (Depok: Rajawali Pers, 2020), hlm. 50.

[6]            United Nations, “Universal Declaration of Human Right,” diakses pada 3 Oktober 2024 dari https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights

[7]            Eko Riyadi (2023), op. cit. hlm. 176

[8]            Ibid, hlm. 163

[9]            Ibid, hlm. 164

[10]           United Nations, “International Covenant on Civil and Political Rights,” diakses pada 3 Oktober 2024, dari https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights

[11]           Willa Wahyuni, “Hak Konstitusional Warga Negara,” diakses pada 2 Oktober 2024, dari https://www.hukumonline.com/

[12]           Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[13]           Saldi Isra, “Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penguatan Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Jurnal Konstitusi, Vol. 11, No. 3 (2014), hlm. 413

[14]           Eko Riyadi (2023), op. cit. hlm. 172-173

[15]           Pasal 28E ayat (1) juncto Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Negara Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

[16]           Eko Riyadi (2020), op. cit. hlm. 66

[17]           Jimly Asshiddiqie, loc. cit.

[18]           United Nations, “International Covenant on Civil and Political Rights,” diakses pada 3 Oktober 2024, dari https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/international-covenant-civil-and-political-rights

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.